Pada 23 Juli lalu Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Penetapan tanggal ini berakar dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional. Tanggal tersebut juga menandai hari disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang ini merupakan tonggak komitmen negara terhadap pemenuhan hak anak di Indonesia.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membahas legal formal peraturan yang disebutkan tersebut. Sebaliknya, tulisan ini ingin mengajak kita untuk merenungi makna tentang hari Anak Nasional secara lebih dalam. Hari yang seharusnya dipandang lebih dari sekadar momentum seremonial formal dalam kalender negara. Hari Anak Nasional selayaknya dianggap sebagai cermin sekaligus pengingat: bagaimana anak-anak kita hidup hari ini dan bagaimana kita---sebagai orang dewasa---telah memperlakukan hari esok mereka.
Hari Anak Nasional tentu tidak lahir tiba-tiba. Ia lahir dari kesadaran panjang para pendiri negara akan pentingnya anak sebagai bagian dari keberlanjutan bangsa. Namun, ada pertanyaan yang layak diajukan: benarkah kita sudah benar-benar hadir bagi anak-anak kita, bukan hanya secara fisik, tapi secara hati, ruang pertumbuhan, dan kesempatan menjalani hari bersama? Negara, masyarakat, keluarga, hingga tiap individu dewasa memiliki tanggung jawab yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam investasi paling fundamental bagi keberlanjutan bangsa ini.
Kita semua pernah menjadi anak-anak. Barangkali pula kita masih menyimpan ingatan tentang dunia yang saat itu terasa luas dan ajaib. Dunia yang mungkin tampak remeh di mata orang dewasa. Namun, di situlah sebenarnya kecerdasan awal kita perlahan bertumbuh. Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan anak, dalam teorinya menjelaskan bahwa fase kognitif anak-anak sangat bergantung pada proses eksplorasi mandiri. Imajinasi bukanlah sekadar khayalan. Ia adalah cara membangun logik, memahami sebab-akibat, dan melatih kerangka berpikir kompleks. Mulai dari istana pasir, pohon sebagai teman, atau bahkan coretan pensil warna di tembok, kecerdasan awal anak-anak terbentuk dan tidak dapat diukur dalam angka di rapot.
Sayangnya, realita berkata lain. Dunia dewasa kerap merampas ruang imajinasi anak-anak dengan alasan "pendidikan" atau sekadar "biar tertib". Anak yang melukis langit berwarna pink dianggap salah. Yang terlalu lama bermain dimarahi, padahal belum diajari cara berpikir sebelum diminta menghafal rumus. Studi yang dilakukan oleh Papalia, Olds, dan Feldman menegaskan bahwa perkembangan kognitif anak berkorelasi langsung dengan kebebasan mereka bermain dan mengekspresikan ide-ide secara kreatif. Dunia anak bukanlah miniatur dunia dewasa. Dan logika dewasa yang dipaksakan di dunia anak justru mematikan proses tumbuh yang alami itu.
Â
UNICEF menempatkan hak atas bermain, berimajinasi, dan berekspresi sebagai salah satu indikator pertumbuhan anak sehat. Dunia yang mengekang imajinasi anak sejatinya adalah dunia yang tengah memadamkan masa depan. Anak-anak bukanlah objek yang hanya cukup untuk diasah untuk "berhasil", tapi juga subjek yang punya hak untuk tumbuh dengan keinginan dan irama mereka. Dalam konteks ini, Hari Anak Nasional mengajak kita bercermin: sudahkah kita memberi ruang yang cukup bagi anak-anak berimajinasi? Apakah kita terlalu sibuk menyiapkan masa depan mereka sehingga mereka lupa untuk menikmati masa kanak-kanaknya sendiri?
Ironisnya, perlindungan bagi anak-anak tak jarang berujung pada perbedaan cara pandang antara orang tua dan anak-anak. Tidak sedikit konflik ini pun dapat berakhir menjadi bentuk kekerasan pada anak-anak, baik fisik, verbal, maupun psikologis. Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI) bahkan mencatat bahwa peningkatan kekerasan berbasis digital terhadap anak. Yang lebih memilukan, sebagian besar kekerasan itu justru terjadi di tempat yang semestinya paling aman: rumah, sekolah, bahkan lingkungan bermain.
Konvensi Hak Anak Internasional atau Convention on the Rights of the Child / CRC telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dalam keputusan ini ditegaskan empat hak dasar anak, yakni hak hidup, hak tumbuh kembang, hak atas perlindungan, dan hak partisipasi. Sayangnya, dalam praktiknya di lingkungan masyarakat kita, hak-hak ini masih sering terabaikan. Dalam banyak pandangan keluarga di Indonesia, anak masih dianggap "hak milik" orang tua, bukan sebagai subjek yang harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang dirinya sendiri.
Tidak jarang pula, pertumbuhan anak-anak pun seringkali terhambat oleh trauma masa kecil yang disebabkan pengalaman negatif bersama keluarga sendiri. UNICEF mencatat bahwa kekerasan, pengabaian, atau tekanan berlebihan sejak dini dapat meninggalkan luka psikologis jangka panjang hingga masa dewasa. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan semacam ini lebih rentan mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan kehilangan kepercayaan diri dan kemampuan membangun relasi sosial.
Dalam konteks ini, Hari Anak Nasional seharusnya bukan sekadar panggung selebrasi prestasi anak-anak. Ia adalah pengingat bagi kita bersama untuk memastikan bahwa perlindungan bagi anak-anak benar-benar dijalankan sepenuh hati, bukan sekadar ditulis. Sebab kesejahteraan anak tidak cukup diwujudkan dengan ketiadaan kekerasan saja, tapi juga melalui kehadiran kasih sayang, ruang aman, dan dukungan yang berkesinambungan.
Dalam beberapa tahun terakhir, tema Hari Anak Nasional semakin relevan, yakni literasi dan kesehatan mental. Kita dapat melihat bahwa anak-anak hari ini hidup dalam dunia yang jauh lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Informasi mengalir deras. Informasi tersebut tidak semuanya sehat dan tidak semuanya benar. Mereka tumbuh bukan hanya dari interaksi dengan orang tua di rumah maupun guru di sekolah, tapi juga dari layar genggam. Literasi, dalam konteks ini, bukan hanya soal kemampuan membaca, tapi juga tentang keterampilan memilah hoaks, mengenali manipulasi, dan membangun pola pikir sehat sekaligus kritis. World Health Organisation (WHO) menegaskan bahwa pentingnya literasi digital sejak dini sebagai bagian dari kecakapan hidup bagi generasi masa kini. Literasi ini bukan hanya bicara soal kemampuan akademis, tetapi juga berkaitan dengan literasi emosional, sosial, hingga finansial. Tanpa kecakapan ini anak-anak dapat dengan mudah tersesat di tengah arus informasi yang tidak terkurasi.
Hal yang sama juga berlaku pada kesehatan mental. Anak-anak kini tumbuh di tengah ekspektasi yang kerap tidak masuk akal. Dunia seolah memaksa mereka untuk cepat pintar, cepat sukses, dan cepat dewasa. Padahal, mereka berhak untuk tumbuh perlahan, berhak salah, dan berhak lelah. Dalam laporannya pada tahun 2024, WHO[1] mencatat bahwa lebih dari 1 dari 7 anak dan remaja global mengalami gangguan kesehatan mental. Angka ini meningkat sejak pandemi lalu. Ini seharusnya menjadi pengingat bahwa anak-anak ini juga merupakan manusia yang setara, bukan versi miniatur orang dewasa. Mereka butuh untuk didengar, dipahami, dan bukan sekadar diarahkan. Di sinilah Hari Anak Nasional menjadi panggilan: untuk hadir, bukan hanya sebagai pengamat pertumbuhan, tapi sebagai pendukung di sebelah mereka. Bukan sekadar memerintah, tapi mendengarkan sebagai teman. Bukan sekadar menuntut, tapi memeluk dengan penuh kasih sayang.
Â
Lewat tulisan ini, kita diingatkan pada satu ironi sederhana: mungkin justru anak-anaklah yang lebih memahami cara bahagia menjalani hidup. Mereka tahu caranya bermain tanpa malu, tertawa tanpa beban, berteman tanpa syarat. Sementara kita, para orang dewasa ini, sering tersesat dalam rutinitas, angka, gelar, capaian, dan citra diri. Kita mungkin telah lupa rasanya memaafkan dengan mudah, percaya tanpa syarat, dan mencintai tanpa takut ditolak.
Â
Hari Anak Nasional seharusnya bukan hanya sebatas selebrasi bagi anak-anak, tetapi juga pengingat bagi kita yang telah dewasa. Jangan tergesa melupakan caranya bermain. Jangan mudah marah hanya karena anak tidak tumbuh sesuai harapan kita. Jangan buru-buru memaksa mereka menjadi dewasa hanya karena kita dulu pernah diperlakukan demikian. Melalui tulisan ini, kita diajak untuk berhenti sejenak, merenungkan kembali cara pandang dan cara laku kita terhadap generasi masa depan.
 Â
Anak-anak bukanlah penunggu masa depan kita. Mereka adalah masa depan itu sendiri. Yang kita lakukan hari ini---dalam hal melindungi, mendampingi, Â dan memberi ruang---dapat membentuk wajah bangsa kita esok hari. Jangan biarkan Hari Anak Nasional hanya jadi slogan, lomba, atau jargon tahunan. Marilah kita hadir secara utuh: dengan hati yang mendengar, pikiran yang terbuka, dan tangan yang merangkul.
Â
Referensi
- Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
- Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child.
- Diane Papalia, Sally Wendkos Olds, & Ruth Duskin Feldman, 2008, Human Development (11th ed.), New York: McGraw-Hill.
- Jean Piaget, 1952, The Origins of Intelligence in Children, W.W. Norton & Co https://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.458564/page/n3/mode/1up
- UNICEF, 2021, State of the World's Children 2021: On My Mind -- Promoting, protecting and caring for children's mental health, New York: UNICEF.
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2023, Laporan Akhir Tahun 2023: Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI