Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Hendra Rahardja ke Oligarki Politik: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia

7 Oktober 2025   00:26 Diperbarui: 7 Oktober 2025   00:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika safeguard diperkuat, regulasi diharmonisasikan, dan masyarakat sipil dilibatkan secara aktif, maka RUU Perampasan Aset bisa menjadi salah satu terobosan penting dalam memperbaiki tata kelola hukum dan keuangan negara. Keberhasilan pengesahan dan implementasi RUU ini akan menjadi indikator nyata apakah Indonesia benar-benar serius melawan korupsi dan kejahatan ekonomi, atau masih terjebak dalam cengkeraman oligarki yang kuat.

Penutup

RUU Perampasan Aset sesungguhnya bukan sekadar wacana hukum, melainkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat kerangka asset recovery di Indonesia. Data ICW yang menunjukkan kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp234,8 triliun dengan pengembalian hanya Rp32,8 triliun memperlihatkan jurang besar antara potensi pemulihan aset dan kenyataan praktik (ICW, 2023). Tanpa perangkat hukum yang efektif, negara akan terus kehilangan sumber daya publik yang vital, sementara para pelaku korupsi tetap menikmati hasil kejahatannya.

Namun, urgensi hukum ini tidak akan pernah berarti tanpa political will yang kuat. Sejarah legislasi Indonesia menunjukkan bahwa banyak RUU progresif yang kandas di tengah jalan karena kooptasi oligarki politik dan ekonomi (Hadiz & Robison, 2013). Jika hal ini kembali terjadi pada RUU Perampasan Aset, satu-satunya langkah yang tersisa adalah keberanian Presiden untuk mengeluarkan Perppu sebagai extraordinary measure. Pertanyaan krusialnya adalah: beranikah Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah radikal itu demi kepentingan bangsa?

Keseimbangan antara pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi manusia juga menjadi titik krusial. Dalam perspektif teori hukum, rule of law harus tetap menjadi rujukan utama, bukan sekadar rule by law (Dicey, 1959). Perampasan aset tidak boleh bergeser menjadi instrumen kekuasaan yang digunakan untuk menyingkirkan lawan politik. Karena itu, mekanisme judicial oversight dan keterlibatan publik adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap tindakan negara tetap dalam koridor keadilan substantif.

Pada level normatif, Indonesia sudah berkomitmen melalui ratifikasi UNCAC 2003 yang mendorong negara-negara anggota mengembangkan mekanisme pemulihan aset lintas yurisdiksi (Carr, 2007). Tetapi pada level praksis, implementasi di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara lain. Australia, Inggris, dan Singapura sudah mempraktikkan non-conviction based asset forfeiture secara efektif, sementara Indonesia masih berdebat pada tahap legislasi. Keterlambatan ini semakin memperkuat kesan bahwa hukum di Indonesia belum mampu menandingi kekuatan oligarki domestik.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari analisis Jeffrey Winters tentang oligarki Indonesia. Dalam kerangka wealth defense, oligarki menggunakan instrumen hukum, politik, dan ekonomi untuk melindungi akumulasi kekayaan mereka (Winters, 2011). RUU Perampasan Aset pada akhirnya menjadi "ancaman eksistensial" bagi elite yang kekayaannya bersumber dari praktik korupsi dan rente. Maka resistensi yang terus-menerus terhadap RUU ini adalah bagian dari logika oligarki itu sendiri.

Karena itu, diperlukan terobosan politik yang bersifat radikal. Amartya Sen (1999) menekankan bahwa korupsi secara struktural menghancurkan kapabilitas rakyat untuk hidup bermartabat. Dalam konteks Indonesia, praktik korupsi yang masif di hampir semua sektor telah meruntuhkan kemampuan negara mewujudkan cita-cita mistik Proklamasi 17 Agustus 1945: sebuah bangsa merdeka yang adil dan sejahtera. Jika demikian, maka strategi melawan korupsi pun harus bersifat radikal, bukan hanya kosmetik atau teknokratis.

Salah satu jalan adalah memastikan bahwa DPR, pemerintah, dan masyarakat sipil bekerja dalam satu poros untuk menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai instrumen keadilan, bukan alat politik. Transparansi pembahasan, partisipasi publik, dan keterlibatan akademisi serta masyarakat sipil perlu dijadikan syarat wajib dalam proses legislasi. Tanpa itu, RUU hanya akan menjadi dokumen mati yang tidak mampu menembus benteng oligarki.

Lebih jauh, pemerintah perlu mendorong integrasi antara RUU ini dengan kerangka besar reforma agraria, pembangunan desa, dan tata kelola keuangan negara. Dengan begitu, perampasan aset tidak hanya menjadi instrumen pidana, melainkan juga strategi redistribusi ekonomi untuk memperkuat kesejahteraan rakyat. Hanya dengan cara demikian hukum dapat menjadi instrumen transformasi sosial, bukan sekadar aparatus represi.

Dalam horizon yang lebih luas, pengesahan dan implementasi RUU Perampasan Aset akan menjadi indikator serius apakah Indonesia benar-benar berkomitmen menjadi negara hukum yang kuat. Jika berhasil, Indonesia dapat memperlihatkan kepada dunia bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar jargon, tetapi tindakan nyata yang berpihak pada rakyat. Jika gagal, maka Indonesia akan semakin terjebak dalam spiral oligarki predatoris yang memperlebar jurang ketidakadilan sosial.

Pada akhirnya, semua kembali pada kesadaran politik bangsa ini. Al-Qur'an mengingatkan: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd:11). Ayat ini menjadi peringatan sekaligus harapan: perubahan tidak akan datang jika kita pasrah pada status quo. Hanya keberanian kolektif bangsa untuk melawan korupsi secara radikal yang akan membuka jalan menuju Indonesia yang adil, sejahtera, dan bermartabat.*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun