Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Hari Keluarga Nasional: Rumah, Budaya, Solidaritas yang Menyatu

2 Juli 2025   05:00 Diperbarui: 1 Juli 2025   04:45 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hari keluarga nasional (sumber: AI-generated picture)

Indonesia memperingati Hari Keluarga Nasional (“Harganas”) tiap tanggal 29 Juni setiap tahunnya. Bagi sebagian orang, hari nasional ini mungkin hanya satu dari sekian banyak peringatan nasional yang berlalu tanpa makna khusus. Namun, bagi bangsa yang lahir dari nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan seperti Indonesia, Harganas seharusnya menjadi momen untuk menengok ulang: sejauh mana kita memaknai keluarga bukan sekadar urusan biologis, melainkan sebagai simpul budaya, penjaga nilai, dan fondasi sosial kita yang terdalam. Dan mungkin, lewat keluarga-lah kita belajar menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Dalam banyak tradisi Nusantara, keluarga selalu menjadi tempat pertama belajar tentang dunia. Bukan di sekolah, bukan dari buku, tapi dari meja makan yang sederhana, dari cerita sebelum tidur atau dari cata orang tua menyebut nama kita saat marah sekaligus saat sayang. Namun, dalam laju modernitas yang semakin cepat, “keluarga” perlahan dipersempit maknanya. Ia menjadi rutinitas, lalu jadi beban, lalu jadi jarak. Padahal, dalam ruang sederhana itulah identitas kita terbentuk—bukan hanya sebagai pribadi, tapi sebagai bagian dari budaya yang lebih besar.

Nilai-nilai yang dulu diwariskan lewat tradisi dan kebersamaan justru punya pengaruh yang ilmiah dan nyata. Menurut Bronfenbrenner, dalam teorinya tentang ekologi perkembangan manusia, keluarga berada di lapisan mikrosistem paling inti yang memengaruhi perkembangan individu sejak dini. Di sinilah anak belajar nilai, emosi, kepercayaan diri, dan identitas. Maka, saat sistem keluarga retak—karena ekonomi, ketimpangan gender, ataupun ketidakhadiran emosional—pembangunan sosial pun ikut terancam rapuh. Keluarga, sejatinya, bukan hanya rumah bagi individu, tetapi fondasi bagi keberlanjutan sebuah masyarakat.


Indonesia tidak hanya punya ke-khas-an dalam batiknya. Masyarakat Indonesia punya ciri khas dimana cara orang tua memanggil anak tetangga dengan “Nak,” atau memanggil “Mas” dan “Mbak” kepada orang yang belum dikenalnya. Ini dapat dimaknai sebagai pembentukan kohesi sosial. Dalam masyarakat agraris dan komunal seperti Indonesia, “keluarga” tidak selalu berbatas pada darah. Ada keluarga adat, keluarga rohani, keluarga RT, bahkan keluarga dalam pekerjaan. Tidak jarang kita mendengar dalam konteks pekerjaan pernyataan “dalam kantor ini, kita adalah keluarga.” Inilah wajah keluarga dalam budaya kita—fleksibel, menyatu, dan saling merawat meski tanpa ikatan darah.

Tidak hanya hadir dalam kebiasaan dan sapaan sehari-hari, nilai kekeluargaan juga tertanam dalam fondasi ideologi dan sistem hukum kita. Koentjaraningrat menyebut struktur sosial Indonesia sangat menekankan prinsip kekeluargaan. Dari pengambilan keputusan di desa hingga musyawarah dalam keluarga besar, pendekatan kolektif menjadi nafas kehidupan. Struktur ini juga terwujud dalam salah satu sila dalam Pancasila dimana pengambilan keputusan diambil secara “musyawarah mufakat.” Lebih lanjut, dalam hukum Indonesia, “asas kekeluargaan” menjadi dasar konstitusional dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia 1945. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kekeluargaan tidak berhenti di ranah privat, tapi menjiwai cara kita dalam mengelola ekonomi dan negara.

Namun kini, nilai-nilai itu mulai bergeser. Di kota-kota besar, tetangga bisa tidak saling mengenal. Anak-anak pun lebih dekat dengna layar ketimbang dengan kakek neneknya. Hidup berpindah dari beranda rumah ke beranda media sosial yang luas, tapi “kosong”. Dalam hal ini, Harganas hadir untuk menjadi pengingat bahwa solidaritas sosial tidak dapat diwariskan begitu saja—ia perlu dilatih, dijaga, dan dihidupi ulang setiap hari secara kolektif. Dan jika solidaritas sosial ingin terus hidup, ia harus dimulai dari ruang terkecil: dari rumah, dari kita.

Hari ini kita juga hidup dalam masyarakat yang serba cepat dan serba bisa. Namun, justru dalam kelimpahan itulah seringkali kita merasa paling sendiri. Banyak orang tua yang pergi dan pulang kerja tidak melihat matahari lalu menghibur anaknya dengan gawai dan tablet ponsel. Banyak anak yang kehilangan figur ayah ataupun ibu bukan karena perceraian, tapi karena absennya waktu berkualitas. Bukan karena orang tua tidak cinta, tapi karena lupa hadir. Carl Honoré, dalam In Praise of Slowness, mengajak untuk kita melambat. Bukan untuk tertinggal, tapi agar kita dapat kembali hadir secara utuh. Karena keluarga bukan soal durasi waktu, tapi soal kualitas kehadiran. Kita dapat tinggal bersama dalam satu atap tapi saling asing. Kita bisa duduk dalam satu meja makan, tapi hanya saling menatap ponsel masing-masing. Rumah yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan keluarga, pun lambat laun layaknya sebuah “kost” dimana penghuni bangunan “kost” tersebut tidak ada kewajiban meluangkan waktu satu sama lain. Di sinilah Harganas dapat menjadi pengingat: untuk lebih sering mematikan notifikasi dan menyalakan percakapan.

 

Harus disadari pula bahwa tidak semua orang punya rumah yang nyaman. Tidak semua anak punya ayah dan ibu yang lengkap. Data BKKBN tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 23 juta keluarga yang masuk kategori rentan secara sosial dan ekonomi. Maka, berbicara soal keluarga di Indonesia tidak cukup hanya dengan retorika nostalgia. Ia harus dikaitkan dengan keadilan sosial. Saat ini, Negara pun hadir lewat Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), atau layanan Posyandi. Namun, semua itu hanya efektif jika kita sebagai masyarakat juga mau merawat nilai kekeluargaan dalam tindakan kecil: tidak menghakimi anak yang dibesarkan neneknya, tidak menertawakan perempuan kepala keluarga, atau tidak mencibir bapak yang memilih menjadi pengasuh utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun