"Ya  sudah, mulai besok, aku  nulis kritiknya sekali saja, nggak usah  sampai  dua  atau tiga kali sisanya  aku balik nulis fiksiana lagi."  kata Lilik menangkap apa keinginan Iskandar.
"Makasih, Mas." Ujar Lilik sambil mengedipkan matanya dengan manja kepada Iskandar.
Namun,  dasar wanita buaya. Besoknya, Lilik sudah lupa dengan  apa yang  diucapkannya kemarin. Ia tetap menulis kritik lebih dari tiga kali.
"Lho, tadi bilangnya hari ini cukup sekali saja, sekarang kok malah nambah," keluh Iskandar sambil cemberut.
"Hari ini aja Mas. Lilik udah terlanjur banyak ide kontra soalnya."
Ya  sudah,  hari ini saja ya, besok-besok Mbak harus janji nggak boleh  nambah  kritik, satu kali ya satu kali, nggak boleh lebih."
"Siyap, Sayang." Jawab Lilik sedikit manja.
Esok  hari berikutnya, Lilik kembali berulah. Lagi-lagi, ia menulis banyak  kritik. Begitu terus sampai berhari-hari, dan Iskandar pun  tak  kuasa  menolaknya. Sebab,Lilik memang wanita yang, selain pintar nggombal, juga  punya kemampuan untuk berakting memelas dengan sangat   sempurna.
Iskandar  pun sadar, bahwa hal tersebut tidak bisa  dibiarkan  berlarut-larut.  Ia kemudian mendatangi Ikhawanul  kompasianer senior  untuk  berkonsultasi.
Ikhwanul adalah senior yang sebelumnya menguasai  tahta kompasiana, ia kemudian kalah oleh popularitas Lilik. Mereka pun  selalu bersaing ketat dalam tulisan  kompasiana. Nah,  pengalamannya  soal menghadapi  Lilik  itulah yang  membuat Iskandar mantap untuk  berkonsultasi dengan Ikhwanul.
"Mas, Lilik itu kelihatannya kok fanatik ya,"