Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Tentang Bahasa Cinta Quality Time: Hadir, Mendengar, dan Memaknai Waktu

19 Juni 2025   05:00 Diperbarui: 17 Juni 2025   04:55 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Quality Time (sumber: AI-generated picture)

Di zaman yang serba cepat, waktu menjadi “komoditas” langka. Banyak di antara kita yang bisa dengan mudah membeli barang, mengirimkan pesan, atau bahkan memanjakan orang lain dengan fasilitas yang ada. Namun, ada satu hal yang tidak bisa kita beli: kehadiran yang utuh. Di sinilah bahasa cinta Quality Time menemukan maknanya. Di balik segala kemudahan zaman, yang paling dirindukan tetaplah waktu yang benar-benar kita bagi bersama.

Quality Time sebagai salah satu dari lima love languages—konsep yang diperkenalkan oleh Chapman—menekankan pentingnya memberikan perhatian penuh kepada orang yang kita sayangi. Bukan sekadar hadir secara fisik, melainkan juga hadir secara emosional, mental, dan spiritual. Quality Time kerap menjadi ruang bagi orang untuk merasakan keterhubungan emosional yang sejati. Orang dengan kecenderungan Quality Time merasa dihargai dan dicintai ketika ada seseorang yang benar-benar meluangkan waktu untuk bersama mereka, tanpa gangguan dan tanpa distraksi. Kehadiran seperti ini menciptakan ruang aman, ruang dialog, dan ruang pertumbuhan dalam relasi.

Tantangan utamanya ada pada dunia kita hari ini. Di tengah notifikasi yang terus berbunyi, meeting yang tidak berujung, dan budaya multitasking yang diagungkan, kita justru semakin jarang benar-benar hadir bagi orang lain. Kita kerap terjebak dalam rutinitas dan lupa bahwa being there lebih bermakna ketimbang being busy. Di sinilah seringkali konflik kecil muncul. Bagi orang yang dominan dengan Quality Time, perhatian yang setengah-setengah terasa lebih menyakitkan daripada ketidakhadiran fisik. Sebaliknya, momen sederhana, seperti makan malam bersama tanpa gawai, duduk berdampingan dalam mobil tanpa gangguan luar, ataupun berjalan sore sembari berbincang justru dapat memperkuat ikatan. Perhatian yang tulus dan waktu bersama tanpa gangguan justru menjadi fondasi dari rasa dicintai yang paling dalam.

Tak heran bila para peneliti pun menegaskan: lebih dari kehadiran fisik, keterhubungan emosional lah yang membuat relasi bertumbuh. Penelitian Egbert & Polk menegaskan bahwa Quality Time memiliki kontribusi signifikan dalam membangun relasi yang memuaskan karena mengedepankan keintiman emosional melalui interaksi yang bermakna. Kuncinya bukan pada seberapa lama waktunya, melainkan bagaimana kualitas interaksi itu dihayati. Lima menit yang penuh kehadiran seringkali lebih berarti daripada satu jam obrolan yang diselingi pandangan ke layar ponsel. Itulah mengapa menciptakan momen bermakna, sekecil apapun, menjadi langkah sederhana namun berdampak besar dalam merawat relasi.

Lebih jauh lagi, studi Barton, Futris dan Nielsen juga menunjukkan bahwa momen-momen Quality Time berfungsi sebagai buffer yang kuat bagi relasi yang sedang menghadapi tekanan eksternal. Di tengah stres keuangan, beban pekerjaan, atau pergulatan hidup sehari-hari, ruang kebersamaan yang bermakna dapat menjadi penguat rasa syukur, rasa saling menghargai, dan ikatan emosional. Dalam dunia yang makin tidak pasti ini, Quality Time bukan sekadar “aktivitas tambahan”, melainkan fondasi penting bagi ketahanan relasi.

Di banyak budaya, praktik Quality Time punya padanan tradisional. Dalam budaya Indonesia, misalnya, kebiasaan “ngopi bareng”, makan malam keluarga, atau sekadar duduk-duduk santai depan teras dan saling mengobrol antar tetangga adalah contoh konkret bagaimana orang memaknai kehadiran sebagai bentuk kehadiran. Kebersamaan semacam ini bukan tentang aktivitas besar, tetapi tentang memberi ruang bagi percakapan, canda, dan rasa saling memahami. Seperti yang ditulis oleh Magnis-Suseno, keakraban dalam budaya kita banyak dibangun lewat kehadiran sederhana yang dijalani bersama, bukan lewat simbol-simbol yang rumit. Ruang-ruang kebersamaan seperti ini perlu semakin kita jaga dan rawat, bahkan dalam masyarakat Indonesia.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua orang secara alami memahami atau mengutamakan bahasa cinta ini. Ada yang lebih nyaman mengekspresikan cinta lewat Acts of Service ataupun Receiving Gifts. Di sinilah tantangan komunikasi muncul. Orang yang dominan dengan Quality Time perlu mengomunikasikan kebutuhannya secara sehat dan terbuka. Terkadang, pasangan atau anggota keluarga perlu diingatkan bahwa “aku ingin waktu bersamamu” bukan berarti ingin mengatur atau menuntut, melainkan ingin membangun kedekatan emosional. Dengan saling memahami perbedaan bahasa cinta, kita dapat membangun ruang relasi yang lebih hangat dan saling menghargai.

Begitu pula bagi mereka yang berelasi dengan si Quality Time. Penting untuk menyadari bahwa hadiah paling berharga yang bisa diberikan adalah kehadiran yang utuh. Mungkin ini berarti mematikan ponsel saat bersama, merencanakan waktu khusus tanpa gangguan, atau sekadar meluangkan telinga dan hati saat orang terdekat ingin berbagi cerita. Di era digital ini, tindakan sederhana semacam ini dapat menjadi penegasan cinta paling kuat.

Pada akhirnya, Quality Time mengajarkan kita pelajaran penting: bahwa cinta itu dibangun dalam detik-detik yang dihayati bersama. Kehadiran kita hari ini adalah kenangan yang akan dibawa oleh orang-orang terkasih dalam masa mendatang. Dan dalam dunia yang makin sibuk ini, mungkin inilah bahasa cinta yang paling kita butuhkan—agar kita tidak sekadar hidup berdampingan, melainkan sungguh-sungguh hadir satu sama lain.

References:

  • Gary Chapman, 2014, The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate, LifeWay Press.
  • Egbert & Polk, Speaking the Language of Relational Maintenance: A Validity Test of Chapman’s (1992) Love Language, Communication Research Reports, 23(1), 2006, 19—26.
  • Allen Barton, Ted Futris & Robert Nielsen, Linking Finansial Distress to Marital Quality: The Intermediary Roles of Demand/Withdraw and Spousal Gratitude Expression, Personal Relationships, 22, 2015, 536—549.
  • Franz Magnis-Suseno, 1984, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun