Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Menyesal Cabut, Ayah!

7 September 2023   17:54 Diperbarui: 7 September 2023   18:28 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar anak menyesali. Kumparan.

"Bunda! Adek tak bisa mengerjakan Bahasa Arab ini. "

Begitu teriak si kecil saat ia duduk di Madrasah Ibtidaiyah kelas V. Akupun segera menerawang. Teringat saat usiaku kelas V Sekolah Dasar dan kelas V MDA.

Ayah mengantarkanku ke sekolah MDA untuk sekolah Arab. Sekolah Arab dulu kami menyebutnya. Di MDA ini memang kami hanya belajar Bahasa Arab dasar dan mengaji.

Yah, 27 tahun lalu. Aku mengikat kuda rambutku. Memakai bedak tipis dan memakai baju kurung plus selendang segi tiga ke sebuah Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA).

Madrasah itu tak begitu jauh dari rumahku. Sekitar 100 meter. Tepatnya di sebelah Masjid Taqwa Muhammadiyah di kampungku. Semua anak seusia kami dimasukkan ke Madrasah itu agar pintar berbahasa Arab.


Namun, aku ingat. Hanya seminggu aku rajin ke Madrasah. Otakku tak bisa memahami pelajaran di sana, ya, Bahasa Arab. Akupun menghabiskan waktu bersama Raya temanku lebih banyak.

Masih nyata dalam ingatanku. Kami berdua seusia. Cuma kami beda sekolah. Raya di MDA Nahdhatul Ulama (NU) dan aku di MDA Taqwa Muhammadiyah.

Suatu hari di musim buah-buahan, seperti buah langsat manis, rambutan, dan jeruk, kami berdua sepakat pergi memungut buah yang jatuh dari pohonnya. Kami cabut sekolah Arab atau MDA.

Langkah kami berdua pasti menuju kebun buah tersebut. Kami terus berjalan sambil bercerita kanak-kanak. Tiba di bawah pohon langsat manis, kami tersenyum. Begitu banyak buah jatuh. Kamipun asyik memakan buah yang tak semanis duku Palembang itu. Untuk kami masam-masam sikit tak masalah.

Kami berdua asyik memungut buah itu. Baju kami dijadikan sebagai gendongan menampung buah tersebut. Tanpa kami sadari buah sudah penuh dalam gendongan kami. Kamipun melanjutkan perjalanan menuju kebun rambutan.

Lebih kurang 500 meter lagi kami berjalan. Hingga tibalah kami di bawah pohon rambutan nan sejuk. Sepanjang perjalanan, buah langsat manis pun sudah habis.

"Jeni!" Teriak Raya. "Aku dapat rambutan satu!" Peraganya kepadaku. Kulihat buah berambut kuning kemerahan itu di telapak tangannya. Wajahnya begitu bahagia. Aku pun sempat iri padanya.

"Aku belum dapat satupun Raya. Sepertinya kita telat datang hari ini." Laporku sendu. "Kita lanjut ke kebun jeruk, ya!" Ajakku.

Kami pun berjalan sejauh 500 meter lagi dari Sawah Cibodak Dokek itu menuju Sawah Gugung. Rasa haus mulai mendera seiring jauhnya perjalanan kami. Sudah tiga kampung kami lewati. Kamipun sampai di tepi sungai. Di samping sungai ada sumur dangkal. Kamipun minum dan melepas dahaga.

Kami pun lanjut menuju sungai. Sungai itu taklah dalam dan deras. Tak ada batu-batuan lagi. Sudah habis diangkuti truk untuk dijual ke toko bangunan.

Setelah menyeberang sungai yang tidak terlalu dalam lagi, kami pun sampai di depan kebun jeruk itu. Daun jeruk berwarna hijau pekat terpampang. Duh, alangkah suburnya pohon-pohon jeruk itu. Semakin mendekat, kami lihat buah jeruknya besar dan lebat.

Duh, bahagianya kami melihat pemandangan itu. Kami berdua berlari menuju pohon jeruk itu. Kami pun duduk di bawahnya. Sejuk dan damai. Terbersit niat memetik jeruk-jeruk itu. Sepanjang mata kami tatap di bawahnya, tak ada buah jeruk yang jatuh.

"Buahnya besar-besar, Jeni. Aku pengen!" Teriak Raya lagi. Kulihat ia memegang buah jeruk itu. Ia membelakangiku.

"Hei! Kalian mencuri ya?" Teriak seorang om-om di sebelah telinga kananku. Sungguh jantungku serasa mau copot kala itu. Bahuku bergetar. Rasa takut menjalar di kudukku hingga menimbulkan detak jantung yang keras. Untung aku tak punya riwayat sakit jantung.

Raya juga kulihat ketakutan. Wajahnya pucat. Ia pun menangis. Melihat Raya menangis akupun ikut menangis. Apalagi saat si om itu mengeluarkan tali rapia dari balik sakunya.

Beliau pun tanpa ba bi bu menarik tanganku dan Raya. Kami berdua diseret ke luar kebun. Tepatnya di jalan setapak menuju ke sawah kami. Kami berdua pasrah. Air mata tetap menganak sungai di pipiku dan Raya.

Di bawah batang petai cina kami berdua diikatnya. "Kecil-kecil maling kalian berdua ya. Di sini saja kamu berdua sampai orang tua kalian datang menjemput." Marah si om pemilik kebun jeruk itu.

Aku tidak tahu pasti apakah om itu mengenalku dan Raya. Sawah orang tuaku persis di sebelah kebun jeruk ini. Namun, aku jarang ke sawah itu. Akupun tidak akrab dengan om itu meski ia paman teman sekelasku di SD.

Keluarga mereka baru pindah dari Jakarta. Mereka seolah menjaga jarak dengan warga. Hanya sesekali mereka bercengkrama dengan ayahku.

Akupun terpaksa pasrah. Raya masih saja menangis. Aku iba melihatnya. Akupun menyesal mengajaknya main ke kebun dan cabut hari ini. Duh, penyesalanku berlipat-lipat. Dari jauh kulihat pula ayah mendorong sepedanya.

Kepasrahanku makin berlipat-lipat. Kulihat ayah menegur si pemilik kebun. Mereka terlihat berbincang akrab. Sesekali Ayah dan om itu melirik ke arah kami. Kemudian Ayah pamit. Beliau menuju ke arah kami. Beliau tanpa bersuara menyandarkan sepedenya.

Beliau menghampiriku dan Raya tanpa suara. Tali pengikat tangan kami pun di buka. Kami berdua digiring pulang. Sudah terbayak semeledak apa amarah Ayah di rumah nanti. Selama di perjalanan kami bertiga diam membisu menambah mencekamnya nasib sesampai di rumah.

Duh, Ayah aku menyesal cabut. Sungguh aku menyesal cabut, Ayah! Maafkan aku Ayah. Hari ini kutatap lagi wajah si dedek. Kulihat pula buku Bahasa Arab itu. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun