Mohon tunggu...
Kelen Redemptus
Kelen Redemptus Mohon Tunggu... saya adalah mahasiswa PGSD yang suka menulis dan membaca serta aktif dalam berorganisasi

saya aktif dalam organisasi dan senang belajar hal yang baru yang saya dapatkan di lingkungan sekitar saya.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Panggung Remaja Gema Larantuka: Festival Seni Remaja Membaca Dirinya

18 September 2025   09:17 Diperbarui: 18 September 2025   09:17 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pamflet festival seni pertunjukan pelajar (sumber dokumen media FB)

Larantuka, Flores Timur -- Di tengah angin laut yang menghembus lembut dan gemuru ombak yang memeluk pesisir kota Larantuka, gema kreativitas anak muda menggema dari jantung kota. Taman kota Larantuka, yang biasanya menjadi ruang santai bagi warga, berubah menjadi panggung semarak penuh warna dan makna. Inilah panggung remaja, gema Larantuka: festival seni remaja membaca dirinya -- sebuah perayaan jiwa muda yang tak hanya menampilkan seni, tetapi juga memantulkan pencarian identitas, jati diri, dan ekspresi generasi muda Flores Timur.

Festival yang tumbuh dari lokal.

Diselenggarakan oleh komunitas seni lokal, didukung oleh pemerintah daerah, dan dihidupkan oleh semangat anak-anak muda, festival ini bukan hanya ajang pamer bakat. Ia adalah ruang temu, ruang tumbuh, dan ruang uji. Mengusung tema remaja membaca dirinya, festival ini mengajak peserta dan penonton untuk merefleksikan siapa diri mereka dalam realitas sosial, budaya, dan sejarah Flores Timur yang kaya namun juga kompleks. Festival ini digelar selama tiga hari berturut-turut, dengan rangkaian acara yang padat dan menggugah: pentas teater remaja, pembaca puisi, pameran seni rupa, lomba akustik, hingga diskusi publik bertajuk Suara Remaja untuk Larantuka. Bahkan ada ruang workshop seni tulis dan seni peran, dipandu oleh seniman-seniman muda lokal yang telah berkiprah di luar daerah namun pulang untuk membagikan ilmunya.

Wajah-wajah baru seni Larantuka.

Yang paling mengentarkan adalah bagaimana festival ini menjadi ruang lahirnya wajah-wajah baru seni Larantuka. Anak-anak muda dari berbagai SMA dan komunitas tampil tanpa ragu di panggung. Mereka membaca puisi-puisi tentang keresahan hidup remaja, tentang kampung halaman, tentang harapan dan luka. Ada yang tempil dengan lagu-lagu ciptaan sendiri yang menyuarakan kecintaannya pada bumi Nagi, juga ada yang membawa pertunjukan teater tentang relasi antar generasi dan tradisi yang kian tergerus zaman. Penonton yang datang bukan hanya remaja dan guru-guru, tetapi juga para orang tua, seniman senior, tokoh masyarkat, dan wisatawan yang kebetulan sedang berada di kota Larantuka. Suasana terasa sangat inklusif semua kalangan menyatu dalam irama yang sama mendengarkan remaja.

Membaca diri lewat seni.

Festival ini menjadi momen penting bagi remaja untuk membaca diri -- memahami siapa mereka di tengah perubahan sosial, globalisasi, dan tantangan lokal. Di Flores Timur, di mana ruang berekspresi kadang masih terbatas, festival ini menjadi oasis. Seni di sini bukan hanya pertunjukan, tetapi juga proses penyadaran. Banyak peserta mengaku, mereka baru kali ini benar-benar mengekspresikan isi hati mereka, baik lewat puisi, musik, atau teater. Beberapa di antara mereka bahkan menyuarakan isu-isu penting seperti pendidikan, lingkungan, ketimpangan gender, dan budaya lokal yang terpinggir.

Tanggapan positif: suara remaja Larantuka.

Sebagai seorang remaja Larantuka, merasa sangat bangga dan terinspirasi dengan hadirnya festival ini. Akhirnya, anak muda juga punya wadah di mana suara anak muda didengar, di mana bisa menunjukan bahwa anak muda Flores Timur punya potensi besar, bukan hanya sebagai pelaku seni, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Festival ini memberikan semacam panggung dalam arti yang sesungguhnya -- panggung untuk berbicara, menyampaikan gagasan, merayakan perbedaan, dan merawat warisan budaya lokal. Seseorang berkata bahwa "saya belajar bahwa menjadi remaja bukan soal tumbuh secara usia, tetapi juga tentang keberanian melihat ke dalam diri sendiri dan menyuarakan apa yang kami yakini benar". Seorang dari anak muda tersebut berharap festival ini tidak berhenti di sini. Semoga ini menjadi agenda tahunan yang harus berkembang, menjadi megnet bagi seniman muda, bahkan bisa melibatkan sekolah-sekolah dari kecamatan lain Flores Timur. Kita butuh lebih banyak ruang seperti ini -- ruang yang tidak hanya menghargai suara remaja, tapi juga mendorong kami untuk terus belajar, bertanya, dan mencipta.

Gema yang tak padam.

Pangggung Remaja, Gema Larantuka bukan sekedar festival. Ia adalah denyut kehidupan baru bagi seni dan budaya Flores Timur. Ia membuktikan bahwa remaja bukanlah generasi pasif yang menunggu arahan, melainkan generasi pencipta yang siap meretas jalan. Di taman kota Larantuka, gema itu telah terdengar. Suara remaja telah bangkit, dan tak akan mudah dipadamkan. Karena di balik tiap puisi yang dibacakan, tiap lagu yang dinyanyikan, dan tiap langkah di atas panggung, ada harapan yang tak akan pernah padam: harapan akan Flores Timur yang lebih inklusif, lebih kreatif, dan lebih berdaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun