Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Luka Pram Ketika Tinuk Hanya Menginginkan Anaknya

15 Februari 2023   14:45 Diperbarui: 15 Februari 2023   15:07 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan:foto by The Asian Parent

Matahari sudah menerobos ventilasi kamar Pram ketika ia terbangun kedua kalinya. Bangun pertama ia pergi shalat ke Masjid Taqwa Muhammadiyah untuk shalat Subuh. Lalu ia tertidur lagi saat membaca Al Quran.

Sekarang bangun kedua, ia akan segera melaksanakan shalat Dhuha. Ya, sejak sakit parah dulu menderanya, perlahan Pram mulai memperbaiki diri. Pelan-pelan, ia belajar ilmu agama yang sudah dipelajarinya ketika SD dan di pengajian malam di rumah Batas temannya.

Di sanalah anak-anak belajar mengaji dan belajar shalat. Guru mereka bernama Bapak Samri dan Bapak Agus. Di sana hanya belajar mengaji dan belajar shalat. Diulang lagi di Sekolah Dasar bersama Pak Ali guru agamanya di SD tersebut.

Ketika sakit parah dulu Ko Taher menasihatinya agar hidup normal. Laksanakan perintah agama step by step. Membaca Al Quran dan jangan begadang. Sebab, di malam harilah terjadi pergantian sel darah merah. Tak terganti meski tidur di siang hari.

"Pram!"

"Ya, Mak." Jawab Pram masih duduk di atas sajadahnya. Ia belum berdoa usai shalat Dhuha.

"Tinuk tak ada di dapur. Mak kira di sini bersama kamu." Jelas Mak panjang.

"Ndak ada, Mak. Mungkin Tinuk sudah ke Toko Mak. Sekarang hari Sabtu. Tinuk tak tugas." Jelas Pram.

"Pram, Mak lihat surat ini di atas meja. Sepertinya buat kamu." Mak menyodorkan surat itu kepada Pram. Mak buta huruf. Mak tak pandai membaca. Keluarga Mak dulu tinggal di hutan Pasaman guna menghindari pergolakan sehingga tak sekolah.

Tapi Ayah Pram, Pak Sahar, bisa membaca bahkan sangat lancar. Ia juga pintar. Ia sudah berusaha mengajari istrinya, namun belum berhasil. Mungkin karena sibuk ke sawah dan ke ladang, Mak merasa membaca tak perlu.

Pram menerima amplop itu. Benar, itu tulisan Tinuk istrinya. Sudah 12 bulan ia dan Tinuk menikah. Tiga hari setelah Pram menggagalkan pernikahannya dengan Santi, ia melamar Tinuk. Uang jemputan 50 juta dan uang mosok (memasak), 30 juta.

Pram memenuhi semua itu dalam tiga hari karena ia memang sudah mapan dan sanggup. Ia pun dipercaya bosnya Ko Taher mengelola uang. Semua atas izin Ko Taher. Ko Taher berharap keluarga baru Pram harmonis.

Dua bulan sesudah menikah, Tinuk pun hamil. Sekarang, ia sedang hamil 9 bulan. Istilah di kampung tinggal menunggu hari. Sekitar 10 hari lagi, ia diperkirakan akan melahirkan.

Pram membuka surat itu. Tangannya bergetar. Entah mengapa perasaannya tak enak. Darahnya berdesir-desir hingga detak jantungnya pun tak beraturan. Dag dig dug. Ia merasa ada yang tak beres. Keringat dingin mengucur. Tangannya basah karena gugup.

'Duh, Tuhan. Ada apalagi dengan rumah tangga hamba?' Tanya Pram pasrah dalam hatinya. Semalam, ia masih bersama dengan istrinya. Dengan manja istrinya meminta agar ia mengelus-elus perut besar istrinya. Anak mereka berontak. 

Terlihat perut istrinya bergerak-gerak sesuai pergerakan calon bayi mereka di dalam sana. Permukaan perut istrinya bergelombang. Begifu bahagianya ia dan istrinya semalam. Mereka saling bertukar pandang.

Senyum manis menghiasi bibir mereka berdua. Hingga mereka selesai beribadah suami istri. Ya, istrinya mendadak manja sejak hamil. Berkali lipat manjanya 10 hari jelang melahirkan ini. Tiap malam istrinya minta dibelai dan diajak beribadah.

Tapi pagi ini ada yang membuatnya gelisah. Surat di tangannya. Perlahan Pram mengeluarkan kertas di dalam amplopnya. Ia membuka lebar-lebar surat itu. Surat itu berupa kertas buku agenda tahunan Pram. Ia baca tulisan tangan istrinya yang bagus dan rapi itu. Hanya satu paragraf.

"Bang, maaf aku pergi membawa anakmu. Izinkan aku melahirkannya dengan selamat. Izinkan aku membesarkannya sendiri. Aku hanya menginginkan anak ini, Bang. Maaf, bila selama ini aku sudah membuai abang dalam ikatan cinta palsu rumah tangga kita. Tujuan hidupku cuma satu, memiliki anak."

Hanya itu isi surat Istrinya, Tinuk. 'Duh, ya Allah. Dosa apalagi ini? Apakah ini doa Ayah Santi untukku? Kejam sekali para wanita ini kepadanya.' Terbayanglah Ayunda dengan wajah diamnya, Novella dengan wajah manjanya, Tinuk dengan seragam perawatnya yang memikat, dan Santi dengan mata bencinya.

Tanpa sadar, Pram menangis. Ternyata uangnya tak berharga di mata Tinuk. Sungguh malang dirinya. Kecewa lagi dan lagi. Bahkan ia gagal menjadi seorang ayah. Perih ia rasakan. Lukanya tak berdarah.

Namun, lebih perih dari luka yang ditinggalkan istiri pertamanya, Novella. Melarikan uang bosnya 1 M.

"Pram!?" Mak menghampiri anaknya.

Pram menyerahkan surat itu kepada Maknya. Ia lupa Mak tak bisa baca. Tapi Mak menerima saja surat itu. Mak membawa surat itu kepada suaminya. Mak mendengarkan suaminya melantunkan isi surat itu.

"Bang, maaf aku pergi membawa anakmu. Izinkan aku melahirkannya dengan selamat. Izinkan aku membesarkannya sendiri. Aku hanya menginginkan anak ini, Bang. Maaf, bila selama ini aku sudah membuai abang berada dalam ikatan cinta palsu rumah tangga kita. Tujuan hidupku cuma satu, memiliki anak."

Kedua lansia itu saling bertukar pandang. 'Aneh-aneh saja kita dapat menantu.' Itulah yang berkecamuk di dalam pikiran dua lansia itu. Sungguh sandiwara hebat sudah diperankan menantunya. 12 bulan mereka bersama. Tak ada yang aneh perilaku menantunya. 

"Pram! Apa saja yang dibawa Tinuk?"

"Tak ada Mak. Semua pakaian Tinuk ada di lemari." Jawab Pram lesu. "Semua udah diatur Tinuk Mak. Ia sudah pindah kerja dari rumah sakit Panti. Tadi pimpinan rumah sakit kirim pesan lewat WA."

"Mertuamu, Pram?"

"Itu pilihan hidup Tinuk katanya, Mak. Impian Tinuk sejak lama, ingin punya anak saja."

"Tak butuh suami, Pram?"

"Ya, Mak." Sekarang mereka bertiga terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun