Mohon tunggu...
chens
chens Mohon Tunggu... Pelajar

I Never Lose I Either Win or Learn

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Analisis Perencanaan Smart Enviroment Terhadap Isu Emisi Co2 di Provinsi Riau

11 Oktober 2025   19:15 Diperbarui: 11 Oktober 2025   19:03 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejalan dengan hal tersebut, (Anhar et al., 2022) menjelaskan bahwa faktor lain yang turut memperparah emisi karbon adalah drainase lahan gambut untuk penanaman kelapa sawit. Pengeringan gambut menyebabkan oksidasi bahan organik di dalam tanah, yang terus-menerus melepaskan gas CO₂ dan metana (CH₄) bahkan tanpa terjadi kebakaran. Hal ini menunjukkan bahwa emisi dari sektor sawit tidak hanya muncul dari proses pembakaran, tetapi juga dari aktivitas pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan. Model regresi yang dikembangkan dari data periode 2015–2020 menunjukkan adanya korelasi sebesar 0,85 antara luas lahan sawit baru dengan kejadian kebakaran hutan. Artinya, semakin luas lahan sawit yang dibuka, semakin tinggi pula potensi kebakaran yang terjadi. Jika tidak ada intervensi kebijakan yang efektif, proyeksi hingga tahun 2025 memperkirakan peningkatan emisi hingga 20% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Namun, sejak diberlakukannya moratorium izin baru untuk perkebunan sawit pada tahun 2018, laju kenaikan emisi sempat mengalami sedikit penurunan. Kebijakan moratorium ini memberi waktu bagi pemerintah daerah dan pelaku industri untuk menata kembali tata kelola lahan dan memperkuat pengawasan terhadap pembakaran hutan. Sayangnya, tren tersebut tidak berlangsung lama. Pada periode 2020–2023, emisi kembali meningkat seiring dengan meningkatnya produksi minyak sawit mentah (CPO) untuk memenuhi permintaan ekspor. Berdasarkan data yang dikutip dari (Zaputra et al., 2023) luas perkebunan sawit di Riau telah mencapai 3,5 juta hektar pada tahun 2023, menjadikannya salah satu provinsi dengan areal sawit terbesar di Indonesia. Ekspansi ini tidak hanya memicu deforestasi, tetapi juga memperbesar risiko kebakaran lahan yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah signifikan. Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan program mitigasi seperti REDD + (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) berpotensi menstabilkan emisi karbon di masa mendatang. Walaupun begitu, stabilitas ini masih sangat rentan terhadap perubahan iklim, terutama kekeringan ekstrem akibat fenomena El Nino yang terus berulang.

Analisis kausal menunjukkan bahwa ekspansi sawit tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi (kontribusi PDB hingga 15% melalui efisiensi lingkungan), tetapi juga memperburuk degradasi ekosistem gambut, yang menyimpan 20,6 juta hektare karbon nasional. Model regresi dari periode 2015-2020 mengindikasikan bahwa setiap peningkatan 1% luas sawit baru berkorelasi dengan kenaikan 0,85% risiko karhutla dan emisi, menegaskan perlunya intervensi berbasis bukti untuk memutus siklus umpan balik positif ini. Tanpa mitigasi, proyeksi hingga 2025 memperkirakan peningkatan emisi hingga 20%, yang bertentangan dengan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk penurunan 29% pada 2030.

2. Konsep Smart Environment yang Dapat Diintegrasikan dalam Konteks Industri Kelapa Sawit untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Provinsi Riau

Konsep smart environment, sebagai pilar smart city yang mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), Internet of Things (IoT), dan big data untuk pengelolaan sumber daya berkelanjutan, dapat diintegrasikan secara efektif dalam industri kelapa sawit Riau guna mitigasi perubahan iklim. Pendekatan ini menekankan monitoring real-time, efisiensi energi, dan kolaborasi lintas-sektor, selaras dengan komitmen NDC Indonesia untuk penurunan emisi 29% pada 2030, di mana sawit berpotensi sebagai carbon sink jika dikelola cerdas.

Dalam konteks sawit Riau, smart environment dapat diintegrasikan melalui tiga komponen utama. Pertama, sistem monitoring berbasis IoT dan satelit untuk deteksi hotspot dan hidrologi gambut, yang telah mengurangi karhutla hingga 60% di proyek percontohan, mendukung REDD+ dengan akurasi 85% di lahan gambut. Ini memungkinkan prediksi risiko El Niño, mengurangi emisi dari drainase sawit yang menyumbang CH₄ dan CO₂. Kedua, pemanfaatan limbah Palm Oil Mill Effluent (POME) sebagai biogas, menghasilkan 0,65 m³ CH₄ per kg bahan baku, mengurangi emisi metana (28 kali lebih kuat dari CO₂) dan mendiversifikasi energi pabrik, selaras dengan SDG-13 untuk adaptasi iklim. Ketiga, platform tatakelola kolaboratif berbasis data terbuka, seperti One Data Indonesia, yang menghubungkan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk transparansi, mengurangi deforestasi nol-gambut dan mendukung ekspor sawit berkelanjutan.

Integrasi ini menghadapi tantangan seperti kesenjangan digital pedesaan dan biaya investasi (Rp 350-500 juta untuk biogas), tetapi peluang dari insentif fiskal dan program Smart Province Riau dapat memperkuatnya. Analisis SWOT menunjukkan kekuatan teknologi untuk efisiensi, peluang dari kesadaran global, meskipun ancaman El Niño memerlukan adaptasi. Secara teoritis, ini selaras dengan systems theory degradasi gambut, di mana IoT memperlambat siklus umpan balik positif emisi, berpotensi menurunkan emisi sawit hingga 31% melalui mitigasi alternatif.

Berdasarkan hasil analisis lapangan dan studi terdahulu, terdapat tiga komponen utama smart environment yang relevan untuk diterapkan pada industri kelapa sawit di Riau:

  • Penerapan sistem pemantauan real-time berbasis Internet of Things (IoT) dan satelit yang berfungsi untuk mendeteksi titik panas (hotspot), memantau kelembapan tanah, serta memprediksi risiko kebakaran secara dini. Teknologi ini memiliki tingkat akurasi hingga 85% di wilayah lahan gambut, dan telah digunakan dalam beberapa kawasan perkebunan untuk meminimalkan potensi kebakaran akibat kekeringan ekstrem. Dengan integrasi data satelit, sensor lingkungan, dan aplikasi mobile, pihak perkebunan dapat mengambil keputusan cepat terhadap potensi kebakaran atau drainase berlebih. Tantangan utama penerapannya berada pada keterbatasan infrastruktur jaringan internet di daerah pedesaan dan rendahnya literasi digital petani sawit  sehingga dibutuhkan pelatihan dan dukungan pemerintah dalam penguatan kapasitas digital masyarakat lokal (Cemerlang et al., 2023).
  • Pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME) menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Teknologi biogas skala kecil yang dihasilkan dari pengolahan POME mampu memproduksi hingga 0,65 meter kubik gas metana (CHâ‚„) per kilogram bahan baku, sekaligus menghasilkan residu organik yang dapat dijadikan pupuk alami (Yeny et al., 2022). Inovasi ini tidak hanya menekan emisi gas metana yang merupakan gas rumah kaca lebih kuat dibandingkan COâ‚‚ tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat sekitar melalui diversifikasi energi. Selain itu, biogas hasil olahan POME dapat digunakan kembali untuk keperluan operasional pabrik seperti pemanas boiler atau pembangkit listrik internal. Namun, biaya investasi awal yang tinggi, mencapai Rp350–500 juta untuk skala menengah, menjadi hambatan dalam penerapan yang lebih luas di sektor industri, sehingga diperlukan insentif fiskal atau bantuan teknis dari pemerintah agar inovasi ini dapat diadopsi secara masif.
  • Pengembangan platform tata kelola kolaboratif berbasis data yang memungkinkan koordinasi lintas sektor antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Model ini telah diuji pada beberapa proyek percontohan dan terbukti mampu menurunkan titik panas hingga 60% di wilayah implementasi (Jufri et al., 2018). Melalui integrasi data satelit, sensor lingkungan, dan laporan masyarakat, platform ini menciptakan sistem peringatan dini berbasis bukti (evidence-based response system) yang efektif dalam mitigasi risiko lingkungan. Platform ini juga memperkuat transparansi publik melalui mekanisme open data sehingga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pengawasan lingkungan. Namun, permasalahan yang sering muncul adalah keterpisahan data antarinstansi dan resistensi birokrasi, meskipun kebijakan One Data Indonesia dan program Smart Province Riau mulai memberikan solusi terhadap hambatan tersebut dengan membangun sistem data terintegrasi lintas lembaga.

Jika ditinjau dari perspektif analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), ketiga komponen tersebut memiliki kekuatan pada kemampuan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pengawasan lingkungan dan mendorong efisiensi energi. Kelemahannya terletak pada minimnya sumber daya manusia yang kompeten di bidang teknologi digital serta kesenjangan digital antara kawasan perkotaan dan pedesaan. Peluang terbesar berasal dari dukungan kebijakan nasional seperti program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan moratorium konversi lahan gambut, yang memberikan insentif bagi pelaku industri untuk beralih pada praktik ramah lingkungan. Selain itu, meningkatnya kesadaran global terhadap emisi karbon membuka peluang ekspor produk sawit berkelanjutan yang memiliki nilai tambah di pasar internasional. Sementara itu, ancaman utama datang dari perubahan iklim ekstrem seperti fenomena El Nino yang memperburuk kekeringan dan risiko kebakaran, serta ketergantungan ekonomi daerah terhadap sawit yang tinggi yang membuat diversifikasi ekonomi menjadi tantangan tersendiri.

Dalam konteks ilmiah, teori Degradasi Lahan Gambut dan Emisi CO₂ memperkuat hasil analisis SWOT ini. Menurut (Szumińska et al., 2023), degradasi lahan gambut terjadi akibat drainase yang menurunkan muka air tanah, mengubah proses dekomposisi anaerobik menjadi aerobik, dan melepaskan CO₂ serta metana (CH₄) ke atmosfer. Aktivitas industri sawit yang memperluas lahan melalui pembukaan hutan dan drainase kanal mempercepat proses ini, sebagaimana dijelaskan (Mishra et al., 2021) bahwa lahan sawit dapat meningkatkan emisi CO₂ hingga 20 kali lipat dibandingkan hutan primer. Dengan demikian, penerapan sistem smart environment seperti pemantauan berbasis IoT dan pengolahan limbah menjadi energi bukan hanya solusi teknologis, tetapi juga langkah strategis untuk memperlambat degradasi lahan gambut yang menjadi sumber utama emisi karbon di Riau. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi digital di sektor lingkungan berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim daerah.

Selain itu, teori ini menegaskan pentingnya pengelolaan hidrologi berkelanjutan melalui pendekatan restorasi dan konservasi berbasis teknologi. Melalui integrasi platform data, pemerintah dan perusahaan dapat memantau kondisi muka air tanah dan tingkat kelembapan gambut secara kontinu, mencegah risiko kebakaran yang sering muncul saat musim kering panjang. Secara ekonomi lingkungan, kebijakan ini juga mampu menginternalisasi biaya eksternalitas degradasi seperti kerugian biodiversitas dan biaya kesehatan akibat kabut asap, melalui penerapan mekanisme insentif seperti pajak karbon (carbon tax) dan perdagangan emisi (emission trading system). Jika dikelola dengan baik, pendekatan ini tidak hanya menekan emisi karbon, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi hijau (green economy) yang berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun