Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 21, Malaka) - Rencana Rahasia

3 April 2024   06:30 Diperbarui: 3 April 2024   06:50 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Entah berapa jam ia tadi telah tertidur, pikiran Abdi seperti tidak bisa diakses dengan baik. Bahkan obrolannya dengan Dalem sesudah sholat subuh tadi tidak bisa diingatnya dengan jelas. Mungkin pengaruh obat bius pada senjata yang digunakan oleh orang yang melukainya kemarin masih tersisa. Satu-satunya hal yang jelas adalah gambaran sebuah benteng besar yang kini ada dihadapannya. Ia dan Dalem dijemput pagi ini dengan moda transportasi unik, alih-alih kuda alat transportasi ini ditarik dua ekor lembu. Sempat penasaran, ia menanyakan nama alat transportasi ini kepada orang yang menjemput mereka. Ternyata moda transportasi ini biasa disebut dengan istilah Bullock Cart. Mereka melintasi pintu gerbang masuk ke dalam benteng, penjaga yang langsung tahu setelah melihat bentuk dan corak Bullock Cart yang dinaiki Abdi dan Dalem segera berkata,

"Bangunan terbesar di sebelah kiri, sebelum bangunan utama di hujung."

            Kusir mengarahkan kendaraan menuju tempat yang disebutkan oleh penjaga gerbang. Di dalam benteng berdiri beberapa gedung dan pos penjagaan di setiap sudut. Sudah jelas tempat ini adalah milik bangsawan atau pejabat kesultanan Malaka. Bangunan di ujung merupakan bangunan paling megah, berwarna kekuningan dan memiliki bentuk atap hampir sama dengan yang dimiliki suku Padang. Di sebelah kiri bangunan inilah tampak sebuah gedung besar yang bisa ditebak adalah gedung pertemuan. Jumlah jendela yang cukup banyak membuat Abdi dan Dalem berpikir mungkin di dalamnya seperti ruang kuliah para mahasiswa Mataram.

            Keduanya turun bergantian ketika kusir menambatkan kendaraan khasnya. Belum lama menikmati pemandangan, mereka sudah disuruh masuk oleh penjaga di pintu utama.

            "Sile masuk, sudah ditunggu," ucapnya singkat.


            Abdi melangkahkan kaki disusul oleh Dalem yang tampak lebih riang dan tenang. Hal yang membuat Abdi sedikit jengkel karena ternyata sobatnya ini memang memiliki tubuh yang kuat, berbeda dengan dirinya. Pagi tadi hal ini sempat menjadi riak kecil di percakapan mereka.

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Kok kamu biasa aja sih Lem!? Aku pusing banget nih!"

            "Hahaha, kan udah tidur Di, masak masih pusing?"

            Sekelebatan ingatan itu muncul, Abdi berusaha tetap fokus melangkah memasuki pintu. Dilihatnya dinding di pintu masuk dihiasi beberapa lukisan orang-orang. Tampaknya orang-orang di lukisan ini adalah orang-orang penting, hanya di dua lukisan terakhir sebelum belokan ke kanan Abdi membaca tulisan di bawahnya,

'Mahmud Shah' dan 'Ahmad Shah'.

            Setelah berbelok ke kanan di depan tampak pintu yang telah terbuka dan di dalamnya terlihat dari jauh beberapa orang telah duduk mengelilingi sebuah meja bundar. Jantung Abdi berdegup, bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang mengundang mereka ke sini dan apa hubungannya dengan kejadian kemarin. Sepertinya ia mengenal suara di depan. Selagi Abdi terus melangkah ke pintu yang sudah terbuka, Dalem masih asyik mengamati sisa lukisan yang ternyata bersambung hingga sebelum masuk ruangan. Setelah lukisan di dinding berakhir barulah ia menghadapkan wajahnya ke depan. Hampir menabrak Abdi, ia juga ternyata terkejut melihat dua orang yang sedang berdiri.

            "Ah, dua orang yang kita tunggu telah tiba. Ayo masuk kemari Abdi.. Dalem," ujar suara pertama.

            "I..iya Imam Hassan,"

            Abdi masih belum bisa menghilangkan keterkejutan bertemu kembali dengannya. Apalagi kali ini beliau datang mungkin bukan hanya sebagai seorang Imam Masjid biasa namun seorang yang penting dari Kerajaan Samudera. Melangkah ke arah kursi kosong, ia mengerling ke belakang untuk melihat Dalem yang kini hanya terpaku di tempat, melihat ke arah seseorang yang berdiri persis di seberang kursi Imam Hassan.

            "Su.. sultan.. Mala..." ucapnya dengan terbata.

            "Ada apa Dalem? Beliau adalah Sultan Mahathir, Sultan Malaka, tempat di mana kita berada saat ini," ucap Imam Hassan.

            "Eh.. i..iya betul.. waah..."

            Sultan Mahathir hanya mengangguk singkat kepada Dalem sambil tersenyum.

            "Pengaruh obat bius rupanya masih tertinggal ya?" canda Imam Hassan sambil mengangkat tangan sepinggang dan mengarahkannya ke tempat duduk kosong yang tak jauh di tengah.

            "Ayo masuk dan duduklah, semuanya juga menunggu untuk mendapat penjelasan," ujarnya kemudian yang membuat Abdi dan Dalem segera menempati dua dari empat kursi kosong yang tersedia. Setelah duduk Abdi dan Dalem terlihat sedikit grogi dan hanya memandang ke depan.

            "Alhamdulillah, kurang dua orang lagi, bagaimana Tuan Mahathir? Kita mulai?"

            "Saya rase bise dimulai Komandan..." hening sejenak, Sultan Mahathir duduk di kursinya.

            "Tapi sebelumnye saya ucapkan banyak terima kasih kepade Abdi.. dan Dalem.. kerana menyelamatkan Mudzaffar," Sultan Mahathir tersenyum kepada Abdi dan Dalem yang dibalas keduanya dengan agak canggung dengan sedikit anggukan.

            "Baiklah. Bismillahirrahmanirrahim. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada semua yang berada di ruangan ini. Sultan Mahathir..." Imam Hassan mengangguk singkat ke arah depan.

            "Dan para penasehat serta petinggi Kerajaan Malaka," secara singkat melihat ke arah kiri dan kanan Sultan.

            "Serta Komandan Ario Damar dari Kesultanan Palembang Darussalam dan beberapa wakil dari Kerajaan Ternate dan Tidore di Mamluk," Imam Hassan melihat ke arah kiri dan kanannya.

            "Alhamdulillah Allah SWT mengumpulkan kita semua di tempat ini dalam keadaan sehat wal afiat tanpa kurang sesuatu apapun."

            "Kejadian kemarin cukup mengejutkan. Namun bukan karena hal itu alasan awal mengapa kita semua ada di ruangan ini."

            "Pertemuan ini sudah dari awal kita sepakati bersama. Samudera, Palembang Darussalam, dan Malaka."

            "Namun dikarenakan kejadian yang tak terduga kemarin, terpaksa kita harus menambah beberapa orang untuk ikut di dalam pertemuan. Ah, jangan merasa tidak enak karena itu" Imam Hassan melihat ke arah Abdi dan Dalem yang bergerak tak nyaman di tempat duduknya kemudian ke arah wakil dari Kerajaan Ternate dan Tidore.

            "Pertama," Imam Hassan mengambil secarik perkamen tebal dari meja dan mengangkatnya ke atas.

            "Ini adalah alasan utama kenapa kita berkumpul di sini," perkamen itu seperti terbuat dari bahan cukup tebal dan tahan lama jika dijadikan lukisan.

            "Undangan dari saudara kita Kerajaan Ternate dan Tidore," ia melihat ke arah sebelah kanan.

            "Untuk datang menjadi saksi terbentuknya sebuah kerajaan baru yang menggabungkan seluruh wilayah di bawahnya. Hmm.. dahulu wilayahnya dinamai Uli Lima dan Uli Siwa kalau tidak salah..." beberapa anggukan dan ucapan mengiyakan datang dari sebelah kanan.

            "Sekarang seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan dua kerajaan ini akan tergabung menjadi satu Kerajaan Besar yang akan dinamai dengan Kesultanan Jaziratul Mamluk."

            "Dengan sistem kesultanan hampir sama dengan yang dimiliki Malaka dan Sarawak."

            "Saudara-saudara kita dari Ternate dan Tidore atau ehm.. Mamluk ini sebenarnya tidak ikut diundang pada awalnya, namun karena apa yang terjadi kemarin, mereka pada akhirnya harus ikut ke tempat ini," kali ini ada nada berat dalam suaranya.

            "Sekaligus memastikan agar semua rencana berjalan lancar dan memang tidak ada pengkhianat dari dalam," tiga kata terakhir diucapkan Imam Hassan sangat perlahan dengan mata melihat sekeliling meja, keheningan pun menyusul. Abdi dan Dalem yang mulutnya tadi agak sedikit terbuka, menutup secara otomatis.

            "Seperti yang tadi dikemukakan Sultan Mahathir sebelum kedatangan Abdi dan Dalem..." kali ini Abdi dan Dalem hanya membeku dan tak berani melihat kemanapun kecuali ke arah Imam Hassan. Suasana menjadi serius dan tak ada suara apapun yang terdengar kecuali suara Imam Hassan di tengah ruangan.

            "Rencana awal kita adalah mendatangi undangan dan memperkokoh persatuan diantara kerajaan dan kesultanan di Nusantara dimana Allah menjadi Al-Malik, Al-Hakam, dan Al-Akbar."

            "Persatuan yang kokoh menjadi wajib bagi umat Islam, karena kita seperti satu tubuh. Tatkala salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakannya pula."

            "Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti satu bangunan, sebagiannya menguatkan yang lain."

            "Memang kita belum memiliki seorang Khalifah di Nusantara untuk mempersatukan semua, tapi pelan-pelan saudaraku, pelan-pelan..."

            "Semua butuh awal dan semua juga butuh proses.. Jika seluruh elemen yang ada bertarung secara sekaligus tentu akan banyak menimbulkan kerugian dan kehancuran. Kita mulai dan nikmati prosesnya seperti yang dikatakan Pangeran Diponegoro dari Mataram."

            "Raden Erucakra!" ucap Dalem

            "Ssstt!!" telapak tangan Abdi menutup mulut Dalem segera, namun terlambat semua orang di ruangan terlanjur melihat ke arah keduanya, begitu pula Imam Hassan.

            "Ah, ya begitulah gelar beliau di Mataram. Tempat asal kedua tamu kita ini," Imam Hassan melanjutkan, beberapa bisikan terdengar dari ujung.

            "Berdirinya Kesultanan Jaziratul Mamluk ternyata membuat tidak senang beberapa organisasi yang selama ini memang tidak mau Nusantara dipersatukan dengan kalimat tauhid."

            "Salah satu yang paling besar dan terkenal adalah yang menggaungkan namanya dengan sebutan Nusantara Timur Raya."

            "Berawal dari timur, tempat ini dulunya bernama Nugini kemudian menyebarkan pengaruhnya ke Pua-pua hingga ke perbatasan Uli Siwa."

            "Dibantu dari selatan mereka mampu mengembangkan persenjataan perang sehingga cukup merepotkan."

            "Oleh karena itu Mataram sering sekali melakukan patroli ke timur Nusantara terutama di sekitar Mamluk untuk mencegah serangan ke wilayah itu dan menunjukkan kepada mereka persatuan yang kokoh diantara kerajaan-kerajaan Nusantara."

            "Nah, mata-mata adalah bagian yang tak terpisahkan ketika dua pihak saling berperang atau bermusuhan terutama bila itu melibatkan satu organisasi besar seperti kerajaan dan kesultanan."

            "Sepertinya mereka tidak menginginkan Malaka untuk ikut campur di Mamluk dan mencari suatu informasi yang penting," matanya ke arah Sultan Mahathir.

            "Namun kita sudah sepakat untuk saling percaya dan dalam hal ini menjaga bersama-sama keutuhan Nusantara serta membantu kerajaan baru yang berlandaskan tauhid untuk dapat tumbuh dan berkembang seperti yang lainnya."

            Terlihat anggukan kecil dari Sultan Mahathir kepada Imam Hassan.

            "Abdi dan Dalem.. dua orang muslim yang memiliki amanah sebagai pelayan Kerajaan Mataram datang ke Malaka dan ikut dalam konferensi Sejarah dan Masa Depan Uang."

            "Mereka dapat masuk ke dalam dibantu oleh Mudzaffar karena tiket khusus yang diberikan panitia sehingga diperbolehkan bagi yang memiliki tiket khusus ini untuk mengajak dua orang lain selain si pemilik tiket itu sendiri."

            "Tiket ini sebenarnya diberikan kepada Hang Tuah, Laksamana dari Kerajaan Malaka."

            "Namun karena beliau berhalangan hadir akibat rapat yang dilaksanakan kemarin pada pagi hari maka diserahkanlah tiket itu kepada Mudzaffar, kerabatnya, seorang awak kapal Kerajaan Malaka"

            "Ketika konferensi berlangsung Mudzaffar pergi ke kamar kecil. Tidak disangka ada dua orang yang bersembunyi di dalam dan berusaha untuk membuatnya pingsan kemudian kemungkinan besar, menculiknya."

            "Namun secara kebetulan Dalem pun pergi ke kamar kecil yang papannya diubah menjadi ke arah bawah menuju lantai paling dasar."

            "Letak toilet yang disediakan panitia seharusnya berada di luar gedung sebelah samping kiri dan kanan, namun ada yang mengubah arah papannya. Seluruh panitia langsung diperiksa kemarin seusai acara dan memang terdapat kelalaian dalam menjaga situasi di awal acara berlangsung karena cukup banyaknya hal yang harus dilakukan di awal."

            "Abdi lalu menyusul dan membantu Dalem mengusir dua orang yang kita curigai bersama sebagai mata-mata."

            "Sasarannya jelas, Mudzaffar. Kedua pelaku kemudian berhasil meloloskan diri dan mengubah arah panah menuju kamar kecil kembali ke arah luar gedung."

            "Namun ada jejak darah di papan dan di lantai. Sepertinya kedua tamu kita di sini berhasil melukai cukup parah" senyum imam Hassan kepada Abdi dan Dalem.

            "Panitia yang lewat beberapa saat kemudian segera mengecek jejak darah dan menuju ke lantai bawah, lalu segera menghubungi prajurit keamanan Kerajaan."

            "Pintu berhasil didobrak dan ketiganya dibawa segera menuju hospital."

            "Ternyata para pelaku menggunakan obat bius yang cukup kuat. Namun sayang mereka tidak memperhitungkan kedatangan dua orang lain ke kamar kecil."

            "Payung khas Malaka terbuat dari kayu yang kuat dan di ujungnya terdapat besi yang tajam. Ini dimanfaatkan oleh Abdi untuk membantu menyelamatkan Mudzaffar."

Abdi sedikit tersipu, sebenarnya saat itu ia belum tahu keberadaan Pak Affar ketika memukulkan payungnya pertama kali ke para pelaku.

            "Begitulah, Dalem menceritakan seluruh kejadiannya pada sore hari, Abdi baru siuman malam harinya. Mudzaffar belum siuman, mungkin hingga saat ini, namun menurut kabar terbaru pagi ini dapat dipastikan kondisinya membaik,"

"dan di sinilah kita sekarang berada. Membahas kedua hal yang bisa jadi sangat berkaitan. Undangan dari Kesultanan Jaziratul Mamluk dan percobaan penculikan terhadap Hang Tuah."

            Beberapa orang terlihat berpikir dengan disebutnya nama yang terakhir. Para penculik menargetkan Laksamana Hang Tuah karena seharusnya beliau yang hadir di konferensi itu. Mudzaffar hanyalah korban salah sasaran yang cukup beruntung karena diselamatkan oleh Abdi dan Dalem.

            "Beberapa dari kita sudah mengemukakan teorinya tentang motif dibalik kejadian ini. Namun kita juga sudah sepakat kemarin malam untuk saling percaya satu dengan yang lain."

            "Oleh karena itu saya sendiri disini memulai dengan bersumpah atas nama Allah SWT bahwa saya bukanlah pengkhianat dan saya tidak akan memberikan suatu apapun hal yang merugikan ke musuh."

            "Saya menjamin seluruh anak buah saya tidak terlibat dalam hal ini namun tetap menyerahkan penyelidikan sepenuhnya kepada petugas keamanan Kerajaan Malaka dan saya juga menjamin Ario Damar dan seluruh anak buahnya, beserta tentu saja Abdi dan Dalem."

            Suasana sejenak terasa sedikit menegangkan, terdengar suara kuda ditambatkan dari balik ruangan.

            "Dalem sudah memberikan keterangannya pada sore hari dan memang susah melacak para penculik itu serta untuk siapa mereka bekerja. Saya percaya kebijaksanaan Sultan Mahathir untuk mengurus masalah ini dan tetap mempertahankan rencana semula," akhirnya pandangan Imam Hassan mengarah ke Sultan Mahathir dan beliau pun duduk di kursinya.

            Sekarang seluruh mata mengarah ke Sultan, sebelum beliau melanjutkan apa yang tadi dimulai oleh Imam Hassan, terdengar langkah kaki yang cukup mantab dari arah dekat pintu, semua mata menoleh ke arah yang sama.

            Siluet pria yang cukup gagah dan masih terlihat sangat muda mendekati ujung depan pintu yang telah terbuka. Dia sama gagahnya dengan Imam Hassan, sepertinya hanya umur yang membedakan mereka berdua. Ada gurat aneh di wajahnya, menunjukkan kekhawatiran dan kecurigaan yang besar.

Mukanya menghadap Sultan Mahathir, "Assalamualaikum..."

            "Waalaikumussalam..." seluruh ruangan menjawab salamnya.

            "Masuk Laksamana.. Dah lame kite tunggu ni.. duduk lah..." ucap Sultan segera.

            Laksamana Hang Tuah segera duduk di kursi yang kosong. Matanya sekilas menatap Abdi dan Dalem dengan tajam. Ia pun duduk dan menyisakan satu tempat duduk yang kosong diantara mereka.

            "Maaf saye terlambat, harus ke hospital. Melihat kondisi paman Affar. Alhamdulillah beliau sudah siuman tapi kondisinya masih lemah dan tidak bisa ikut kemari."

            "Alhamdulillah..." beberapa suara terdengar begitupun dari Abdi dan Dalem.

            Mata Hang Tuah menyapu seluruh ruangan, hanya ketika memandang dua orang dari Mataram pandangannya agak lama teralihkan.

            "Bukankah..." Hang Tuah kembali melanjutkan berbicara, membuat suasana sepi kembali.

            "kita sudah setuju yang boleh ikut rapat selanjutnya adalah mereka yang sudah ikut rapat pertama kali?"

            Belum ada yang menanggapi,

            "Bahkan sekarang ada orang Mataram dan tentu saja dari Ternate dan Tidore, tapi..."

            "Ah, iye betul Laksamana. Tapi saye dan Komandan Hassan sudah setuju untuk saling percaye. Mereka dijamin oleh Hassan."

            "Hmm..." ada nada tidak suka di suara Hang Tuah.

            "Saye rase baginda. Demi menjage keamanan, lebih elok lagi kalau kita patuh kepade kesepakatan awal kite kemarin pagi," matanya tegas.

            Sebelum sultan dapat menjawab kembali, kali ini Imam Hassan segera menimpali,

"Ee.. Saya rasa ada benarnya juga ucapan dari Tuan Laksamana, lagipula segala yang perlu dibahas sudah kita selesaikan tadi."

            "Kalau begitu..." Imam Hassan menoleh ke arah kanan untuk mempersilahkan wakil dari Kerajaan Mamluk untuk kembali ke penginapannya.

            "Tunggu! Percume kalau mereka sudah tahu rencana kite, berarti mereke juga harus bersumpah untuk tidak memberitahu kepade siapepun dan bersame-same menuju..."

            "Ehm! Bukan, bukan itu Tuan Hang Tuah, yang itu mereka belum tahu," Imam Hassan segera berucap. Keduanya cukup lama saling bertatapan sebelum akhirnya Sultan Mahathir berbicara.

            "Kami sude sepakat untuk saling percaya Laksamana, jadi tak perlu khawatir...'

            "Tidak baginde! Saya rase kita tetap stick pade rencane semule!"

            Imam Hassan yang merasa tak enak segera angkat bicara,

"Baiklah kalau begitu Saudara-saudaraku dari Mamluk serta Abdi dan Dalem..." matanya mengarah ke mereka dan beliau pun berdiri untuk mengantarkan mereka keluar ruangan.

            Tak begitu terdengar suara orang yang berbicara dalam ruangan dari lorong tempat mereka berjalan keluar ditemani oleh Imam Hassan. Sesampainya di depan pintu, Imam Hassan mengantarkan rombongan dari Mamluk terlebih dahulu ke arah Bullock Cart mereka. Memberikan jaminan sekali lagi untuk menenangkan rombongan dan memastikan mereka akan selalu mendukung Mamluk. Setelah itu barulah Imam Hassan mendatangi Abdi dan Dalem.

            "Kalian naiklah ke kereta kuda bersama dengan pengawal yang sudah saya tunjuk lalu menginaplah bersama pasukan Samudera. Saya khawatir para pelaku kembali dan mengincar kalian berdua."

            "Oh iya, saya sudah mendengar apa yang terjadi dengan Kapten Sudirman. Semoga beliau selamat dan kembali bersama dengan Kapal Pinisi Mataram."

            "Eh.. iya Imam Hassan, waktu itu Raden Eru bersama dengan tujuh buah kapal sudah melakukan ekspedisi penyelamatan. Hmm.. darimana Imam Hassan tahu kapten kapal kami saat itu adalah Kapten Sudirman?" tanya Abdi.

            "Ada orang pelabuhan yang cerita. Kalian beruntung bisa kemari, saya kira kalian segera kembali ke Mataram setelah berhasil menyelamatkan diri..."

            "Anu.. ini.. eh.. Raden Eru malah ngasih sangu lagi.. maksudnya beliau mengizinkan kami untuk melanjutkan petualangan dan kami tetap tidak lupa kok menuliskannya di buku catatan. Iya kan Di?" Dalem menyikut Abdi.

            "I.. iya pasti kami tidak lupa untuk menuliskannya di buku catatan," ujar Abdi.

            "Sempat diperiksa waktu itu oleh anak buah Laksamana Hang Tuah lho..." Imam Hassan tersenyum kecil.

"Wah, untung tidak dibuang atau dibakar.. Galak ya beliau, padahal masih muda."

            "Hahaha.. wajar itu Abdi.. Dalem.. itu karena keluarganya sendiri yang nyaris menjadi korban apalagi amanah beliau sebagai Laksamana, sehingga harus memastikan keamanan segalanya di sini," ucap Imam Hassan bijak.

            "Kami tidak menyangka ternyata Imam masjid yang kami temui di Samudera dulu itu adalah seorang Komandan Angkatan Laut," ucap Dalem mengeluarkan apa yang terpendam di pikiran Abdi semenjak bertemu di hospital.

            "Saya hanya seorang Veteran kok, yang masih memiliki banyak ide, hehehe..." senyumnya kali ini cukup lebar, membuat Abdi dan Dalem tenang.

            "Hmm.. saya rasa kalian tidak keberatan kan kalau harus ke Mamluk bersama-sama? Saya kok yang menjamin kalian, apalagi setelah kalian hadir di sini. Kalau kalian menolak nanti saya bisa dimarahi sama Hang Tuah lho..."

            Suara tawa yang cukup lepas dari ketiganya mengakhiri percakapan, tentunya dengan kesediaan Abdi dan Dalem untuk turut serta menuju ke Mamluk.

            Tiba-tiba Imam Hassan teringat sesuatu,

"Ah, iya, ada sesuatu yang saya lupakan. Ternyata kalian cukup banyak membawa uang juga ya. Kemarin ikut diperiksa juga lho sama petugas keamanan Malaka."

            Abdi terlihat bengong, namun Dalem langsung menyahut,

"Eh.. haha, i.. iya itu diberi sama.. eh.. sama Rad..."

            "Hahaha, tak perlu malu, memang Kerajaan Mataram salah satu yang terbesar kok di Nusantara ini. Itu wajar, asal memang uang halal kan," seperti ada sinar di kerlingan Imam Hassan.

            "Eh.. I.. iya halal kok Imam Hassan.. halal.. ini uang halal..." ucap Abdi sambil menunjuk tas yang dibawanya.

            "Oh, syukurlah kalau begitu, tidak perlu potong tangan sepertinya," kali ini ia tersenyum lebar.

            Abdi dan Dalem hanya senyum-senyum saja. Mereka pun tak meneruskan obrolan lebih lama dan segera berpamitan, Imam Hassan menambahkan sesuatu sebelum mereka pergi.

            "Oh, iya kita nanti akan mampir ke Sarawak..."

            Mereka pun kembali menaiki Bullock Cart ditemani prajurit Malaka untuk menuju ke penginapan. Lambaian tangan Imam Hassan di belakang mereka membawa ketenangan dan keberanian untuk melanjutkan petualangan berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun