Mohon tunggu...
chens
chens Mohon Tunggu... Pelajar

I Never Lose I Either Win or Learn

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Analisis Perencanaan Smart Enviroment Terhadap Isu Emisi Co2 di Provinsi Riau

11 Oktober 2025   19:15 Diperbarui: 11 Oktober 2025   19:03 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Smart Environment (Lingkungan Cerdas) yaitu keberlanjutan dan sumber daya, lingkungan cerdas itu berarti lingkungan yang bisa memberikan kenyamanan, keberlanjutan sumber daya, keindahan fisik maupun non fisik, visual maupun tidak, bagi masyarakat dan publik lingkungan yang bersih tertata, RTH yang stabil merupakan contoh dari penerapan lingkungan pintar (Abdurrozzaq Hasibuan & Oris Krianto Sulaiman, 2019).

Pilar ini menekankan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan melalui teknologi digital seperti monitoring real-time kualitas udara dan air dengan sensor IoT, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai green growth sesuai advokasi OECD. Indikator sukses mencakup penurunan emisi COâ‚‚ per kapita, peningkatan ruang hijau urban, dan efisiensi energi, diukur dengan standar ISO 37122. Di Indonesia, konsep ini terintegrasi dengan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk penurunan emisi 29% pada 2030, dengan aplikasi seperti sistem prediksi banjir berbasis AI.

Implementasi di Riau fokus pada integrasi TIK untuk mengatasi fluktuasi emisi COâ‚‚ dan kebakaran hutan melalui inisiatif seperti Green for Riau menggunakan GIS dan drone, serta program 100 Smart City Indonesia yang menargetkan 75 kota pintar pada 2045. Di Pekanbaru, Perwako Nomor 56/2019 mendukung pengelolaan emisi dari pabrik sawit, meskipun menghadapi hambatan infrastruktur digital di pedesaan. Potensi ekonominya mencakup peningkatan PDB hingga 15% melalui efisiensi lingkungan, dengan kolaborasi lokal untuk interoperabilitas data berdasarkan Undang-Undang 23/2014.

2. Teori Degradasi Lahan Gambut dan Emisi COâ‚‚

Lahan gambut merupakan ekosistem basah yang menyimpan karbon organik dalam jumlah besar, berpotensi melepaskan emisi COâ‚‚ masif akibat degradasi dari aktivitas manusia dan perubahan iklim. Systems theory menggambarkan proses ini sebagai interaksi kompleks antara drainase antropogenik seperti untuk pertanian, kehutanan, dan pertambangan dengan dinamika hidrologi serta variabilitas iklim, yang menciptakan siklus umpan balik positif berupa kebakaran berulang dan hilangnya fungsi carbon sink. Degradasi terjadi melalui penurunan muka air tanah yang mengubah dekomposisi anaerobik menjadi aerobik, sehingga melepaskan gas rumah kaca (GRK) seperti COâ‚‚ dan metana. Secara global, degradasi peatland diproyeksikan mencapai 26% pada 2050, memperburuk pemanasan global. Di Indonesia, lahan gambut seluas 14,9 juta hektar menyimpan 28,1 Gt COâ‚‚ lebih banyak daripada hutan daratan dengan potensi restorasi menyerap hingga 40,5 GtC, meskipun memerlukan model spasial untuk mengatasi tantangan data hidrologi dan iklim.

Teori ekologi lahan gambut tropis menekankan degradasi akibat konversi lahan untuk perkebunan sawit dan akasia, yang mengurangi kadar air tanah melalui drainase kanal, meningkatkan kerentanan terhadap api dan dekomposisi peat, serta mengganggu siklus hidrologi alami, menyebabkan hilangnya vegetasi endemik dan peningkatan erosi. Perkebunan sawit menyumbang seperempat degradasi gambut di Asia Tenggara, menurunkan biodiversitas dan melepaskan metana. Restorasi melalui paludikultur dapat memulihkan ekosistem, sementara kebijakan moratorium konversi gambut esensial karena drainase sawit meningkatkan emisi COâ‚‚ hingga 20 kali lipat dibandingkan hutan primer. Dampak degradasi meliputi kabut asap yang mengganggu kesehatan, produktivitas, dan ekonomi; perspektif ekonomi lingkungan menyarankan internalisasi biaya eksternalitas melalui pajak karbon atau perdagangan emisi. Restorasi gambut berpotensi menghemat 2 GtCOâ‚‚eq per tahun secara global, dengan nilai ekonomi miliaran dolar melalui layanan ekosistem seperti penyimpanan air dan pencegahan bencana. Di tingkat nasional, REDD+ dapat memberikan insentif hijau bagi petani untuk mendukung komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Dinamika Emisi COâ‚‚ dan Kebakaran Hutan di Provinsi Riau dalam Kaitannya dengan Ekspansi Industri Kelapa Sawit Periode 2015-2025

Provinsi Riau, sebagai salah satu pusat produksi kelapa sawit terbesar di Indonesia, mengalami dinamika emisi karbon dioksida (COâ‚‚) dan kebakaran hutan serta lahan (karhutla) yang kompleks dan fluktuatif sepanjang periode 2015-2025. Dinamika ini tidak hanya mencerminkan interaksi antara faktor antropogenik seperti ekspansi perkebunan sawit dengan variabilitas iklim, tetapi juga menyoroti ketergantungan ekonomi daerah terhadap komoditas ini, yang menyumbang sekitar 51% dari pendapatan daerah asli (PAD) Riau. Ekspansi industri sawit di Riau ditandai oleh peningkatan luas lahan perkebunan dari sekitar 2,8 juta hektare pada 2015 menjadi 3,40 juta hektare pada 2023, dengan produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) mencapai 9,22 juta ton pada tahun yang sama, atau setara dengan 21,36% dari total produksi nasional. Peningkatan ini didorong oleh permintaan global untuk biofuel dan minyak goreng, yang pada gilirannya mempercepat konversi lahan hutan tropis dan gambut menjadi perkebunan, sehingga melepaskan karbon yang tersimpan dalam jumlah masif.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Riau dan berbagai hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa tren kenaikan emisi karbon dan frekuensi kebakaran hutan cenderung meningkat pada saat ekspansi lahan perkebunan sawit sedang tinggi. Pada tahun 2015, misalnya, emisi COâ‚‚ mencapai lebih dari 1,5 miliar ton COâ‚‚ setara, yang merupakan puncak tertinggi dalam satu dekade terakhir. Lonjakan ini tidak terlepas dari praktik pembukaan lahan dengan cara pembakaran, terutama di wilayah gambut yang memiliki kandungan karbon tinggi. Pembakaran tersebut menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar yang berdampak langsung terhadap peningkatan suhu lokal dan memperburuk kualitas udara di Riau dan sekitarnya.

Selain itu, periode 2015–2019 menjadi fase kritis di mana aktivitas industri kelapa sawit mencapai titik ekspansi tertinggi. Penelitian oleh (Yusuf et al., 2019) menemukan bahwa lebih dari 500.000 hektar lahan terbakar di wilayah Riau, terutama di Kabupaten Siak, Indragiri Hulu, dan Pelalawan. Ketiga wilayah tersebut dikenal sebagai pusat pengembangan perkebunan sawit besar, baik milik perusahaan swasta maupun masyarakat. Dalam kurun waktu tersebut, kebakaran meningkat 30–40% ketika terjadi fenomena El Nino, di mana musim kering berlangsung lebih panjang dari biasanya. Dampaknya, sekitar 70% emisi CO₂ nasional dari sektor penggunaan lahan berasal dari Riau. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa intensitas kebakaran dan emisi karbon sangat sensitif terhadap kombinasi antara faktor iklim dan kegiatan industri sawit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun