Mohon tunggu...
Resi Junanda
Resi Junanda Mohon Tunggu... Penulis

Jurnalisme bukan sekadar menyampaikan berita—melainkan memperjuangkan kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tubuh untuk Dijual, Moral untuk Dipamerkan: Wajah Hipokrit Kota Bandar Lampung

28 Juli 2025   08:05 Diperbarui: 28 Juli 2025   08:05 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SAAT para pejabat sibuk memoles citra dan baliho menyebut Lampung "Berjaya", ada kenyataan lain yang bersembunyi di sudut-sudut kota---malam yang dibeli, tubuh yang disewa, dan harapan yang digadaikan. Di balik slogan dan seremonial, pekerja seks komersial (PSK) tetap jadi pemandangan senyap yang dibiarkan hidup---tanpa perlindungan, tanpa pengakuan, tapi terus dimanfaatkan, secara ekonomi maupun politis.

Di Jalan Yos Sudarso, Rajabasa, hingga daerah Panjang, tubuh perempuan dijajakan seperti barang sisa. Tak ada papan nama, tak ada lokalisasi resmi, hanya kode yang dimengerti pembeli setia dan suara kendaraan yang melambat tiap malam.

Maya, bukan nama sebenarnya, adalah satu dari ratusan perempuan yang berdiri di antara kegelapan dan ketidakpedulian. "Kami ini bukan kriminal, tapi juga bukan warga yang dianggap sah," katanya. Ia telah menjajakan tubuhnya sejak usia 24 tahun. Kini, di umur 30-an, tubuhnya mulai ditawar murah oleh pelanggan yang makin muda dan makin kasar.

"Kalau lagi apes, dapat 100 ribu semalam. Kalau mujur, bisa tiga pelanggan. Tapi resikonya? Bisa kena tampar, nggak dibayar, atau malah ditangkap Satpol PP. Dan nggak ada yang peduli."

Razia yang Tak Pernah Usai

Setiap tahun, pemerintah daerah memamerkan agenda "penertiban moral". Razia demi razia dilakukan oleh Satpol PP dengan iringan kamera media lokal. PSK dijaring, didata, diberi penyuluhan sepihak, lalu dilepas. Keesokan malam, semuanya kembali seperti semula. Ini bukan solusi, tapi tontonan.

"Razia itu buat konten saja. Biar dikira kerja," sindir Wati, PSK veteran yang telah 20 tahun melayani pelanggan dari kalangan sopir truk hingga mahasiswa. "Yang penting bukan kami hilang, tapi supaya orang-orang bisa merasa lebih suci karena melihat kami dipermalukan."

Ironisnya, dalam banyak razia, pelanggan tak pernah dijerat. Tidak ada pencatatan nama, apalagi pemrosesan hukum. "Yang jadi objek hanyalah perempuan. Seakan-akan laki-laki tak pernah beli seks, seakan dosa hanya milik kami," lanjut Wati dengan nada dingin.

Kota Tanpa Lokalisasi, Prostitusi Tanpa Batas

Lampung tak memiliki lokalisasi resmi sejak era kampanye moral pasca-Reformasi. Namun bukan berarti prostitusi menghilang. Ia beradaptasi, menyusup ke indekos, hotel kelas melati, aplikasi kencan, dan bahkan media sosial. Tanpa regulasi, tak ada perlindungan. PSK makin terpinggir, dan praktik makin brutal.

Dalam kondisi ini, muncullah makelar, muncullah preman, muncullah polisi-polisi yang "mengawasi"---kadang sebagai pelindung, kadang sebagai pemalak. Semua tahu, semua diam.

LSM Lentera Perempuan mencatat peningkatan laporan kekerasan seksual terhadap PSK jalanan dalam dua tahun terakhir. Namun dari puluhan kasus, hanya segelintir yang diproses. "Karena siapa yang akan membela perempuan yang dianggap 'sudah rusak'? Hukum pun enggan bergerak bila korban bukan dari kelas menengah," kata Nurul, aktivis perempuan di Bandar Lampung.

Kemiskinan yang Dipaksa Diam

Mayoritas PSK di Lampung berasal dari desa-desa yang tertinggal. Minim pendidikan, miskin koneksi, dan dicekik kebutuhan. Beberapa di antaranya adalah janda muda, korban kekerasan rumah tangga, bahkan mantan buruh migran yang pulang tanpa hasil. Tubuh jadi satu-satunya modal tersisa.

"Masyarakat suka menyuruh kami tobat, tapi tidak pernah menawari pekerjaan," ujar Maya getir. Ia mengaku pernah mencoba menjadi karyawan toko, namun langsung dikeluarkan ketika masa lalunya terbongkar. "Kau boleh berubah, tapi orang tak akan pernah membiarkanmu berubah."

PSK tak punya serikat. Tak punya perlindungan hukum. Mereka tak bisa lapor jika dipukul pelanggan. Mereka tak bisa menolak bila polisi meminta uang "keamanan". Di mata negara, mereka bukan profesi. Tapi dalam praktik ekonomi kota, mereka adalah realitas yang dipakai---lalu dibuang.

Apa yang Dibiarkan, Akan Membusuk

Lampung sering dibanggakan sebagai tanah para penyimbang, warisan budaya, dan spiritualitas tinggi. Namun para pemimpin daerah tampaknya lebih sibuk mengelola warisan daripada memikirkan kenyataan. Prostitusi tak butuh pengakuan, tapi perlu regulasi. Tanpa itu, perempuan-perempuan seperti Maya dan Wati hanya akan terus menjadi korban---dari pelanggan, dari aparat, dari masyarakat, bahkan dari negara yang membungkam mereka dengan diam.

Karena apa yang terus dibiarkan dalam gelap, bukan hanya hidup liar---tapi akan membusuk, meracuni kota ini dari dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun