Mohon tunggu...
Reza Ahmad Wildan
Reza Ahmad Wildan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

email: ahmad.rezawildan@gmail.com Instagram: rezaahmadwildan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Eksistensi Bahasa Indonesia di Tengah Ancaman Arabisasi

21 September 2020   02:38 Diperbarui: 21 Mei 2021   03:09 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membahas Eksistensi Bahasa Indonesia (dok. pribadi)

Sejak lama, bangsa Indonesia telah menempuh politik kebahasaan, dengan menetapkan bulan Mei sebagai kelahiran bahasa Indonesia dan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa. Namun, jika kita melihat kenyataan di lapangan dewasa ini, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. 

Banyak para penuturnya masih dihinggapi sikap rendah diri, sehingga merasa lebih bangga, modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, walaupun sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia

Sayangnya, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. 

Baca juga : Bulan Bahasa Jantungnya Generasi Pemuda

Akibatnya bisa ditebak, pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah, kalimatnya rancu dan kacau, kosa-katanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya.

Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya.      

Sebelum kita masuk ke dalam eksistensi bahasa Indonesia, ada baiknya kita mengenal apa itu Arabisasi. Pada dasarnya kata ‘Arabisasi’ memiliki padanan kata searti yang lebih tepat, yaitu kata ‘peng-araban’. Kata ‘Arabisasi’ merupakan penggabungan antara kata ‘Arab’ dan akhiran isasi. Akhiran –isasi  bisa kita jumpai pada kata-kata bentukan seperti modernisasi, liberalisasi, spesialisasi, dan sebagainya. 

Lebih jelasnya, akhiran –isasi bersangkutan dengan (proses peng-an), yaitu Peng-arab-an, sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia justru tertulis ‘kearab-araban’, yaitu berarti bersikap dan bertingkah laku (berbahasa) seperti orang arab. 

Jadi, secara terminologi, definisi ‘Arabisasi’ adalah masuknya bahasa asing ke dalam bahasa Arab  setelah mengalami perubahan pada lafalnya, dan mengikuti pola atau kaidah dalam bahasa Arab.

Sejarah mencatat, bahwa bahasa Cina dan bahasa Arab masih ada dan digunakan oleh warga oleh warga negara Indonesia berasal dari etnis Cina dan Arab. Hal ini memang bisa dipahami, mengingat bahasa Cina dan bahasa Arab telah mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam berkontak dengan bahasa Indonesia. 

Bahasa Arab sebagai bahasa percakapan sehari-hari masih digunakan secara terbatas oleh orang-orang tua etnis Arab, dan anehnya lagi, golongan muda malah jarang menggunakannya lagi.  

Bahasa-bahasa lain yang bukan milik penduduk asli seperti salah satu di antaranya bahasa Arab memiliki kedudukan sebagai bahasa asing, yaitu berfungsi sebagai alat komunikasi agama (bahasa agama) dan bahasa budaya (Islam).

Sebagai bahasa asing, kedudukan bahasa Arab justru bertugas sebagai (1) sarana perhubungan antarbangsa, (2) sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, (3) alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional. 

Bahasa Arab merupakan bahasa ketiga di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, bukan sebaliknya, bahasa Arab dijadikan bahasa kedua atau bahasa pertama (bahasa Ibu/daerah).

Baca juga : Bilingual, Bermanfaatkah Diterapkan dalam Salah Satu Kajian Sosiolinguistik?

Dalam Sosiolinguistik, bahasa berkaitan erat dengan masalah sosial budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan sebuah kritik terhadap gejala ‘Arabisasi’ atau ‘Pengaraban’ atau ‘kearab-araban’. 

Kecenderungan semacam itu tampak, misalnya, dengan keracunan bahasa asing seperti penggunaan istilah-istilah bahasa Arab dan kebanggaan orang untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. 

Begitu pula ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata ‘ahad’ untuk menggantikan kata ‘minggu’, dan sebaginya. Seolah-olah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan berkurang karenanya.

Di samping itu, formalisasi dari fenomena ‘Arabisasi’ atau ‘Pengaraban’, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi ‘kemajuan barat’ yang sekuler, maka jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi, bukanlah Islamisasi. 

Bukan hanya itu, Gus Dur pun mengatakan bahwa “proses penggunaan bahasa Arab dalam segala bidang secara vulgar, juga menjadi ciri Islam yang galak. Penguasaan bahasa itu tidak apa, asal jangan sampai membunuh kemampuan kita dalam beradaptasi dengan perkembangan yang ada”.

Mengapa harus menggunakan kata ‘usholi’, kalau dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia masih ada kata ‘sembahyang’ dan ‘salat’. Mengapa harus ‘di-musholahkan’, padahal  masih ada kata ‘langgar’ dan ‘surau’. Belum lagi kata ‘ulang tahun’ akan terasa salah dan tidak Islami jika dibandingkan dengan kata ‘milad’. 

Kenapa mesti panggilan kata ‘ustadz’ dan ‘syaikh’ baru terasa wibawa, jika kata ‘kiai’, ‘tuan guru’, atau ‘buya’ masih ada. Kenapa mesti mengharamkan kata ‘insya Allah’ dan mewajibkan menggunakan kata ‘in sha Allah’. Mengapa mesti menggunakan kata ‘silaturohim’ jika kata baku bahasa Indonesia sudah menetapkan kata ‘silaturahmi’. 

Dan bagaimana mungkin kita mengganti kata ‘saya’, ‘aku’, ‘kamu’, ‘anda’ dan 'saudara' dengan kata ‘ana’, ‘antum’, dan ‘akhi’ dalam kontak berbahasa di sosial masyarakat. Jadi pantas saja, jika dilihat dari ilmu Sosiolingistik, justru fenomena semacam itu akan menimbulkan interferensi berbahasa, kerancuan, ketidakjelasan kosakata, dan ketidaktepatan makna sebuah kata.

Perlu diketahui bahwa fenomena ‘Arabisasi’ atau ‘Pengaraban’ merupakan masalah Sosiolinguistik. Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Kajian secara internal, artinya pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologis, morfologis, semantis, dan struktur sintaksis. 

Sebaliknya, kajian eksternal berarti, kajian yang dilakukan terhadap hal-hal atau faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. 

Pengkajian secara eksternal inilah yang nanti akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah  yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat. 

Jadi, sebagai objek dalam Sosiolingustik, bahasa tidak saja dilihat atau didekati sebagai bahasa, tetapi juga dilihat atau didekati secara interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat.

 Menyikapi kenyataan-kenyataan dari fenomena tersebut, bahasa Indonesia jelas mengalami ancaman, terutama akibat semakin tidak terkendalinya pemakai bahasa dan pemakaian bahasa yang seakan menjadi mengasing ‘kearab-araban’ atau ‘Arabisasi’. Pemakai bahasa berkaitan dengan mutu dan keterampilan berbahasa seseorang. 

Dalam perilaku berbahasa tidak saja terlihat mutu dan keterampilan berbahasa, tetapi juga sikap pemakai bahasa terhadap bahasa yang digunakannya. Sedangkan pemakaian bahasa mengacu pada bidang-bidang kehidupan yang merupakan ranah pemakaian bahasa.

Dengan demikian, peningkatan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi-perguruan tinggi, atau lembaga pendidikan baik formal ataupun nonformal perlu dilakukan melalui peningkatan kemampuan akademik, karena di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 33 ayat 1, tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah Bahasa Indonesia, bukan bahasa Arab.

Berpijak pada kanyataan tersebut, bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia, sehingga jati diri dan identitas bangsa tetap terjaga, dan eksistensi bahasa Indonesia akan terus hidup baik di dalam negeri ataupun di luar negeri. 

Sudah menjadi suatu keharusan, bahwa setiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia ialah menumbuhkembangkan dan membinaa sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

Baca juga : Islam Nusantara, Arabisasi, dan "Rahmatan lil 'Alamin"

Sikap positif inilah yang akan menamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia merupakan jati diri dan penanda identitas bangsa. Di samping itu, sikap positif terhadap bahasa Indonesia dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa. 

Dengan kata lain, disiplin berbahasa menunjukkan sikap nasionalisme, rasa cinta dan setia kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pantas jika bahasa yang dijadikan ideologi sebagai lambang persatuan demi pengerahan massa, yaitu bahasa Indonesia. Hal itu dikemukakan oleh Soekarno dalam Otobiografinya, mengatakan: “Sampai sekarang, bahasa Indonesia dipergunakan di kalangan atas. Tidak oleh rakyat biasa. 

Sekarang, mulai dari hari ini, menit ini, marilah kita putuskan untuk belajar berbicara dalam bahasa Indonesia. Hendaklah rakyat Marhaen dan kaum bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. 

Hendaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara-saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Bagi kita, yang beranak-pinak seperti kelinci, untuk menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus memiliki satu bahasa persatuan – bahasa dari Indonesia yang baru”.

Hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan situasi dan kondisi pemakaiannya. 

Artinya, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. 

Pada akhirnya, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa menunjukkan bukan sebuah sikap taat atau tunduk, melainkan wujud sebentuk rasa hormat kepada, dan rasa bangga terhadap norma-norma bahasa Indonesia yang sudah sepatutnya kita junjung bersama. Lagi pula, orang suka lupa bahwa bahasa adalah cermin sempurna diri pemakainya.

Oleh: Reza Ahmad Wildan

Daftar Pustaka

  • Alwasilah, A. Chaedar. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  • Alwi, Hasan. 2003. “Fungsi Politik Bahasa”. Dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono (Editor). Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
  • Arifin, E. Zaenal. 2014. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada Era Teknologi Informasi. Jakarta: Pustaka Mandiri.
  • Badudu, J. S. 1996. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Badudu, J. S. 2009. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Kompas.
  • Buwono X, Sultan Hamengku. 2008. Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2012. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
  • Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
  • Departemen Pendidikan Nasional. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
  • Effendi, S. 2015. Tata Bahasa Acuan Bahasa Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta: PT Pustaka Mandiri.
  • Fatoni, M. Sulton dan Wijdan Fr. 2014. The Wisdom of Gus Dur: Butir-Butir Kearifan Sang Waskita. Depok: Imania.
  • Fitriany, Yuanita dan Fatya Permata Anbiya. 2015. EYD dan Kaidah Bahasa Indonesia. Jakarta: Transmedia Pustaka.
  • Hadi, Syamsu. 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Diterjemahkan dari Cindy Adams. 1965. Sukarno An Autobiography As Told to Cindy Adams. Jakarta-Yogyakarta: Yayasan Bung Karno-Penerbit Media Pressindo.
  • Halim, Amran. 1976. “Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia”. Dalam Amran Halim (Editor). Politik Bahasa Nasional Jilid 2. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Hani’ah, Munnal. 2018. Panduan Terlengkap PUEBI Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia: Berdasarkan Permendikbud RI Nomor 50 Tahun 2015 tentang PUEBI Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Laksana.
  • Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
  • Muslich, Masnur. 2012. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan. Cetakan Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Sugiarto, Eko. 2017. Kitab PUEBI: Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
  • Sumowijoyo, Gatot Susilo. 2000. Pos Jaga Bahasa Indonesia. Cetakan Pertama. Surabaya: Unipress Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
  • Wahid, Abdurrahman. 2011. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun