Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Perjuangan: Antara Sakit yang Menguatkan dan Letih yang Mencerahkan

10 Agustus 2025   05:00 Diperbarui: 10 Agustus 2025   05:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perjuangan (sumber: AI-generated picture)

Hidup kita seringkali menempatkan kita di persimpangan: antara bertahan atau menyerah, antara melanjutkan atau melepas. Dan pada momen-momen seperti itu, kata “perjuangan” menemukan maknanya paling jujur: tidak selalu heroik, seringkali sunyi, atau mungkin sesekali terasa sia-sia. Namun, barangkali di sanalah sinar hidup kita terpancar. Bukan karena hasilnya, tapi karena keberanian kita untuk terus bergerak saat tidak ada jaminan akan sampai. Makna itu paling kentara saat saya menyaksikannya sendiri dalam keluarga.

Saya teringat dengan cerita perjuangan Kakak saya. Kakak ini dalam sisa hidupnya menunjukkan kisah perjuangan yang berkesan bagi saya. Sejak awal, Kakak saya didiagnosa mengalami kanker stadium 4, Kakak ini hanya berpikir satu hal: “aku harus berjuang” ucapnya dulu saat saya sempat curhat hati ke hati dengannya. Di hadapan saya, Ia tidak menangis, tapi matanya berbicara banyak. Perjuangannya, yang tampak dalam raut wajahnya, bukan teriakan lantang ataupun kilau penuh harap. Kisah keteguhannya adalah tentang cinta yang bertahan di tengah ketidakpastian saat itu. Tentang harapannya dan keluarga untuk terus dipeluk, meski kenyataan tidak sejalan dengan harapan kami keluarga.

Melihat Kakak saya ini dahulu, saya lantas bertanya: darimana sebenarnya daya “perjuangan” ini datang? Saya pun teringat dengan gagasan Pierre Bourdieu, seorang sosiolog, yang menjelaskan bahwa perjuangan dapat dibaca sebagai bentuk “habitus” yang terbentuk dari pengalaman hidup, struktur sosial, dan akumulasi modal—ekonomi, sosial, dan simbolik. Saya menyadari bahwa seringkali kita tidak berjuang dalam ruang hampa. Kita berjuang karena kita dibentuk oleh cerita, oleh ketimpangan realita, oleh impian masa depan, dan oleh trauma yagn tidak selalu kita pilih. Hal ini dapat berarti bahwa perjuangan seseorang tidak dapat direduksi hanya sebagai pilihan pribadi. Ia lahir dari interaksi kompleks antara individu dan lingkungan sosialnya.

Dalam konteks Indonesia, perjuangan seringkali dikaitkan dengan semangat kemerdekaan, kerja keras ekonomi, atau upaya keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, perjuangan juga dapat dimulai dari ruang-ruang paling pribadi: menyembuhkan luka batin, menolak standar kecantikan yang mungkin menyakitkan, atau hanya sekadar bangun dari tempat tidur di pagi hari ketika depresi dan frustasi mengunci langkah kaki kita. Namun, tidak semua bentuk perjuangan mendapat pengakuan yang layak.

Dalam masyarakat kita, yang saya sadari ada semacam glorifikasi yang keliru tentang perjuangan. Kita hanya “dinilai” dari hasil yang dirayakan, tapi kita cenderung mengabaikan proses yang sebenarnya melelahkan. Kita menyanjung mereka yang “berhasil”, tanpa kita bertanya pada mereka ini apa luka yang dilalui dan bagaimana mereka melalui semuanya itu. Kita mendorong orang untuk terus “berjuang” tanpa menyediakan ruang aman bagi mereka untuk jujur berkata, “saya lelah”.

Di titik ini, saya teringat satu gagasan lain tentang ketekunan. Angela Duckworth dalam bukunya Grit menekankan pentingnya kegigihan (grit) dalam mencapai tujuan jangka panjang. Konsep ini sungguh menginspirasi. Bahkan, Duckworth mengakui bahwa kegigihan bukan berarti mengabaikan batas tubuh dan jiwa. Namun, perjuangan bukanlah hanya tentang terus maju tanpa henti, tetapi juga tentang tahu kapan harus berhenti untuk bernafas, menata ulang arah, dan merawat diri. Jika tidak, perjuangan kita justru berubah menjadi jebakan perfeksionisme dan self-abuse yang dikemas dalam narasi “pantang menyerah”.

Tentu saja tidak semua perjuangan tercatat dalam buku. Tidak semua perjuangan pula memiliki saksi. Seorang ayah harus menjadi pengendara aplikasi transportasi daring untuk memenuhi kebutuhan pendanaan anaknya kuliah. Seorang mahasiswa dari desa harus berjuang dengan keterbatasan akses informasi agar tetap dapat bersaing di dunia yang serba cepat ini. Kisah-kisah seperti ini seringkali luput dari sorotan. Bagi yang menjalaninya, perjuangan sunyi ini nyata meski tidak selalu kasat mata.

Contoh di atas mungkin yang disebut “silent struggles”. Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa bentuk-bentuk perjuangan yang tidak terlihat (invisible struggle), seperti trauma masa kecil, diskriminasi sistemik, ataupun tekanan sosial, memiliki dampak psikologis yang signifikan dan perlu diakui sebagai bagian dari perjuangan eksistensial seorang individu. Saat masyarakat hanya memberi validasi pada perjuangan yang “terlihat”, mereka turut memperparah rasa keterasingan yang dialami banyak orang.

Lalu, pertanyaannya sekarang: apakah semua perjuangan harus berbuah hasil? Ini mungkin pertanyaan paling menyakitkan sekaligus pertanyaan paling jujur. Kenyataannya adalah tidak semua perjuangan berbuah sesuai harapan. Ada orang yang berjuang keras, tapi tetap kehilangan. Ada yang memberi segalanya tapi tetap ditinggalkan. Ada yang bertahan dalam doa-doa panjang tapi tetap terabaikan. Lantas, untuk apa semuanya itu?

Barangkali sampai tahap ini kita harus bergeser dari paradigma hasil menuju paradigma proses. Martin Heidegger, dalam bukunya Being and Time, menyebut bahwa eksistensi manusia terletak pada keterlemparannya ke dunia yang absurd. Namun dalam ke-absurditas inilah manusia dapat memaknai keberadaannya. Maka, perjuangan bukan lagi menjadi tentang apa yang kita dapat, tetapi bagaimana kita menjadi. Perjuangan bukanlah jaminan kemenangan, tapi ia selalu membawa perubahan. Dan perubahan itu, betapapun kecilnya, adalah bentuk kemenangan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun