Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Hendra Rahardja ke Oligarki Politik: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia

7 Oktober 2025   00:26 Diperbarui: 7 Oktober 2025   00:26 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hambatan lain muncul dari relasi erat antara politik, bisnis, dan oligarki. Jeffrey Winters (2011) menegaskan bahwa oligarki modern mempertahankan kekayaannya bukan semata melalui kepemilikan ekonomi, tetapi juga melalui proteksi politik dan hukum. Di Indonesia, Robison dan Hadiz (2004) menunjukkan bahwa pasca-Reformasi, oligarki mampu mengadaptasi diri dalam sistem demokrasi dengan menguasai partai, parlemen, dan birokrasi.

RUU Perampasan Aset dianggap berbahaya karena menyasar inti kekuasaan oligarki: akumulasi kekayaan yang tidak transparan. Banyak aset bermasalah, seperti tanah hasil perampasan, kekayaan hasil rente sumber daya alam, hingga keuntungan dari persekongkolan bisnis dengan birokrasi, bersemayam di lingkaran elite. Jika RUU ini disahkan, perlindungan atas akumulasi kekayaan tersebut bisa terancam. Dengan demikian, penundaan RUU bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari strategi oligarki untuk menjaga status quo.

3. Kekhawatiran Penyalahgunaan sebagai Alat Politik

Kritik yang kerap muncul adalah potensi RUU ini digunakan sebagai alat gebuk politik. Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya tanpa dasar. Dalam sejarah politik Indonesia, instrumen hukum kerap dipakai untuk melemahkan lawan politik, baik pada era Orde Baru maupun pasca-Reformasi (Butt & Parsons, 2021). Jika tidak dirancang dengan safeguard yang kuat, perampasan aset bisa menjadi instrumen represif bagi rezim yang berkuasa.

Namun, argumen ini juga sering dipakai secara manipulatif untuk menolak pengesahan RUU. Padahal, solusi atas kekhawatiran ini bukanlah menunda legislasi, melainkan memperkuat desain kelembagaan. Misalnya, dengan melibatkan hakim komisaris independen yang bertugas mengawasi proses penyitaan aset, atau memperkuat mekanisme akuntabilitas publik terhadap pengelolaan aset rampasan. Dengan pendekatan itu, risiko politisasi dapat ditekan tanpa mengorbankan kebutuhan akan efektivitas hukum.

4. Lemahnya Integritas Penegak Hukum

Faktor berikutnya adalah rendahnya integritas aparat penegak hukum. Berbagai survei, termasuk dari Transparency International (2022), menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap integritas lembaga penegak hukum di Indonesia masih rendah. Kasus korupsi di tubuh kepolisian, kejaksaan, dan bahkan lembaga antikorupsi menjadi indikator lemahnya accountability.

Dalam konteks RUU Perampasan Aset, kelemahan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aset yang disita justru menjadi sumber korupsi baru. Sejarah pengelolaan barang rampasan negara menunjukkan banyak aset yang hilang, dijual di bawah harga pasar, atau tidak jelas pemanfaatannya (Setiyono, 2019). Tanpa reformasi kelembagaan yang serius, perampasan aset berpotensi berubah dari solusi menjadi masalah baru.

5. Hambatan Struktural dan Budaya Hukum

Selain faktor politik dan kelembagaan, hambatan lain bersifat struktural. Budaya hukum Indonesia masih sangat formalistik. Mekanisme hukum pidana konvensional yang menempatkan pembuktian pidana sebagai syarat mutlak sering dianggap sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menyita aset. Padahal, konsep non-conviction based forfeiture menuntut paradigma baru: bahwa aset hasil kejahatan dapat berdiri sendiri sebagai objek penyitaan (Stephenson dkk., 2011). Resistensi dari sebagian kalangan akademisi dan praktisi hukum konservatif juga memperlambat penerimaan ide ini.

6. Kompleksitas Politik Hukum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun