Dear ramadan, takbir Idul Fitri langsung terdengar dari masjid setelah Maghrib. Tak cuma satu, tapi juga berkumandang dari masjid satu lagi yang letaknya berdekatan. Hari kemenangan telah tiba.
Malam yang cerah. Pijaran kembang api terlihat di angkasa. Hari ini, Minggu 30 Maret 2025 adalah puasa terakhir. Secangkir teh manis plus kue ku dan gorengan bawang menjadi penutup buka puasa ramadan
Melihat jajaran sandal, seketika berucap, " Siapa yang mau tarawih malam ini? "
Tentu tidak sungguh-sungguh. Tidak ada shalat tarawih pada hari terakhir puasa..
"Eh malam ini, sudah nggak ada tarawih, " ucapku.Â
Besok pagi, Â (31/3) sudah memasuki bulan syawal. Sebuah hari kemenangan setelah berpuasa selama satu bulan. Besok pagi, Shalat Idul Fitri di masjid dekat rumah.
Tetangga samping rumah  mengantarkan ketupat lengkap dengan sayur dan opor. " Selamat lebaran, " katanya.
Aku tersenyum dan membalas ucapan selamat lebaran. Hatiku terasa campur aduk. Aku bahagia bisa menyelesaikan ramadan 1446 ini. Tiba di hari kemenangan dan bisa makan ketupat sesuai tradisi.Â
Namun,perasaanku campur aduk. Tarawih sidah habis. Bulan  penuh berkah. Bulan mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sudah berlalu.
 Tetiba saja, aku rindu untuk tarawih. Ya, tarawih! Rindu padamu, ramadan yang baru berlalu.
Dear Ramadan, tentu kamu ingat. Pada awal Ramadan 2025 ini aku mempunyai rencana dan target ibadah yang sangat baik.
Aku bilang, aku akan lebih disiplin ibadah di bulan Ramadan. Mulai dari melaksanakan shalat sunah sebelum dan sesudah shalat Tahajud, shalat Duha, mengaji, bersedekah, Â hingga shalat tarawih.
Ya, tarawih! Tepatnya menemani ibu shalat tarawih di masjid. Ibu sangat semangat untuk shalat tarawih di masjid. Tak pernah absen selama ramadan 1446 H ini.
Bahkan, ketika hujan rintik tetap berangkat ke masjid. Ketika akan pulang dari masjid usai tarawih tiba-tiba turun hujan lebat, ibu akan menunggu beberapa waktu. Jika hujan sudah berubah rintik, ibu segera menerobosnya supaya bisa cepat sampai rumah.
Alhasil, ibu pernah demam. Tubuhnya menggigil. Badannya sakit-sakit. Mulai batuk-batuk dan pilek.
"Ibu kenapa sih, kan bisa shalat tarawih di rumah? Nggak usah maksain diri seperti ini. Jadinya sakit, " protesku saat memijiti punggung beliau sambil membalurinya dengan minyak angin.
Dear ramadan, tahu apa yang ibu bilang? "Saya nggak sakit. Saya cuma masuk angin. "
"Tapi ibu kan sudah tua. Sudan 70-an. " tukasku bernada sedikit kencang.
" Kalau masih  bisa tarawih di masjid,  ya sayang kalau nggak berangkat ke masjid, " kata Ibu.
" Tarawih kan nggak wajib,bu? Bisa dilakukan di rumah," kataku lagi.
"Tetap beda nilainya. Kalau di masjid berjamaah. Ada imamnya dan teman shalatnya. Kalau di rumah nggak ada." Ibu lalu beranjak pergi.
Dear ramadan, awal bulan berkah ini aku memang sempat bilang akan menemani ibu sebanyak mungkin tarawih di masjid.Â
Namun kenyataannya, tidak bisa aku lakukan penuh. Aku masih di jalan untuk pulang sehingga tidak bisa tarawih ke masjid
Aku ikut beberapa bukber, sehingga pulangnya sudahh lewat jam tarawih. Belum lagi ada kejadian sakit perut dan datang bulan.
Dear ramadan yang kucintai, karena itulah, aku merindumu. Aku kangen melakukan ibadah-ibadah berpahala yang tak sempat kulakukan dan kutinggalkan dalam bentuk janji-janji.
Aku ingin menemani ibu tarawih sebanyak mungkin. Menyerap semangatnya yang luar biasa untuk beribadah. Aku ingin seperti ibu.Â
Dear ramadan yang kucintai, izinkan aku bisa bertemu denganmu lagi tahun depan. Izinkan aku menepati janji, rencana, dan target ramadanku yang belum sampai tuntas pada tahun ini.
Dear  ramadan, semoga aku panjang umur. Begitupun dengan ibu. Punya tubuh sehat untuk melakukan semua kegiatan ibadah.
Ramadan tahun depan, izinkan aku sampai disana!Â
--Jakarta, 3003dhu25--
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI