Tentu, deskripsi tadi tidak dimaksudkan untuk membandingkan. Akan tetapi, sekadar memberi gambaran tentang dugaan saya atas personalitas mas Gunadi sebagai sosok muda yang pernah bekerja di sebuah bank BUMN. Lalu, mengapa ia keluar?
Konon, seperti dituturkan mas Gunadi, ada perihal yang sangat mendasar. Menyoal prinsip hidup yang dijalaninya. Menurutnya, bekerja sebagai pegawai bank---walau bank BUMN---tidak lagi cocok dengan prinsip hidupnya. Hanya itu yang diungkapkan mas Gunadi. Selebihnya, tak ada yang diurai secara terperinci. Mungkin, demi menjaga privasinya atau juga untuk memberi penghargaan kepada lembaga yang pernah ia singgahi itu.
Hanya, saya pikir, mudah saja bagi mas Gunadi membuat alasan semacam itu. Sebab, ia tergolong anak muda yang sudah tuntas secara ekonomi. Bagi sebagian lain---terutama anak-anak muda yang masih terjebak dalam lingkaran setan ekonomi---mungkin saja harus mikir-mikir. Alasannya bisa beragam. Paling umum, adalah masalah bayaran yang didapat.
Walau begitu, alasan mas Gunadi tetap harus saya hargai dan hormati. Secara personal, saya melihat betapa mas Gunadi adalah sosok anak muda yang cukup idealis. Ia merasa ada yang kurang selama menjalani pekerjaannya sebagai pegawai bank BUMN. Khususnya, pengalaman bagaimana merasakan nikmatnya keringat saat bekerja.
Ya, dia mengaku bahwa bekerja di bank itu serba nyaman. Terutama, yang bekerja di kantor. Akan tetapi, ada hal lain pula yang sesungguhnya membuat ia kurang nyaman. Yaitu, tekanan yang bisa sangat menimbulkan gangguan psikologis.
Atas alasan itu, mas Gunadi akhirnya banting setir. Beralih menjadi pengusaha kecil-kecilan, akunya. Pekerjaan itu sebenarnya telah menjadi impian sejak kecil. Apalagi sejak masih kanak-kanak, mas Gunadi rupanya cukup rajin membaca buku biografi tokoh-tokoh besar. Salah satu yang menginspirasi adalah tokoh yang berjuluk Manusia Satu Miliar, Tanri Abeng.
Sejak itu, ia lantas mulai merancang skema nasibnya. Dimulai dengan memilih jurusan waktu SMA. Ia memilih IPS. Menurutnya, jurusan inilah yang cocok bagi orang yang bercita-cita sebagai pengusaha.
Yang lebih menarik dari cerita mas Gunadi adalah saat mulai mentahbiskan diri sebagai pengusaha. Beberapa jenis usaha ia rintis dan jalankan. Mulai dari jualan emping yang merupakan penganan khas Batang. Usaha itu tak bertahan lama. Pernah pula membuka distro. Pun tak cukup membuahkan hasil. Katanya, semua usaha yang dirintis di masa-masa awal dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Istilahnya, main nekat aja!
Baru pada tahun 2020, saat wabah Covid 19 melanda dan melumpuhkan seluruh aktivitas banyak orang, mas Gunadi menemukan sebuah usaha yang agaknya cukup membuka peluang untuk dikembangkan. Yaitu, jualan gula aren. Kata mas Gunadi, ide awalnya muncul dari istri.
Dalam sebuah diskusi kecil, istri mas Gunadi bilang, kemunculan wabah ini mendorong banyak orang beralih gaya hidup yang lebih sehat. Orang-orang membutuhkan sesuatu yang membuat kesehatan tubuh lebih prima. Lantas, baik istri maupun mas Gunadi mulai berburu informasi tentang bisnis apa yang punya peluang dikembangkan. Jatuhlah pilihannya pada gula aren.
Singkat cerita, mereka akhirnya berkunjung ke desa-desa penghasil gula aren di daerah Kabupaten Pekalongan. Tepatnya, di kawasan Doro. Di sana, mas Gunadi belajar tentang cara membuat gula aren dari orang-orang desa.