Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Hendra Rahardja ke Oligarki Politik: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia

7 Oktober 2025   00:26 Diperbarui: 7 Oktober 2025   00:26 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Korupsi telah lama menjadi penyakit struktural yang melemahkan fondasi ekonomi-politik Indonesia. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada periode 2019--2023 mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp234,8 triliun. Ironisnya, dari jumlah tersebut hanya sekitar Rp32,8 triliun---atau 13,9%---yang berhasil dikembalikan ke kas negara melalui mekanisme asset recovery yang ada saat ini. Angka ini menunjukkan keterputusan serius antara tindak pidana korupsi dan pengembalian hasil kejahatannya kepada publik yang dirugikan. Dengan kata lain, meskipun proses penegakan hukum berjalan, negara tetap tidak memperoleh kembali sebagian besar aset yang dirampas oleh koruptor.

Kasus Hendra Rahardja, terpidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1990-an, merupakan contoh nyata kegagalan sistem hukum Indonesia dalam melakukan pemulihan aset. Hendra, yang kabur ke Australia hingga wafat di sana pada 2003, berhasil menyembunyikan sebagian besar aset hasil kejahatannya di luar negeri. Upaya pemerintah Indonesia untuk mengejar aset tersebut hanya memperoleh hasil terbatas, yakni sekitar Rp4 miliar, berkat memanfaatkan Proceeds of Crime Act 2002 milik Australia (BBC News Indonesia, 24 September 2022). Fakta ini menegaskan bahwa tanpa instrumen hukum yang memadai, negara akan selalu tertinggal selangkah dibandingkan para pelaku kejahatan ekonomi yang lihai memindahkan aset lintas yurisdiksi.

Di banyak negara, solusi untuk mengatasi problem tersebut adalah dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB), yaitu perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (Bruce Zagaris, 2015). Melalui mekanisme ini, aset dapat disita ketika pemilik tidak mampu menjelaskan asal-usul kekayaannya (unexplained wealth). Australia, Inggris, dan Singapura adalah contoh negara yang berhasil memanfaatkan regulasi tersebut untuk meminimalkan kerugian akibat tindak pidana korupsi, narkotika, maupun kejahatan transnasional (Lorna Carson, 2012). Indonesia, sebaliknya, masih terjebak pada prosedur konvensional yang menempatkan perampasan aset sebagai konsekuensi sekunder setelah pemidanaan individu.

Inilah yang menjadikan RUU Perampasan Aset krusial dan disebut banyak pakar sebagai missing link dalam pemberantasan korupsi. RUU ini bertujuan untuk menutup celah hukum, memperkuat efektivitas asset recovery, serta memastikan kerugian negara tidak semakin membengkak. Secara teoretis, keberadaan RUU ini berakar pada pendekatan economic analysis of law, yang menekankan pentingnya mengurangi insentif ekonomi dari tindak pidana (Richard A. Posner, 2014). Jika pelaku kejahatan tidak hanya dihukum penjara, tetapi juga kehilangan manfaat finansial dari tindakannya, maka daya cegah (deterrence effect) akan meningkat.

Namun, perjalanan panjang RUU ini di Indonesia menunjukkan dinamika politik yang rumit. Sejak pertama kali diusulkan oleh PPATK pada 2003--2004 hingga kini, RUU Perampasan Aset telah empat kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun selalu gagal dibahas secara tuntas. Banyak pengamat menilai bahwa resistensi datang bukan semata dari kendala teknis perumusan, tetapi juga dari kuatnya keterkaitan antara kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi---sebuah situasi yang dalam literatur disebut sebagai oligarki politik-ekonomi (Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, 2004). Jeffrey A. Winters (2011) menyebut fenomena ini sebagai oligarchic property defense, di mana para pemilik modal menggunakan kekuasaan politik untuk melindungi akumulasi kekayaannya dari intervensi hukum.

Kondisi ini memperlihatkan adanya paradoks. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang tegas untuk menutup kebocoran keuangan negara. Di sisi lain, elite politik yang seharusnya mendorong regulasi justru berpotensi menjadi pihak yang dirugikan jika aturan tersebut berlaku. Tidak mengherankan bila DPR kerap disebut "tidak ramah" terhadap RUU ini. Situasi ini memperkuat tesis Guillermo O'Donnell (1994) tentang delegative democracy, di mana institusi formal demokrasi ada, tetapi fungsinya kerap dibajak oleh kepentingan elite.

Pertanyaan penting yang kemudian muncul adalah: mengapa RUU Perampasan Aset selalu mandek? Secara hukum, kendala dapat dilacak pada tumpang tindih dengan UU Tipikor, UU Narkotika, maupun UU lain yang juga mengatur perampasan aset, meskipun secara fragmentaris. Secara politik, hambatan jelas berasal dari resistensi elite yang memiliki hubungan erat dengan akumulasi modal bermasalah. Tantangan ketiga adalah lemahnya integritas aparat penegak hukum, yang membuat kekhawatiran publik akan adanya potensi penyalahgunaan menjadi beralasan.

Di titik ini, muncul pula persoalan lain: bagaimana desain safeguard agar perampasan aset tidak berubah menjadi alat politik? Kekhawatiran akan "RUU jadi senjata gebuk" sangat valid, terutama bila melihat praktik hukum di Indonesia yang kerap dipolitisasi. Karena itu, desain kelembagaan menjadi kunci. Gagasan tentang hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan yang mengawasi perintah penyitaan dan perampasan aset merupakan salah satu opsi yang dapat menjamin independensi dan akuntabilitas proses hukum.

Artikel ini berangkat dari pemahaman bahwa perampasan aset adalah instrumen vital dalam pemberantasan korupsi, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada konteks politik dan kelembagaan. Dengan demikian, penelitian ini mengajukan tiga rumusan masalah utama: (1) mengapa RUU Perampasan Aset selalu mandek dalam proses legislasi; (2) apa saja tantangan hukum dan politik yang dihadapi; dan (3) bagaimana desain safeguard yang dapat mencegah penyalahgunaan regulasi tersebut.

Melalui kerangka analisis teoretis tentang hukum, ekonomi, dan oligarki, artikel ini berupaya memberikan jawaban kritis sekaligus menawarkan solusi. Dengan demikian, pembahasan tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga menyumbang gagasan konstruktif bagi pembangunan hukum di Indonesia yang lebih berorientasi pada keadilan substantif dan kepentingan publik.

Tinjauan Teoretis & Komparatif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun