Keberanian. Agaknya itulah satu-satunya kata yang saya temukan di antara kata-kata yang tertumpuk di laci ingatan saya, ketika menyimak tuturan mas Gunadi Wibowo tentang keputusannya untuk hengkang dari tempat kerja.
Patut diketahui, pekerjaan mas Gunadi tergolong punya gengsi. Awam kerap mereken pekerjaan mas Gunadi punya kelas tersendiri. Eksklusif!
Malahan, pekerjaan yang dulu ditekuni mas Gunadi begitu diimpi-impikan banyak orang. Sayangnya, kesempatan yang tersedia tak cukup lebar terbuka. Tak heran jika perusahaan serupa tempat kerja mas Gunadi selalu menerapkan persyaratan khusus.
Mulai dari latar pendidikan, prestasi akademik, batas usia, status pernikahan, penampilan fisik, kesehatan mentalnya, serta tinggi dan berat badan yang ideal. Belum lagi tes yang mesti dijalani.
Berkaca pada syarat-syarat itu, keberhasilan mas Gunadi memasuki ruang kerja dan diakui sebagai bagian dari perusahaan itu merupakan hasil usaha yang tidak bisa dianggap sepele.
Prosesnya bisa saja dimulai sejak ia duduk di bangku sekolah. Menjadi murid yang tekun belajar, supaya nilai rapor dan NEMnya tinggi. Berusaha keras untuk bisa diterima di perguruan tinggi negeri yang punya reputasi atau kampus swasta yang bonafit. Selama menyandang predikat mahasiswa juga tekun belajar, supaya IPKnya tinggi.
Selain itu, saya menduga, mas Gunadi juga aktif di organisasi sekolah maupun kampus. Dengan begitu, ia punya pengalaman yang cukup di dalam memahami maupun menganalisis situasi dan kondisi dunia kampus dan masyarakat. Lain dari itu, di organisasi ia juga akan terlatih dalam banyak hal. Khususnya, dalam urusan menjalin relasi dan jejaring.
Di luar itu, mas Gunadi tampaknya terlahir dari keluarga yang sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan gizi. Itu baru dugaan. Tetapi, saya kira dugaan itu tak terlampau meleset.
Secara fisik, badan yang dimiliki mas Gunadi menunjukkan indikasi ke arah itu. Sekurang-kurangnya, bisa dilihat dari postur dan gayanya. Jadi, saya tidak yakin, kalau mas Gunadi berasal dari keluarga kurang mampu.
Biasanya, kehidupan keluarga yang serba berkecukupan secara ekonomi memiliki cara pandang yang lebih tertib dibandingkan mereka yang hidup dalam kemiskinan. Biasanya, orang yang berasal dari keluarga berada akan sangat memperhatikan masa depan. Sedang, orang-orang yang hidup dalam kemiskinan cenderung kehabisan waktu untuk mengurai mimpi dan dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang mengganggu ketenteraman hidup.
Tentu, deskripsi tadi tidak dimaksudkan untuk membandingkan. Akan tetapi, sekadar memberi gambaran tentang dugaan saya atas personalitas mas Gunadi sebagai sosok muda yang pernah bekerja di sebuah bank BUMN. Lalu, mengapa ia keluar?
Konon, seperti dituturkan mas Gunadi, ada perihal yang sangat mendasar. Menyoal prinsip hidup yang dijalaninya. Menurutnya, bekerja sebagai pegawai bank---walau bank BUMN---tidak lagi cocok dengan prinsip hidupnya. Hanya itu yang diungkapkan mas Gunadi. Selebihnya, tak ada yang diurai secara terperinci. Mungkin, demi menjaga privasinya atau juga untuk memberi penghargaan kepada lembaga yang pernah ia singgahi itu.
Hanya, saya pikir, mudah saja bagi mas Gunadi membuat alasan semacam itu. Sebab, ia tergolong anak muda yang sudah tuntas secara ekonomi. Bagi sebagian lain---terutama anak-anak muda yang masih terjebak dalam lingkaran setan ekonomi---mungkin saja harus mikir-mikir. Alasannya bisa beragam. Paling umum, adalah masalah bayaran yang didapat.
Walau begitu, alasan mas Gunadi tetap harus saya hargai dan hormati. Secara personal, saya melihat betapa mas Gunadi adalah sosok anak muda yang cukup idealis. Ia merasa ada yang kurang selama menjalani pekerjaannya sebagai pegawai bank BUMN. Khususnya, pengalaman bagaimana merasakan nikmatnya keringat saat bekerja.
Ya, dia mengaku bahwa bekerja di bank itu serba nyaman. Terutama, yang bekerja di kantor. Akan tetapi, ada hal lain pula yang sesungguhnya membuat ia kurang nyaman. Yaitu, tekanan yang bisa sangat menimbulkan gangguan psikologis.
Atas alasan itu, mas Gunadi akhirnya banting setir. Beralih menjadi pengusaha kecil-kecilan, akunya. Pekerjaan itu sebenarnya telah menjadi impian sejak kecil. Apalagi sejak masih kanak-kanak, mas Gunadi rupanya cukup rajin membaca buku biografi tokoh-tokoh besar. Salah satu yang menginspirasi adalah tokoh yang berjuluk Manusia Satu Miliar, Tanri Abeng.
Sejak itu, ia lantas mulai merancang skema nasibnya. Dimulai dengan memilih jurusan waktu SMA. Ia memilih IPS. Menurutnya, jurusan inilah yang cocok bagi orang yang bercita-cita sebagai pengusaha.
Yang lebih menarik dari cerita mas Gunadi adalah saat mulai mentahbiskan diri sebagai pengusaha. Beberapa jenis usaha ia rintis dan jalankan. Mulai dari jualan emping yang merupakan penganan khas Batang. Usaha itu tak bertahan lama. Pernah pula membuka distro. Pun tak cukup membuahkan hasil. Katanya, semua usaha yang dirintis di masa-masa awal dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Istilahnya, main nekat aja!
Baru pada tahun 2020, saat wabah Covid 19 melanda dan melumpuhkan seluruh aktivitas banyak orang, mas Gunadi menemukan sebuah usaha yang agaknya cukup membuka peluang untuk dikembangkan. Yaitu, jualan gula aren. Kata mas Gunadi, ide awalnya muncul dari istri.
Dalam sebuah diskusi kecil, istri mas Gunadi bilang, kemunculan wabah ini mendorong banyak orang beralih gaya hidup yang lebih sehat. Orang-orang membutuhkan sesuatu yang membuat kesehatan tubuh lebih prima. Lantas, baik istri maupun mas Gunadi mulai berburu informasi tentang bisnis apa yang punya peluang dikembangkan. Jatuhlah pilihannya pada gula aren.
Singkat cerita, mereka akhirnya berkunjung ke desa-desa penghasil gula aren di daerah Kabupaten Pekalongan. Tepatnya, di kawasan Doro. Di sana, mas Gunadi belajar tentang cara membuat gula aren dari orang-orang desa.
Pengalaman ini juga mengajarkan tentang sikap rendah hati. Bahwa, orang tak perlu membungkus dirinya dengan segala macam rasa gengsi ketika memang tidak mengetahui apa-apa.
Sebaliknya, rasa gengsi itu justru akan membuat orang semakin tidak tahu apa-apa. Dengan sikap rendah hati, jalan menuju kesuksesan dapat ditempuh dengan lebih mudah dan lancar.
Sikap itu pula yang terpancar dari personalitas mas Gunadi saat hadir di studio Radio Kota Batik. Ia tak mengenakan baju yang menandai gengsi. Tampilannya sederhana saja. Hanya mengenakan kaus, celana jins, dan topi.
Akan tetapi, selama satu jam ngobrol di studio, saya mendapatkan banyak hal baru. Bahwa, untuk membuat seseorang memahami hidup, ia mesti belajar dengan sungguh-sungguh dan penuh kerendahan hati. Dan, untuk mengalirkan kebahagiaan itu, orang juga perlu membagikan pengalaman dan pengetahuan yang ia peroleh agar tak menjadi beban.
Seperti yang dilakukan mas Gunadi dengan Ruma Nira yang didirikannya. Ruma Nira menjadi tempat belajar bagi siapa saja yang ingin mengetahui proses pembuatan gula aren.
Selain itu, sebagai tempat untuk bisa saling berbagi. Sebab, usaha yang dijalankan melalui Berkah Sido Mukti, juga membuka peluang bagi siapa saja untuk bergabung. Bersama-sama menggerakkan roda ekonomi dan membangun ekosistem bisnis yang menyehatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI