Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Bayangan Skandal Moral Hindia Belanda dalam RUU Ketahanan Keluarga

23 Februari 2020   23:28 Diperbarui: 25 Februari 2020   12:23 4288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politie kantoor in Nederlands-Indi (KITLV, circa 1930) | hdl.handle.net

Setidaknya sejak satu minggu yang lalu, laman berita nasional hingga media sosial rekan-rekan saya disibukkan dengan pembahasan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang masuk dalam salah satu program yang diprioritaskan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Dengan mempertimbangkan frasa yang disematkan sebagai judul RUU ini, saya mulanya berpikir bahwa naskahnya berisi penyempurnaan bagi peraturan lain yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan dalam keluarga.

Namun demikian, saya mulai menemukan keanehan ketika beberapa rekan aktivis, baik mahasiswa maupun umum, menunjukkan dengan jelas bahwa isi naskah tersebut jauh sekali dari apa yang menjadi pemikiran saya.

RUU Ketahanan Keluarga yang diusulkan oleh tidak lebih dari lima orang tersebut rupanya berisi serangkaian peraturan yang mengatur ranah paling privat dari kesatuan keluarga.

Naskah itu mengandung pasal yang mengatur mengenai perasaan, fungsi istri, pemanfaatan sperma dan ovum, orientasi seksual, dan hal privat lainnya.

Pembacaan terhadap naskah tersebut memaksa saya untuk memikirkan dua hal, yaitu pengandaian masa depan saat RUU ini menjadi undang-undang dan episode sejarah yang lagi-lagi tidak dipelajari oleh Indonesia.

Seandainya naskah ini pada akhirnya lolos menjadi peraturan legal, pihak yang paling terdampak pelaksanaan 'pembersihan moral' yang difasilitasi oleh undang-undang ini adalah golongan miskin dan menengah ke bawah.

Salah satu pasal yang cukup menggelitik otak saya adalah pasal 33 RUU Ketahanan Keluarga yang pada pokoknya berisi tentang pemisahan kamar orang tua, anak laki-laki, dan anak perempuan.

Aturan tersebut tidak berhenti sampai di situ. Terdapat pula kewajiban mengenai adanya sirkulasi udara dan toilet yang bebas dari kejahatan seksual.

Dengan pemikiran itu, setidaknya sebuah keluarga yang memiliki seorang putra dan seorang putri harus memiliki tiga kamar dan satu kamar mandi dengan pencahayaan dan aturan udara yang baik.

Fantasi tersebut memang merupakan suatu keadaan yang ideal dan nyaman. Namun demikian, dalam setiap penelitian lapangan yang saya lakukan di Pulau Jawa saja, tidak banyak rumah yang sesuai dengan standar tersebut.

Setelah undang-udang ini berlaku, sebagian besar keluarga di Pulau Jawa akan menjadi subjek hukum yang melanggar undang-undang. Penjelasan ini adalah salah satu contoh yang paling halus dari pemberlakuan undang-undang tersebut.

Contoh subjek yang melanggar undang-undang ini masih dapat dilengkapi dengan pasangan mandul yang menggunakan metode rekayasa reproduksi, golongan homoseks, perempuan pekerja, hingga suami istri yang kurang mencintai satu sama lain.

Dalam pengandaian yang ekstrem, beberapa saat setelah undang-undang tersebut diberlakukan, negeri ini akan terlibat dalam suatu ajang 'pemersihan moral' dan 'perburuan' terhadap orang-orang yang dianggap tidak memenuhi kaidah moral dalam Undang-undang Ketahanan Keluarga.

Bayangan itu membawa saya untuk mengingat kembali monograf yang baru saja selesai saya tulis. Pada akhir 2019, saya selesai menulis monograf mengenai masa pemerintahan gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer.

Oleh sebab itu, dengan mencuatnya isu RUU Ketahanan Keluarga, saya kembali teringat pada satu insiden 'pembersihan moral' yang terjadi di Hindia Belanda pada tahun 1938.

Insiden tersebut bermula pada Oktober 1936 dengan sebuah artikel pendek mengenai peningkatan perilaku homoseksual yang menyasar anak di bawah umur dalam majalah De Ochtenpost.

Artikel ini segera direspons secara serius oleh partai konservatif Kristen, Christelijke Staatskundige Partij (CSP). CSP melayangkan protes keras kepada Gubernur Jenderal Tjarda untuk segera menekan perilaku yang dianggap 'memalukan' tersebut.

Pada masa itu, keadaan Hindia Belanda sedang dalam kekacauan usai depresi ekonomi yang melanda dunia sejak 1929. Gubernur jenderal pada mulanya mengesampingkan permasalahan ini untuk lebih berfokus pada prioritas pembangunan kembali pascaperang. Namun demikian, tekanan populis membawa kembali permasalahan ini ke atas meja gubernur jenderal pada tahun 1938.

Dengan pertautan antara tekanan populis dan pertimbangan wajah pemerintah kolonial, pemerintah pada akhirnya mendengarkan protes ini dan melaksanakan sebuah operasi polisi yang disebut sebagai operasi 'pembersihan moral' atau zedenschoonmaak.

Polisi dipersilakan untuk menangkap siapa saja yang terlibat dalam aktivitas homoseksual dengan anak di bawah umur. Banyak tersangka yang ditangkap merupakan orang-orang Belanda yang memiliki pangkat tinggi dan nama baik. Mereka kemudian dihukum denda hingga penjara ringan.

Dalam hukum Belanda dan Hindia Belanda, orientasi seksual homoseks hingga perilaku seksualnya sesungguhnya tidak dilarang. Pasal dari hukum pidana yang dikenakan pada para tersangka adalah pencabulan anak di bawah umur.

Peristiwa ini menjadi sebuah skandal yang menarik dan menjadi perbincangan segala kalangan di Hindia Belanda.

Salah satu tujuan pemerintah kolonial melaksanakan operasi pembersihan ini adalah untuk mengadakan unjuk kekuasaan. Hal ini didasari oleh perkembangan anggapan bahwa pemerintah kolonial setelah 1930 tidak lagi memiliki kekuasaan yang materiel.

Namun demikian, ketika Hindia Belanda sibuk melaksanakan aktivitas 'pembersihan moral' tersebut, Jepang telah mulai bergerak untuk menyusun strategi dan mengikat banyak perjanjian strategis dengan Siam di Semenanjung Malaya sebagai bagian dari penguasaan wilayah selatan (termasuk nantinya menyerang Hindia Belanda).

Manuver ini luput dari perhatian pemerintah Hindia Belanda yang sedang sibuk di dalam negerinya untuk mengurus 'moral' masyarakat. Dengan demikian, kepentingan strategis Hindia Belanda justru tidak menjadi fokus utama.

Pola ini saya perhatikan sangat mirip dengan kasus yang akan terjadi di Indonesia seandainya para penguasa tetap berfokus pada urusan privat warga negara dibandingkan urusan strategis kenegaraan.

Para penguasa telah meluputkan fokusnya dari usaha penanganan korupsi, agraria, hingga hak asasi manusia. Saya melihat kecenderungan yang sama dengan kesalahan yang telah dilakukan oleh Hindia Belanda.

Pada tahun 1938 hingga 1939, pemerintah Hindia Belanda tidak berfokus pada kepentingan strategisnya, namun pada dorongan populis yang mengarahkannya pada operasi moral.

Dengan demikian, manuver Jepang luput dari perhatian dan justru terbukti dapat menghancurkan Hindia Belanda pada tahun 1942. Hindia Belanda runtuh pada bulan Maret 1942 memang disebabkan oleh banyak faktor.

Namun demikian, salah satu penyebab yang luput dari perhatian adalah terpecahnya fokus pemerintah pada hal-hal yang tidak 'penting' secara strategis. Kini, kita dapat melihat bahwa Indonesia mengarah pada kecenderungan itu.

Berbagai RUU yang tidak banyak memiliki arti penting justru berusaha diloloskan, sedangkan RUU yang jelas memiliki arti penting ditunda pengesahannya. Lebih lagi, kita dapat melihat bahwa banyak prioritas yang dapat dipertanyakan.

Salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga menjelaskan bahwa naskah ini diperjuangkan untuk menjaga kejelasan keturunan agar sesuai dengan nilai dan norma agama.

Namun demikian, apakah bahkan keturunan kita masih dapat menikmati hidup dan lingkungannya ketika kini seluruh regulasi pertahanan lingkungan dipermudah demi investasi?

Saya melihat ada keanehan dalam skala prioritas para administrator negara. Pada masa kolonial, bahaya yang mengancam mewujud dalam agresi negara lain. Namun, pada masa kini, bahaya mewujud pada berbagai macam hal, termasuk kerusakan lingkungan.

Substansi dari dua peristiwa, pengusulan RUU Ketahanan Keluarga dan zedenschoonmaak, memang jelas berbeda. Namun demikian, hal ini jelas menunjukkan pola yang sama bahwa para penguasa justru berfokus pada suatu hal yang tidak memiliki fungsi strategis berkepanjangan dan mengesampingkan hal-hal yang justru sangat vital.

Sebagai orang yang berfokus pada bidang sejarah, saya hanya memiliki otoritas untuk membicarakan pola yang berulang ini.

Namun demikian, masih terdapat aspek substansial dari naskah tersebut yang menggelitik kegelisahan akademik saya.

Sekalipun dibungkus dengan alasan-alasan yang dianggap bermoral, pasal-pasal di dalam RUU Ketahanan Keluarga justru sangat dapat dipertanyakan dan diperdebatkan dalam ranah filsafat moral. Saya berharap muncul pembahasan dari bidang hukum dan filsafat mengenai RUU yang dalam pemikiran saya sangat janggal ini.

Pada akhirnya, kita sekali lagi harus bertanya, apakah humaniora akan terus dipinggirkan dalam pembuatan kebijakan negara yang semakin lama semakin membutuhkan pelajaran dari bidang humaniora?

Daftar Sumber
Bijkerk, J. C. 1974. Vaarwel tot Betere Tijden. Franeker: Wever.

Bloembergen, Marieke. 2011. "Rein Zijn is Sterk Zijn: De Massale Vervolging van Homoseksuelen in Nederlands-Indi in 1938-1939" dalam Gert Hekma dan Theo van der Meer (eds.), Bewaar Me voor de Waanzin van het Recht: Homoseksualiteit en Strafrecht in Nederland, pp. 109---122. Diemen: AMB.

Bunga, Halida. 2020. "Pengusul: RUU Ketahanan Keluarga untuk Jaga Kejelasan Keturunan" dalam Tempo 20 Februrari. 

Leidelmeijer, Frans. 2007. "De Vervolging van Homoseksuelen in Indi in 1938", Indische Letteren 22.

Onghokham. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia.

Reinhart, Christopher. 2019. Mempertahankan Sebuah Imperium: Pembuatan Kebijakan Kolonial Hindia Belanda Masa Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, 1936---1942. Depok: Universitas Indonesia.

Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Kini menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun