Mohon tunggu...
Retno Ningtiyas
Retno Ningtiyas Mohon Tunggu... Lainnya - Human

Secangkir kopi tanpa gula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari (Masa) Anak-Anak

30 November 2020   16:12 Diperbarui: 13 Desember 2020   00:13 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surga, adalah masa kanak-kanak. Sisanya, adalah janji Tuhan yang bebas kau percayai ataupun tidak - Lenang Manggala

Masa kanak-kanak, masa dimana bermain dan mencoba hal-hal baru adalah candu, tanpa harus khawatir seberapa legam kulit wajahku, atau seberapa banyak bekas luka yang selalu memiliki cerita disetiap parutnya. Agaknya, semakin legam, semakin banyak keingintahuan yang terpuaskan. Iya kan?

Berbicara tentang memuaskan keingintahuan, seringnya anak-anak harus melewati tahapan “trial and error” agar mampu memahami objek yang ingin mereka ketahui, tidak terkecuali aku dimasa kanak-kanak. Keinginan untuk bergaya dan membaui parfum Cas*bl*nca yang kuanggap keren dijamannya,  berbuah petaka. *Ah elahhh. 

Berawal dari seringnya mengamati Om ku yang mematut-matutkan wajahnya sambil menyemprotkan wewangian didepan kaca, aku berinisiatif untuk coba memakainya di badanku agar aku juga “keren” sepertinya. Saat Om ku sedang pergi, aku mengendap-endap masuk ke kamarnya. 

Tanpa susah mencari aku menemukan botol parfum di meja dekat dipan dan coba menyemprotkannya ke badanku, entah tanganku yang terlampau kecil atau memang pipa semprotnya yang kelewat keras, aku kesusahan menekan tuasnya. 

Dengan mengerahkan sedikit “cakra” yang kupunyai, aku berhasil menekan pipa semprotnya, tetapi fume yang keluar dari botol mengarah ke wajahku dan mengenai mata. Aku menangis sejadinya, mataku serasa terbakar, cairan parfum juga mengalir ke mulut yang meninggalkan rasa sungguh pahit. Aihhh naasnya...

Tanpa disadari anak-anak adalah peniru ulung yang mencari esensi dari sesuatu yang ditirunya. Dengan melihat perilaku orang dewasa yang terlihat menarik dimata mereka, anak-anak akan berinisiatif untuk mencoba menjadi role model yang ia tiru. Inilah mengapa untuk mengajari anak-anak, kita harus menjadi sesuatu yang semenarik mungkin bagi mereka. 

Bukan justru menghardik mereka dengan himbauan “Jangan Begini, Jangan Begitu” tanpa membuat mereka memahami mengapa mereka dilarang melakukan hal yang dilarang itu. 

Misal inginnya kita menanamkan pada diri anak-anak, jika manusia keren itu adalah mereka yang rajin beribadah, tapi justru kita sebagai orang dewasa memberikan contoh ketika akan melaksanakan ibadah kita tidak terlihat bahagia, terlihat terpaksa atau terkesan tergesa-gesa. Bagaimana bisa mereka akan tertarik?

Anak-anak adalah manusia dewasa yang memiliki ukuran ekonomis dengan fikiran luas dan tanpa batas. Ketika menghadapi hambatan, anak-anak akan berusaha untuk memecahkan masalah demi mencapai tujuan yang ingin ia capai. 

Hanya saja dalam memecahkan masalah, tak jarang mereka merasa kesal, pundung, tak sabar, juga frustasi karena masalahnya tak kunjung usai (orang dewasa juga seperti ini  sih terkadang). 

Disini perlunya orang lain sebagai partner yang membantu mereka untuk memahami permasalahannya dan membiarkan mereka untuk menemukan jalan keluarnya sendiri. 

Begitupun ketika orang dewasa menghadapi masalah, ketika sudah sampai diubun-ubun berfikir dan tak ditemui pemecahan mutakhir, orang dewasa memerlukan partner diskusi atau sekedar kawan minum kopi untuk menajamkan kembali intuisi.

No Pain, No Gain!

Anak-anak juga begitu, ketika ia tahu bahwa mist dari parfume ternyata sangat pedih jika terkena mata dan sangat pahit jika tertelan, maka di pikiran mereka akan muncul tanda “fear” agar lebih berhati-hati ketika bertemu dengan benda yang sama. Kejadian buruk yang pernah menimpa mereka akan selalu mereka ingat dan tersimpan dalam Long Term Memory. 

Dari kejadian itu, bukan hanya anak yang belajar, tetapi kita sebagai orang dewasa juga seperti diingatkan, bahwasannya ketika kita berbaur dengan anak-anak kita harus lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Tugas orang dewasa adalah meminimalisir timbulnya risiko bahaya yang mungkin menimpa mereka.

Masa anak-anak memang tidak akan pernah terulang lagi, tetapi semua peristiwa yang pernah dilewati akan terus hidup dan terbawa sampai dewasa nanti. Jadi, sudahkah kita belajar dari (masa) anak-anak?

 

*Tulisan pertama saya di Kompasiana, yang saya persembahkan untuk memperingati Hari Anak Sedunia tanggal 20 November lalu. 

Teruslah bertumbuh, teruslah menjadi anak-anak pemberani 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun