Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 1, Samudera) - Sampai

11 Maret 2024   08:52 Diperbarui: 11 Maret 2024   09:00 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.        

Deru angin begitu kencang ketika mereka mendaratkan kapal ke pelabuhan. Lambang kerajaan tampak gagah menempel di bendera kapal, begitu besar dan jelas meski dipandang dari tepi pantai. Bila dilihat dari jauh mereka nampak layaknya rombongan dagang biasa yang datang hampir setiap hari di pelabuhan Negeri Samudera.

Sedikit kotor di pelabuhan, bau amis ikan tercium dari beberapa tempat. Sekitar dua puluh orang berpakaian songket terlihat berjaga, beberapa diantaranya membawa rencong, terselip rapi di sisi pinggang. Seseorang diantara mereka ada yang memakai hiasan kepala, rupanya ia adalah petugas kerajaan. Kapten kapal segera turun dan bertemu dengannya. Sambil bersalaman keduanya bertukar senyum dan mengobrol sebentar. Laki-laki berbadan kekar dengan rencong paling besar berdiri di samping mereka, ia adalah pimpinan penjaga pelabuhan yang bertugas hari ini. Senyum garangnya membuat otot-otot di sekitar mulut Dalem merengut sementara Abdi hanya menguap saja melihat semua itu.

Sekilas keduanya tak terlihat berbeda dengan awak kapal yang lain. Perbedaan mendasar hanya terlihat di barang bawaan, mereka berdua membawa masing-masing satu tas saja, berbeda dengan para pedagang yang barang bawaannya bisa sampai beberapa kotak kayu besar. Abdi nampak mencari sesuatu, dilihatnya buku kecil mencuat keluar dari tas yang dibawa Dalem,

"Heh, Dalem! Hati-hati nanti bukunya jatuh! Kalau hilang bisa gawat!" ucap Abdi.

Ia kemudian menguap dan menutup mulutnya dengan tangan. Campuran rasa kantuk dan mual akibat perjalanan laut yang lama membuat Abdi tidak bisa fokus, tapi dia sangat jeli melihat buku yang hampir terjatuh tadi.

"Ooh, hampir saja, tadi aku baca sesuatu Di, sebelum kapal mendarat" tangan kanan Dalem segera meraih buku itu dan memasukkannya ke dalam tas kembali.

Tas dari bahan kain sederhana yang cukup kuat, terutama untuk perjalanan jauh dan lama. Rupanya buku itu digunakan mereka dengan fungsi sebagai "Buku Harian" yang entah telah mencatat berapa peristiwa.

Kapten kapal melambaikan tangan ke arah kapal, yang segera diiringi suara gemerisik para awak kapal memindahkan barang-barang dagangan. Terlihat juga beberapa kotak-kotak yang dihias dengan indah.

"Hmm, barang dagangannya banyak juga ya" ujar Dalem sembari bersiap turun dari kapal.

"Para pedagang Parahiyangan kan memang biasa membawa barang dagangan sebanyak itu. Ugh!" Abdi segera menutup mulutnya lagi, kali ini bukan kantuk, tapi rasa mual yang sudah tak tertahankan.

Dalem menepuk-nepuk punggung Abdi sambil tertawa kecil "Hehehe, baru ke Samudera" yang langsung dibalas Abdi dengan pandangan memperingatkan untuk tak melanjutkan kata-katanya lagi.

Abdi mengambil tasnya sendiri yang berisi seluruh kebutuhan selama berlayar. Tak banyak memang, apalagi hanya perjalanan dagang singkat ke negeri Samudera yang sudah lama bekerjasama dengan Parahiyangan. Negeri Parahiyangan sendiri adalah negeri yang indah dan berada dekat dengan negeri asal mereka berdua.

Dalem segera mengambil langkah di sebelah Abdi sambil membantunya menyeimbangkan diri, kemudian menyusul dua atau tiga rombongan yang sudah duluan turun. Angin memang kencang, tapi suasana sore itu terasa hangat sehingga hanya menyisakan hawa kantuk di udara bagi para rombongan. Perjalanan kali ini langsung dilanjutkan menuju penginapan yang sudah dipesan jauh-jauh hari, dipimpin oleh kapten kapal.

"Habis ini langsung pulang aja lah.." keluh Abdi tiba-tiba, meskipun terdengar setengah hati, yang langsung direspon tawa singkat Dalem.

"Haha, baru yang pertama ini Di. Masih belum apa-apa" ucapnya.

Sosok-sosok rombongan pun menutupi mereka, dilatarbelakangi senja yang menguning.

Hari pun berganti, keesokan harinya rombongan dagang Parahiyangan terlihat keluar dari penginapan dekat pelabuhan namun dengan jumlah tak lengkap. Dua orang tak nampak di rombongan, hanya saja kapten kapal tidak kelihatan bingung, ia hanya tersenyum mengetahui siapa yang tidak hadir di rombongannya. Masih memiliki sekitar dua minggu lagi di Samudera, kapten kapal mengingatkan para pedagang supaya tidak terlambat untuk kembali ke kapal bila sudah waktunya berlayar kembali.

Sementara itu di tempat lain matahari terlihat naik sepenggalah, sekilas semburat sinarnya menerangi jalan. Terlihat dua orang memakai pakaian yang sama, seperti seragam kerajaan. Sederhana dan santun, pakaian itu mencirikan dari mana mereka datang. Seorang laki laki muda dengan postur agak kurus dan satunya lagi sangat gemuk. Keduanya memakai batik dengan jumlah kancing yang cukup banyak di leher, dada, dan lengan.

"Jauh juga ternyata perjalanan yang kita tempuh ya Di, dari subuh..." ucap Dalem sambil mengayunkan-ayunkan kerah bajunya karena keringat dan udara yang sudah mulai menghangat,

"Ah, untung tadi numpang pedati sampai ujung sana," ucap Abdi sambil melongok lagi ke arah belakang, tempat sebuah rumah di ujung desa dekat kebun kelapa cukup luas milik seorang pedagang kelapa yang rutin mengantar hasil kebunnya ke kedai minuman di pelabuhan setiap pagi.

"Sampai juga kita di Desa ini."

"Bener kan Masjid Baiturrahman, bukan Baiturrahmah?" tanya Abdi.

"Iya, sudah kupastikan kok, memang di sini. Kan sudah kita tanyakan juga sampai tiga kali Di, di pelabuhan," jawab Dalem.

"Humm, syukurlah, harus kembali lagi dan mencari kalau kita salah tempat."

"Yang penting tugas untuk belajar berbagai khazanah ilmu bisa terpenuhi, itu tugas utama kita."

"Ya, pesan beliau seperti itu..."

"Beruntung kita ya Di, hmm.. dapat pelajaran apa ya ntar di sini. Semoga keputusan untuk ikut rombongan dagang sebagai perjalanan pertama kita tidak salah Di..."

"Yah, yang penting tujuannya Lem, ke Samudera dan satu lagi ke sana. Itu yang penting."

"Apalagi dapat uang saku, hihi, asyik ya Di bisa bepergian jauh seperti ini..."

"Jangan lupa tapi, kita juga punya kewajiban! Paling gak tiga perempat buku ini harus penuh Lem berisi hikmah dan pengetahuan, atau catatan perjalanan aja cukup kurasa..."

"InsyaAllah Di.. aku bantu-bantu dikit nanti ya mencatatnya, yah, aku gak terlalu berpengalaman sih..."

"Gak masalah kok Lem kalau itu..."

"Alhamdulillah seperti mimpi jadi kenyataan ya Di..."

"Ah, tugasnya sih yang kupikirkan.. lagian mimpiku dari kecil terbang Lem bukan naik kapal."

"Hahaha,"

Di depan tampak gerbang Desa, berjalan santai namun terlihat serius keduanya dengan hati-hati mengamati beberapa orang yang keluar dari ujung jalan.

Seorang lelaki memegang beberapa lembar perkamen terlihat berteriak dari arah berlawanan di jalan yang akan dilalui Abdi dan Dalem.

Pemandangan di depan adalah rumah berjejer rapi tak henti hingga ujung. Dimana terdapat masjid yang cukup kecil bila dilihat dari tempat mereka berada, namun Dalem yakin bila mereka sudah sampai di sana halaman masjid itu cukup luas bahkan untuk dua kali jumlah penduduk di sini seluruhnya.

".. HUKUM JINAYAT... PENCURI DAN PERAMPOK... BAGI WARGA DESA.. SILAHKAN KE MASJID..." tampak seseorang yang dari tadi membawa beberapa lembar perkamen membagi-bagikannya ke penduduk sekitar.

"Wah, pas banget, untung kita segera bergegas kemari!" ujar Dalem segera.

"Assalamualaikum," Dalem menjabat erat tangan sang pembawa pengumuman.

"Pedagang?" tanyanya.

"Bukan, hanya sekadar pelancong dan eee.... tamu."

"Ah... kalau begitu.. Anda sekalian.. dijamu di masjid.., huff, silahkan mampir jika butuh sesuatu..." sambil terengah-engah ia pun mengulurkan selembar pengumuman berisi pelaksanaan hukum jinayat yang kali ini menghukum pencuri dan perampok. Abdi segera menerima lembar perkamen itu.

"Wuih.. potong tangan rupanya?" kata Abdi kaget,

"Yup, betul sekali" jawab orang tadi sembari terus mengamati pakaian yang dikenakan mereka berdua dan rupanya ia segera paham dari mana mereka datang.

"Ah, Mataram kan..." senyumnya kali ini dengan wajah agak ragu.

"Hoo cepat sekali" sahut Dalem.

"Ah, kemarin lalu ada yang mengenakan pakaian sama..." ucapannya terhenti sampai di situ, para warga berdatangan keluar dari rumah masing-masing, beberapa meminta lembar perkamen sisa yang belum dibagikan. Abdi terlihat bercakap cakap dengan beberapa anak kecil yang berlari ke arah mereka.

"Waktunya pas sekali..." ucap Dalem sambil melenturkan otot-otot tangan dan pinggangnya sementara Abdi menanyakan tempat untuk mereka kunjungi ke beberapa orang.

Hari ini adalah hari Jumat, matahari belum naik terlalu tinggi, mereka langsung menuju ke masjid sembari menunggu waktu sholat jumat bersama-sama dengan penduduk sekitar. Di Masjid baru berkumpul kira-kira setengah warga desa. Abdi melihat seseorang yang sudah nampak tua namun masih terlihat kekar memimpin proses pelaksanaan hukuman. Sambil berbicara mata pria itu menyapu seluruh halaman masjid, bahkan Abdi dan Dalem tak luput dari pandangannya. Ia juga sesekali melihat ke jalan masuk utama, mungkin mengecek siapa saja yang datang ke masjid untuk menonton. Selain itu, di samping panggung terlihat pula tiga orang yang sepertinya ditugaskan untuk menjadi algojo.

"Wah, serem Di kelihatannya..." ucap Dalem, sementara itu Abdi hanya tersenyum kecut melihat barisan orang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk menghadap tanah di tengah-tengah halaman masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun