Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love

Tentang Bahasa Cinta Physical Touch: Saat Sentuhan Lebih Nyaring dibandingkan Kata-kata

3 Juli 2025   05:00 Diperbarui: 30 Juni 2025   18:02 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi physical touch (sumber: AI-generated picture)

Kita saat ini hidup pada era dimana kata-kata dan informasi tumpah ruah setiap saat---dalam chat, berita, status media sosial, shorts atau reels, bahkan dalam stiker WhatsApp yang menggantikan ketikan. Namun, bagi sebagian dari kita masih ada yang tetap tidak merasa dicintai meski ribuan kata diucap ataupun diketik. Ada pula yang tidak pandai merangkai kata dan kalimat, tapi satu genggaman tangan terasa jauh lebih bermakna dibandingkan puisi paling indah yang divideokan di puncak gunung tertinggi di bumi ini. Barangkali memang cinta itu memang tidak melalu harus terdengar, tapi ia cukup hadir---melalui satu genggaman.

Di tengah era komunikasi yang didominasi teks dan emoji, ada sekelompok orang yang justru merasa makin jauh dari makna cinta itu. Mereka ini adalah Si Physical Touch. Satu kelompok manusia yang memandang bahwa cinta bukan hanya sekadar pernyataan, tapi kehadiran yang nyata. Cinta yang tidak terhalang teks "Aku Sayang Kamu" melalui aplikasi teks, melainkan lengan yang memeluk di saat kesibukan sedang memegang kendali fokus. Mereka ini percaya: sentuhan bisa menjadi bahasa cinta yang paling dalam. Bagi kelompok ini, cinta itu soal seberapa nyata terasa.

Kebutuhan akan sentuhan sudah bermula jauh lebih awal. Sejatinya, sejak masih bayi, manusia sudah mengenal dunia lewat sentuhan. Seorang bayi yang dipeluk oleh Ibunya akan merasakan kenyamanan dan keamanan. Penelitian oleh Montagu menunjukkan bahwa bayi prematur yang mendapat terapi sentuhan rutin akan lebih cepat bertumbuh dan stabil secara fisiologis. Mungkin, itulah sebabnya sebagian dari kita tetap mencari sentuhan, bukan sekadar karena ingin dimanja---tetapi karena itu adalah bahasa pertama yang kita kenal.

Dalam konteks ini, sentuhan bukan sekadar fisik. Ia adalah medium pesan emosional. Saat orang yang kita cintai menggenggam tangan saat kita cemas, ada rasa tenang yang sulit dijelaskan. Atau, saat si physical touch ini sedang fokus bagai kuda, pelukan hangat dari belakang dapat memberikan afirmasi positif dalam menyemangati. Sentuhan tersebut menghubungkan dua manusia dalam keheningan yang penuh makna. Debrot dkk menemukan bahwa sentuhan fisik meningkatkan keintiman psikologis, memperkuat perasaan aman, dan menurutnkan ketegangan emosional. Sentuhan bukan hanya gestur romantis, tapi menjadi "bahasa" yang mengatur dan menyelaraskan emosi dua individu. Bagi mereka yang memaknainya, sentuhan bukan pelengkap---melainkan inti dari bagaimana cinta dirasakan, diterima, dan dibagikan.

Sayangnya, dalam kebiasaan masyarakat Indonesia, cinta melalui sentuhan seringkali jadi topik sensitif. Kita diajarkan untuk menjaga jarak dan untuk tidak terlalu ekspresif secara fisik. Kalimat "jaga sopan santun" seringkali menyingkirkan kebutuhan akan pelukan. Padahal, pelukan bukan sekadar gestur romantis. Ia dapat bersifat restoratif dan bahkan terapeutik. Sebuah penelitian oleh Tiffany Field menunjukkan bahwa sentuhan yang tepat dapat menurunkan tingkat stres, memperbaiki kualitas tidur, dan memperkuat koneksi sosial. Bahkan di usia dewasa, sentuhan tetap berperan penting dalam kesejahteraan psikologis dan relasional. Lebih lanjut, model teoritis lain yang dikembangkan oleh Jakubiak dan Feeney menjelaskan bahwa affectionate touch secara konsisten dikaitkan dengan kepuasan hubungan, stabilitas emosi, dan peningkatan kesejahteraan fisik. Bagi Si Physical Touch, pelukan, genggaman tangan, atau sekadar belaian bukan sekadar kebiasaan---mereka adalah jembatan menuju rasa aman. Tiap sentuhan tersebut menjadi ruang untuk saling merasa dekat.

Namun, bukan berarti semua bentuk sentuhan adalah cinta. Justru, di sinilah letak tantangannya. Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya consent dan batas pribadi, sentuhan perlu disampaikan dengan peka dan penuh empati. Bahasa cinta bukan tentang memaksa bahasa kita ke orang lain, tapi tentang belajar memahami bahasa mereka. Gallace dan Spence menjelaskan bahwa sentuhan antarpribadi bisa menjadi bentuk komunikasi yang sangat komplek dan rentan disalahartikan. Oleh karena itu, memahami preferensi orang lain sangat penting, apalagi bila mereka bukan tipe Physical Touch. Karena cinta bukan hanya tentang memberi yang kita anggap baik, tapi tentang memberi apa yang orang lain butuh dan dapat terima.

Ketika dua orang mencintai, namun berbicara dengan bahasa cinta berbeda, gesekan dapat muncul dalam bentuk yang tidak kasat mata. Contoh, saat pasangan kita adalah quality time, sementara kita physical touch, maka pelukan tanpa perhatian utuh dapat terasa kosong. Sebaliknya, waktu berdua tanpa pelukan dapat terasa hambar bagi si physical touch. Di sinilah komunikasi jadi penting---bukan untuk mengubah siapa kita, tapi untuk menjembatani dua dunia yang berbeda.

Pernahkah kita menyadari betapa banyak cinta yang dapat disampaikan lewat sentuhan kecil? Seorang ibu yang membelai rambut anaknya saat tertidur. Seorang sahabat yang merangkul kita saat kita kehilangan. Pasangan yang mengaitkan jari di trotoar yang ramai. Anak kecil yang tiba-tiba memeluk tanpa alasan. Semua itu adalah ekspresi kasih yang tidak perlu dikemas dalam bahasa formal. Dan mungkin, sentuhan semacam itu adalah pengingat: bahwa cinta sejati tidak selalu butuh alasan, cukup kepekaan.

Namun, seiring usia dan beban hidup yang terus bertambah, kita sering lupa akan kekuatan gestur sederhana tersebut. Sentuhan tidak lagi jadi ekspresi utama cinta kita. Kita terlalu sibuk membuktikan cinta lewat pekerjaan, hadiah, atau pencapaian, dan lupa bahwa sesekali, cinta juga butuh diungkapkan lewat kehadiran fisik. Tidak harus selalu pelukan besar---kadang, menepuk bahu di tengah kekacauan pun cukup. Bahkan di ranah neurologi, Morrison mencatat bahwa sentuhan lembut di kulit memicu aktivasi area otak yang berkaitan dengan afeksi dan kenyamanan. Dengan kata lain, cinta yang disentuh benar-benar "dirasa" oleh otak dan tubuh.

Setelah semua teori dan istilah, pada akhirnya cinta kembali ke hal paling personal: cara kita hadir dan membaca kehadiran orang lain? Coba renungkan sebentar: bagaimana kita terbiasa menunjukkan ekspresi cinta kita? Bagaimana kita ingin dicintai? Kadang kita menganggap orang tidak mencintai kita hanya karena ia tidak menunjukkan dengan cara yang kita pahami. Padahal, bisa jadi ia sudah mencintai dengan caranya---dengan diam-diam menggenggam tangan kita di tengah keramaian atau berdiri lebih dekat saat kita lelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun