Aku bilang, aku akan lebih disiplin ibadah di bulan Ramadan. Mulai dari melaksanakan shalat sunah sebelum dan sesudah shalat Tahajud, shalat Duha, mengaji, bersedekah, Â hingga shalat tarawih.
Ya, tarawih! Tepatnya menemani ibu shalat tarawih di masjid. Ibu sangat semangat untuk shalat tarawih di masjid. Tak pernah absen selama ramadan 1446 H ini.
Bahkan, ketika hujan rintik tetap berangkat ke masjid. Ketika akan pulang dari masjid usai tarawih tiba-tiba turun hujan lebat, ibu akan menunggu beberapa waktu. Jika hujan sudah berubah rintik, ibu segera menerobosnya supaya bisa cepat sampai rumah.
Alhasil, ibu pernah demam. Tubuhnya menggigil. Badannya sakit-sakit. Mulai batuk-batuk dan pilek.
"Ibu kenapa sih, kan bisa shalat tarawih di rumah? Nggak usah maksain diri seperti ini. Jadinya sakit, " protesku saat memijiti punggung beliau sambil membalurinya dengan minyak angin.
Dear ramadan, tahu apa yang ibu bilang? "Saya nggak sakit. Saya cuma masuk angin. "
"Tapi ibu kan sudah tua. Sudan 70-an. " tukasku bernada sedikit kencang.
" Kalau masih  bisa tarawih di masjid,  ya sayang kalau nggak berangkat ke masjid, " kata Ibu.
" Tarawih kan nggak wajib,bu? Bisa dilakukan di rumah," kataku lagi.
"Tetap beda nilainya. Kalau di masjid berjamaah. Ada imamnya dan teman shalatnya. Kalau di rumah nggak ada." Ibu lalu beranjak pergi.
Dear ramadan, awal bulan berkah ini aku memang sempat bilang akan menemani ibu sebanyak mungkin tarawih di masjid.Â
Namun kenyataannya, tidak bisa aku lakukan penuh. Aku masih di jalan untuk pulang sehingga tidak bisa tarawih ke masjid