Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Hendra Rahardja ke Oligarki Politik: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia

7 Oktober 2025   00:26 Diperbarui: 7 Oktober 2025   00:26 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sudut teori politik hukum, problem ini mencerminkan tarik-menarik antara legal centralism dan legal pluralism (Griffiths, 1986). Pemerintah cenderung mendorong regulasi baru dengan kerangka hukum universal, sementara DPR sebagai representasi politik mengakomodasi pluralitas kepentingan, termasuk kepentingan oligarki. Tarik-menarik inilah yang menjadikan legislasi berjalan lambat, atau bahkan macet sama sekali.

7. Solusi dan Jalan ke Depan

Meskipun hambatan besar, bukan berarti RUU ini tidak dapat disahkan. Solusi harus mencakup dimensi hukum, politik, dan institusional. Pertama, desain RUU harus menyertakan safeguard yang kuat: adanya pengawasan hakim independen, publikasi aset rampasan secara transparan, serta pengelolaan melalui lembaga khusus yang akuntabel. Kedua, penguatan integritas penegak hukum menjadi syarat mutlak, termasuk melalui reformasi tata kelola barang rampasan dan peran KPK sebagai pengawas. Ketiga, masyarakat sipil harus dilibatkan lebih luas untuk mencegah proses legislasi berlangsung secara tertutup dan dikendalikan oleh oligarki.

Dengan strategi ini, resistensi DPR dapat ditekan melalui legitimasi publik yang tinggi. Kekhawatiran politisasi dapat diminimalisasi dengan checks and balances kelembagaan. Dan kelemahan integritas dapat diatasi dengan reformasi manajemen aset rampasan yang berbasis transparansi digital dan pengawasan publik. Pada akhirnya, hambatan yang ada bukan alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk merancang solusi yang lebih cerdas dan adil.

Prospek dan Strategi Penguatan

Salah satu kelemahan paling mendasar dalam desain RUU Perampasan Aset adalah absennya instrumen yang lebih progresif seperti unexplained wealth atau kekayaan yang tidak dapat dijelaskan. Konsep ini sudah diterapkan di berbagai yurisdiksi, misalnya Australia melalui Unexplained Wealth Orders (UWO) di bawah Proceeds of Crime Act 2002, serta Inggris melalui Criminal Finances Act 2017. Instrumen ini memungkinkan negara untuk menuntut seseorang yang memiliki harta kekayaan mencurigakan agar membuktikan asal-usul kekayaannya, tanpa harus menunggu putusan pidana terlebih dahulu. Dalam konteks Indonesia, penerapan mekanisme ini akan menutup celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh elite politik dan pelaku ekonomi rente untuk menyembunyikan aset hasil korupsi atau kejahatan lintas negara (Levi & Soudijn, 2020).

Namun, setiap perluasan instrumen hukum selalu mengandung potensi penyalahgunaan. Oleh karena itu, mekanisme safeguard menjadi penting. Dalam rancangan yang ideal, pembatasan kewenangan eksekutif perlu diimbangi dengan keberadaan hakim komisaris yang berfungsi sebagai pengawas independen setiap permintaan perampasan aset. Skema serupa telah dipraktikkan dalam hukum acara pidana di beberapa negara Eropa Kontinental, di mana seorang hakim berperan sebagai pengawas objektif atas tindakan yang potensial melanggar hak asasi warga negara (Lupria & Gialuz, 2018). Selain itu, keterlibatan publik dan media dalam pengawasan transparansi pengelolaan aset rampasan juga merupakan syarat mutlak. Di Indonesia, pengelolaan aset sering kali menjadi lahan korupsi baru, misalnya dalam penjualan atau lelang barang bukti yang tidak transparan.

Dalam hal pengelolaan, perlu ada kejelasan siapa otoritas yang bertanggung jawab---apakah Jaksa Agung sebagai eksekutor pidana, atau KPK yang memiliki mandat khusus pemberantasan korupsi. Agar tidak terjadi tumpang tindih, sebaiknya aset rampasan hasil tindak pidana korupsi tetap dikelola KPK, sementara tindak pidana umum berada di bawah kewenangan Kejaksaan. Model ini dapat diperkuat dengan melibatkan Badan Layanan Umum (BLU) khusus yang mengelola aset rampasan secara profesional, akuntabel, dan transparan.

Strategi penguatan lain adalah harmonisasi regulasi. RUU Perampasan Aset tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus sinkron dengan UU Tipikor (1999/2001), UU Narkotika (2009), UU Pencegahan Perusakan Hutan (2013), serta RUU KUHAP yang tengah dibahas. Sinkronisasi ini penting agar tidak terjadi konflik norma atau tumpang tindih kewenangan antar-aparat penegak hukum. Harmonisasi juga diperlukan pada level internasional, mengingat banyak aset hasil korupsi Indonesia yang diparkir di luar negeri. Ratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) 2003 seharusnya menjadi dasar kuat untuk memperkuat kerja sama internasional dalam asset recovery (Carr, 2007).

Selain itu, peran masyarakat sipil tidak boleh dikecilkan. Sejarah politik hukum Indonesia menunjukkan bahwa RUU yang berpotensi mengganggu kepentingan elite sering kali dibahas secara tertutup, minim partisipasi publik. Oleh karena itu, keterlibatan organisasi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis investigatif, dan lembaga internasional perlu diinstitusionalisasikan. Mekanisme public hearing dan konsultasi publik harus diwajibkan, sehingga pembahasan RUU tidak dilakukan "diam-diam" di ruang rapat DPR yang tertutup dari sorotan masyarakat (Butt & Lindsey, 2018).

Prospek RUU Perampasan Aset juga sangat ditentukan oleh kekuatan politik eksekutif. Presiden, dalam hal ini, harus mampu memimpin agenda reformasi hukum dengan menjadikan RUU ini sebagai prioritas nasional yang tidak bisa dinegosiasikan. Jokowi pernah menegaskan komitmennya, tetapi lemahnya dorongan politik membuat RUU ini selalu tertunda. Dengan pemerintahan baru pasca-2024, peluang bisa terbuka jika Presiden Prabowo Subianto dan partai pendukungnya menjadikan RUU ini sebagai bagian dari agenda besar pemberantasan korupsi dan perbaikan tata kelola keuangan negara.

Namun, prospek ini tetap menghadapi tantangan besar dari oligarki politik-bisnis. Jeffrey Winters (2011) menegaskan bahwa oligarki di Indonesia bekerja dengan logika wealth defense---yakni melindungi kekayaan yang sudah terkonsentrasi melalui instrumen hukum, politik, dan bahkan kekerasan. Dengan logika ini, maka perlawanan terhadap RUU Perampasan Aset merupakan keniscayaan, karena instrumen hukum tersebut secara langsung mengancam akumulasi kekayaan yang diperoleh secara ilegal. Maka strategi penguatan RUU harus melampaui pendekatan teknokratis, melainkan melibatkan gerakan politik yang lebih luas dari masyarakat sipil, media, dan aktor reformis di dalam negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun