Tiap momen perayaan ulang tahun, baik diri sendiri maupun orang lain, saya sering mendoakan orang tersebut dengan ucapan "panjang umur, sehat selalu, dan berlimpah sukacita". Ucapan tersebut mungkin terdengar remeh nan sederhana. Namun, bagi saya itu lebih dari sekadar formalitas tiap momen ulang tahun. Ucapan tersebut merupakan doa paling tulus yang dapat saya kirimkan. Bahwa saya ingin panjang umur---tapi bukan sekadar hidup lama, melainkan hidup utuh. Saya ingin sehat---tidak hanya fisik, tapi juga mental dan emosi. Juga, saya ingin berlimpah sukacita---karena hati yang gembira adalah obat serta tawa yang jujur adalah vitamin paling langka di dunia yang penuh tekanan.
Doa sederhana itu ternyata menyimpan simpul hidup yang selama ini sering terabaikan. Ternyata, semuanya saling terhubung. Ketiganya adalah simpul keseimbangan hidup. Tidak ada umur panjang yang terasa berarti tanpa tubuh yang sehat. Tidak ada kesehatan yang utuh jika batin terus terluka. Dan tidak ada sukacita sejati jika hidup terasa kosong, walaupun tampak sukses di luar. Tambah hari, saya terus bertanya: apa yang membuat hidup seimbang? Apa yang dapat membuat kita tetap waras dan bahagia di tengah dunia yang terus menuntut banyak? Perlahan saya menemukan jawaban sederhana: saat nafas, detak, dan tawa dapat berjalan seirama.
Dari ketiganya, saya ingin mulai dari yang paling dasar: Nafas. Nafas adalah kehidupan itu sendiri. Saat bayi lahir, tangisan pertamanya ditandai oleh tarikan nafas pertamanya. Dan saat kita meninggalkan dunia ini, nafas terakhir adalah tanda bahwa kita telah sampai di penghujung hidup. Namun, di antara itu, terkadang kita sering lupa bernafas. Maksud saya: bernafas dengan sadar.
Bernafas dengan sadar ini sering dikenal dengan mindfulness---yang dalam bahasa lebih sederhananya dapat diartikan sebagai kehadiran penuh. Istilah ini menggambarkan kunci penting dalam mengembalikan keseimbangan hidup. Kabat-Zinn, dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa mindfulness adalah kemampuan untuk sadar terhadap apa yang sedang terjadi, saat ini juga, tanpa menghakimi. Dan nafas adalah pintu masuk paling sederhana menuju kesadaran itu.
Saya sendiri sering menguji mindfulness di tengah kesibukan. Saat kepala terasa sesak ataupun belakang kepala mulai terasa tegang seperti terhimpit tekanan, saya berhenti sejenak. Menutup mata, menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Anehnya, sesaat setelahnya nafas otomatis menjadi penyelamat mental saya. Nafas saya yang teratur menjadi jalan masuk ke ruang tenang dalam diri---tempat saya dapat menemukan kembali arah hidup, bukan sekadar tujuan.
Namun, kehadiran saja belum cukup. Kita juga butuh irama. Bila nafas diibaratkan sebagai kehadiran kita, maka detak jantung adalah ritme hidup kita. Detak menunjukkan bagaimana kita menjalani hari. Dalam dunia medis, detak jantung yang terlalu cepat (tachycardia) dapat menjadi pertanda gangguan, begitu pula detak jantung yang telalu lambat (bradycardia). Detak yang sehat adalah yang seimbang---berdetak sesuai kebutuhan tubuh. Begitu pun hidup kita: terlalu cepat dapat membuat kita kehilangan arah, terlalu lambat dapat membuat kita tertinggal. Ritme yang selaras dapat membuat kita tetap utuh dan terhubung.
Hidup pun mengajarkan kita tentang irama yang tidak selalu sama. Keseimbangan hidup pun tidak berarti bahwa harus selalu tenang. Kadang kita perlu berlari, bekerja keras, lembur, menyelesaikan tanggung jawab berat. Tapi, terkadang pula kita juga perlu waktu istirahat, tidur cukup, memeluk orang tersayang, atau sekadang berjalan tanpa arah sembari menenangkan diri. Menurut McEwen, seorang peneliti di bidang stres dan otak, tubuh manusia dibekali kemampuan allostatis---yakni kemampuan untuk beradaptasi terhadap tekanan. Tapi, tekanan yang terus menerus tanpa pemulihan akan memicu allostatic load, yakni beban stres kronis yang dapat berdampak pada sistem jantung, saraf, dan kekebalan tubuh, Jadi, ketika jantung kita berdetak terlalu cepat karena stres kerja yang tidak kunjung reda, itu bukan lagi semangat---itu peringatan.
Maka dari itu, saya sering belajar mendengarkan peringatan tersebut. Tidak hanya melalui stetoskop dokter, tapi lewat rasa lelah yang perlahan muncul, lewat tubuh yang sering terbangun dan sulit tidur kembali, atau jiwa yang mulai cepat marah. Dan ketika semua itu terjadi, saya sadar: ritme ini harus diatur ulang. Saya perlu berhenti. Menata ulang langkah. Supaya detak dan nafas saya kembali bertemu dalam satu irama.
Terakhir, ada tawa. Hal paling ringan tapi juga paling bermakna. Tawa bukan cuma bentuk ekspresi. Ia adalah bentuk penyembuhan. Dalam dunia medis, tawa pun bukan lagi dianggap remeh, Mayo Clinic bahkan mencatat bahwa tertawa dapat meredakan stres, meningkatkan sistem imun, dan bahkan melatih otot pernafasan. Dalam beberapa terapi psikologi modern, tawa bahkan dijadikan metode penyembuhan trauma. Mungkin, tawa yang jujur itu terasa seperti nafas panjang yang melegakan---ringan, tapi menyentuh hingga ke dalam.