Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kisah Tiga Pasukan Hijau dari Surabaya

19 Mei 2021   21:05 Diperbarui: 5 Oktober 2022   17:51 2287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persebaya Surabaya juarai Ligina edisi 1996-97. dok: media Persebaya

Kalau menyebut sepak bolanya Surabaya, pasti tak lain dan tak bukan adalah Persebaya. Tak akan ada yang menyebut Persikubar atau Surabaya United. 

Klub yang lekat dengan kostum hijau itu telah menjadi representasi kota pahlawan sejak didirikannya sebagai ahli waris Soerabajasche Indische Voetbal Bond (SIVB). 

Para pendukungnya yang jamak disebut sebagai Bonek bahkan sudah menjadi sebutan umum untuk para arek Suroboyo.

Sudah menjadi hal umum di kompetisi sepak bola Indonesia bahwa hanya ada satu tim dominan di satu kota. Sebut saja Persebaya dengan Surabaya, PSIS di Semarang, Jakarta dengan Persijanya meski beberapa musim belakangan sering menjadi tim musafir. 

Bahkan Persib dalam waktu yang langgeng menikmati sebagai klub bagi seluruh masyarakat Jawa Barat. Munculnya klub-klub macam Pelita Jaya Karawang (kemudian Pelita Bandung Raya) hanya seperti tim gurem bagi Persib. 

Mungkin hanya Mastrans Bandung Raya (MBR) yang sempat punya hagemoni singkat dengan juara Ligina 1995-96, meski harus bubar di akhir musim depannya.

Fenomena adanya dua matahari dalam satu kota tak terlepas dari keputusan PSSI melebur Galatama dan Perserikatan pada 1994 bertajuk Liga Indonesia (Ligina). 

Tapi di Surabaya cerita agak berbeda, bukan dua, tapi tiga klub sekaligus bertarung dalam satu kota di Ligina. Mereka adalah Persebaya Surabaya, Mitra Surabaya, dan Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS).

Mitra dan ASGS terlebih dahulu rutin bertemu sebab keduanya mentas bersamaan sebagai peserta Galatama. Mitra Surabaya adalah penerus klub NIAC Mitra yang pernah juara Galatama tiga kali.

Bisa dibilang era 90an awal hingga pertengahan adalah keemasan sepak bola di Surabaya. Bayangkan tiga klub sekaligus mewakili kota untuk berlaga di level tertinggi kompetisi sepak bola. 

Bahkan ketiganya mempunyai warna kostum yang sama, yaitu hijau dan berlaga di stasion yang sama, yaitu Gelora 10 November, Tambaksari Surabaya. Warga Surabaya dan sekitarnya dimanjakan dengan tontonan sepakbola yang melimpah.

Sportivitas selalu terjaga diantara ketiganya. Secara rutin Surabaya mengirim wakilnya ke babak play-off liga dan puncaknya Persebaya menyabet juara pada 1997 dengan menjungkalkan MBR di final setelah semusim sebelumnya Persebaya dan Mitra menduduki peringkat satu dan dua wilayah timur. 

Mitra sendiri pernah menembus babak semifinal pada edisi 1995-96 dan ASGS lolos ke play-off pada edisi perdana Ligina.

Animo warga Surabaya waktu itu sungguh unik dengan bisa berganti dukungan tiap pekannya. Bila ada salah satu klub bermain, berbondong-bondong Gelora 10 November akan dipenuhi para suporter, dan pekan depannya dapat dipenuhi lagi oleh orang-orang yang sama dengan mendukung panji yang berbeda, diantara ketiga klub tersebut. 

Hal tersebut dapat dimaklumi, sebab Mitra maupun ASGS bermula dari akar yang sama, yaitu sebagai klub internal kompetisi Persebaya yang kemudian diangkat investor untuk mengikuti Galatama. Tercermin dari pilihan warna kostum yang identik.

Namun hagemoni itu hanya beberapa tahun saja terjadi seiring dengan masih adanya masalah klasik klub Galatama, kesulitan finansial. 

Tanpa adanya sokongan dana melimpah, sangat sulit menjalankan klub untuk berkompetisi penuh Mitra bahkan pernah mengalami pembubaran ketika terakhir kali bernama NIAC Mitra pada 1990, Agustinus Wenas yang sejak berdirinya klub menyokong dana akhirnya melepas kepemilikannya ke Grup Jawa Pos yang diawali dengan meruginya klub pada kompetisi edisi sebelumnya.

Adalah ASGS yang mengawali meninggalkan pesta bola Surabaya di kompetisi tertinggi. Vonis degradasi diterima ASGS setelah hanya bertengger di posisi 10 dari 11 peserta wilayah timur Ligina edisi ketiga (1996-97). 

Klub yang dirintis oleh para kaum peranakan Hadrami semenjak 1930an ini mengawali cerita di Galatama divisi 1 pada musim 1990. Berhasil promosi membuat Assyabaab dilirik oleh Group Salim milik konglomerat Sudono Salim membiayai klub dan alhasil nama Assyabaab menjadi Assyabaab Salim Group Surabaya.

Indonesia mulai memasuki masa krisis moneter pada 1997, bertepatan dengan degradasinya ASGS dari divisi utama Ligina. 

Salim Group memutuskan untuk membubarkan tim alih-alih mengikuti divisi 1. Kondisi finansial Salim Group sendiri sebagai penyokong dana sedang limbung dan terancam bangkrut akibat dihajar krisis. 

Meski ASGS bubar, hingga saat ini Assyabaab masih ada sebagai klub amatir dan hingga beberapa tahun lalu berlaga sebagai klub internal Persebaya.

Sedangkan Mitra harus benar-benar pamit dari Surabaya pada 1999. Imbas terdegradasi dari divisi utama, pengusaha asal Kalteng HB Sulaiman membeli Mitra dan memboyongnya ke Palangkaraya dan menjadi Mitra Kalteng Putra (MKP). 

Tak berhenti di situ, MKP selanjutnya diakuisisi berpindah kandang ke Kutai Kartanegara (Kukar) dan selanjutnya dimiliki Pemda Kukar serta otomatis berganti nama menjadi Mitra Kukar semenjak perpindahannya. Akhirnya pada 2007 Mitra kembali ke divisi utama Ligina, meski sudah bukan lagi milik khalayak Surabaya.

Hal yang agak unik mengingat nantinya di masa mendatang akan ada klub asal Kutai Barat, tetangga Kukar yang didatangkan ke Surabaya demi mendongkel Persebaya oleh seorang politisi. Menjadi bagian dalam babak kegelapan bagi persepakbolaan Indonesia dan Surabaya.

Mimpi buruk benar-benar terjadi pada musim Ligina 2002, nama besar terakhir Surabaya, Persebaya terdegradasi dari kancah tertinggi untuk kali pertama. 

Diterpa kondisi internal yang kacau dan kesulitan sokongan dana, Persebaya hanya mampu enam kali mengemas kemenangan dari 22 laga di wilayah timur. 

Ditunjuknya pelatih legendaris Rusdy Bahalwan menggantikan legenda Persebaya tak mampu menyelamatkan klub dari seretan degradasi.

Hanya perlu semusim mentas di divisi 1, Persebaya kembali ke divisi utama dan langsung juara di musim 2004. Guyuran dana segar nan melimpah dari ketua umum sekaligus walikota surabaya, Bambang DH membuat Persebaya mampu mengamankan jasa pemain-pemain terbaik. 

Namun hanya semusim kemudian di kalender 2005, Persebaya dihukum degradasi ketika menolak hadir pada laga 8 besar di Jakarta. Bambang DH sendiri yang menyatakan kengganan Persebaya hadir yang berkaitan dengan tak adanya jaminan keamanan bagi para Bonek.

Momen inilah menjadi awalan serangkaian kejadian pilu bagi Persebaya hingga bertahun-tahun kedepannya. Sempat gagal langsung promosi, Persebaya mendekam di divisi 1 semusim lagi. 

Sempat berlaga di ISL, kemudian 2010 terperosok lagi dalam jurang degradasi dengan cara yang ajaib. Merasa terus digembosi federasi, Persebaya nantinya menyeberang ke perahu IPL sebagai breakaway league tandingan ISLnya PSSI. 

Pada masa inilah, klub asal Kutai Barat yang tadi disinggung di atas diboyong oleh seorang politisi dan diproklamirkan sebagai ‘Persebaya’ juga, serta berlaga di divisi utama binaan PSSI.

Dalam jangka waktu lama, Surabaya seolah terasing dari hiruk pikuk persepakbolaan nasional. Ditinggal tiga klub pasukan hijaunya, dan lebih banyaknya bertarung di pengadilan alih-alih di lapangan. 

Seperti kata Raja Old Traffold, Eric Catona ‘kau bisa mengganti istrimu, agamamu, tapi tidak dengan klub favoritmu’. 

Para Bonek setia menunggu timnya kembali ke medan laga di gelora selagi tak mengacuhkan klub pindahan asal Kutai Barat yang pernah dalam suatu babakan tanpa tedeng aling-aling menyepuhkan nama Bonek FC sebagai identitas mereka untuk turun tanding.

Perlu waktu hingga delapan tahun akhirnya publik Surabaya bisa bersorak kembali di kasta teratas sepak bola nasional. 

Dulunya kota dengan tiga perwakilan hingga pernah absen panjang, itulah penggalan cerita dari Surabaya. Sedangkan panji-panji NIAC Mitra/Mitra Surabaya dan ASGS selalu tersimpan kekal di memori kota para pahlawan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun