Rinai hujan malam itu, Anna berdiri di teras rumahnya menjinjing sebuah tas lusuh berwarna abu -- abu. Wajahnya pucat. Di kepalanya berseliweran puluhan pertanyaan mengapa. Pertanyaan--pertanyaan itu bergelantungan pada keriputnya, sebagian pada ubannya dan sebagian lagi di antara matanya yang sendu.
        Hujan mengguyur dengan lebih deras, dia semakin cemas. Tetapi dia sabar menanti. Dia tidak ingin tiket bus di tangannya berhembus sia -- sia tanpa pernah sampai di tujuan. Jika dia tidak jadi berangkat, maka malam itu tidak akan ada mimpi sekalipun mimpi buruk. Karena diia akan  duduk semalam - malaman di hadapan butir -- butir air yang jatuh dari langit itu sembari melontarkan pertanyaan -- pertanyaan. Sekalipun jika hujan telah berhentii, maka ia akan bercengkerama dengan bulan dan bintang. Lalu dia berdiskusi dengan fajar hingga matahari kembali terbit.
        Beruntung lima menit kemudian klakson bus memanggil. Dia menerobos hujan tak peduli tubuhnya yang mulai layu dimakan usia. Dengan bus dia berjalan ratusan kilometer menatap gulita dan menghitung penumpang yang naik turun sepanjang jalan.  Dingin menjajahnya, dia bergeming. Seolah tak terjadi apa -- apa walaupun bibirnya gemetar dan jari - jari keriputnya harus dia sembunyikan di dalam jaket.
        "Mengapa kau pergi malam -- malam begini, Bu?" Tanya seorang perempuan yang duduk di sampingnya.
        "Anakku dalam masalah. Aku ingin berdiri di sisi anaknya sebagai seorang ibu. Untuk membantunya melawan yang tak bisa dia lawan." Jawabnya.
        "Anakmu perempuan?" Perempuan itu bertanya lagi.
        "Ya, dia perempuan seperti kita. Tetapi dia terlalu muda untuk bisa berdiri sendiri. Aku tak mau lelaki itu  merasa tuan atas hidupnya. Hidup yang dia terima dari napasku" Jawab Anna.
        "Seharusnya kau tak bepergian malam ini, kau bisa sakit, Bu. Usiamu tak bisa berbohong. Kau bisa pergi esok pagi." Perempuan itu mencoba memberi saran.
        "Aku tak bisa menunda. Jika aku terlambat dia dalam bahaya besar. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya." Dia menanggapi saran wanita di sampingnya.
        Suasana kembali hening. Wanita di sampingnya memilih tidur daripada terlibat percakapan yang tak menyenangkan. Anna kembali menatap gulita sambil membiarkan pertanyaan -- pertanyaan mengantri di hadapannya.
        Mengapa lelaki itu melukai anakku? Mengapa lelaki itu merendahkan harga diri anakku? Mengapa lelaki itu menguasai hidup anakku dan melarang anakku ke rumahnya sendiri? Dan mengapa, mengapa yang lain yang membuat hatinya nelangsa. Â
                                                              ***
        Dia tiba di kota karang saat fajar telah menyingsing. Rumah anak perempuannya masih tertutup. Lampu neon di teras rumah masih menyala. Tak ada tanda -- tanda seorang pun yang menanti kehadirannya.
        Suara jangkrik menemaninya turun dari bus dan berjalan tertatih ke depan rumah sambil menenteng tas lusuhnya. Ia menggedor pintu dengan geram. Anak perempuannya keluar. Mereka berpelukan dengan sangat erat.
        "Di mana laki -- laki itu, Maria?" Ia bertanya pada anak perempuannya.
        "Dia sudah pergi mama." Jawab Maria.
        "Apa yang sudah dia perbuat kepadamu, Maria?" Ia bertanya lagi sambil mengamati wajah anaknya.
        Maria hanya menangis.
        "Sungguh biadab laki -- laki itu. Dia memang manusia yang jahat. Aku ingin menampar wajahnya dengan tanganku sendiri. Biar dia tahu rasa. Aku saja yang telah melahirkanmu dengan susah payah dan membesarkanmu tidak pernah memperlakukanmu dengan cara seperti ini."
        Amarah Anna memuncak.
        "Ini salahku juga Ma. Aku telah dibutakan oleh cinta. Aku kira dia laki -- laki baik -- baik. Ternyata aku salah. Dia tidak lebih dari serigala berbulu domba." Kata Maria sambil terus menangis.
        "Sejak awal sudah kuduga dia bukan laki -- laki baik -- baik. Tingkah lakunya mencurigakan. Munafik. Baik di depan orang tua tetapi menunjukkan kebusukannya di belakang -belakang." Perempuan paruh baya itu makin geram.
        "Berhentilah menangis, kemasi barang --barangmu. Kita pergi sekarang juga." Sambungnya.
        Maria segera menuju satu -- satunya kamar tidur di rumah itu. Ia mengambil barang -- barangnya, dimasukannya di dalam sebuah koper tua yang ia simpan di bawah tempat tidur. Ia lalu berjalan keluar ke ruang tamu  di tempat ibunya duduk.
        "Bagaimana jika dia mengejar kita mama?" Tanya Maria sembari menunjukkan kekhawatirannya.
        "Mama akan melindungimu, Maria. Ayo kita berangkat." Kata perempuan paruh baya itu.
        Segera mereka mengambil tas dan koper yang sudah mereka siapkan.
        "Kalian mau ke mana?"
        Tiba -- tiba suami Maria muncul dari balik pintu dengan sempoyongan.
        Maria ketakutan melihat suaminya. Ia lari bersembunyi di belakang ibunya. Ibunya juga terlihat cemas, tetapi ia berusaha tetap berani dan meladeni pria mabuk itu.
        "Aku ingin membawa pulang anakku. Kau telah menyia -- nyiakan hidupnya. Kau rampas kebahagiaannya. Kau racuni hidup anakku dengan kesedihan dan penderitaan". Kata Anna.
        "Oh ternyata ini mama mantuku yang cerewet itu. Tak semudah itu kalian pergi dari sini. Anak perempuanmu itu telah berhutang banyak padaku. Dia tak boleh pergi sebelum kalian mengganti kerugian yang saya alami selama ini" Kata pria itu dengan wajah yang terlihat sangar.
        "Bukankah itu tanggung jawabmu sebagai suami? Tetapi penderitaannya jauh lebih besar dari itu. Maka aku tetap akan membawa pulang anakku." Perempuan paruh baya itu tak mau mengalah.
        "Tanggung jawab? Persetan dengan tanggung jawab. Berani kau tetap membawa Maria pergi dari rumah ini, aku akan membunuh kalian berdua." Pria itu mengancam.
        Anna menarik tangan Maria dan mengajak anak perempuannya itu pergi. Pria itu murka. Wajahnya berubah menjadi sangar. Matanya memerah. Dengan ganas pria itu berjalan menuju Anna dan Maria. Ia mencekik perempuan paruh baya itu. Maria berteriak histeris dan berlari masuk kembali ke dalam kamar tidur.
        Pria itu mengangkat perempuan paruh baya ke atas. Kaki perempuan itu bergerak tak menyentuh tanah. Lidahnya mulai menjulur keluar mulutnya.
        "Prakk!" Sebuah balok menghantam kepala bagian belakang pria itu. Sang pria jatuh tersungkur. Anna pun terlepas dari tangan pria itu, lalu jatuh lemas di sampingnya.
        Maria membuang balok di tangannya lalu segera mengangkat ibunya. Ibunya tak sadarkan diri.
        " Mama, mama, mama!" teriakan Maria yang keras itu tak mampu membangunkan ibunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI