Sumber foto cover: ShutterstockÂ
Asia Tenggara, Aktor Penting Perdagangan Dunia
Sama seperti sisi utara Mediterania, wilayah Asia Tenggara dipenuhi dengan kepulauan. Meski begitu, jumlah pulau di Asia Tenggara jauh melebihi Mediterania (ratusan banding puluhan ribu). Hal tersebut membuat aktivitas maritim dan perdagangan di wilayah ini sangat aktif. Banyak sekali komoditas dagangan yang dapat ditemukan seperti sutra dan teh dari Cina, logam mulia dari Jepang, dan yang paling mahal: rempah-rempah seperti kayu manis dari Sri Lanka, jahe dari India, dan yang paling langka, pala dan cengkeh yang hanya dapat ditemukan di "Kepulauan Rempah-rempah", Maluku dan Banda di Indonesia.Â
Rempah-rempah memang dikenal dengan seribu manfaatnya baik untuk makanan maupun dunia medis (Frankopan, 2016), sehingga kelangkaan pala dan cengkeh ini tidak diimbangi dengan demand pasar yang tinggi. Oleh karenanya, rempah-rempah tersebut menjadi salah satu produk yang paling berharga dan dicari saat itu, seperti spices di film Dune (saking berharganya bahkan Belanda, pada akhir abad ke-17 setelah Perang Inggris-Belanda kedua, rela menukar wilayah jajahannya, Manhattan, ke Inggris sebagai ganti diberikannya pulau Run di Banda, sebuah pulau yang hanya mempunyai panjang 3,5 km dan merupakan satu-satunya wilayah di dunia yang menghasilkan pala; namun dengan begitu, Belanda bisa mengamankan rempah-rempah tersebut untuk tetap mempertahankan monopoli dagang mereka di Asia Tenggara).Â
Keberadaan pala dan cengkeh (dan rempah-rempah lainnya) membuat jalur perdagangan di Asia Tenggara menjadi salah satu yang paling penting di dunia saat itu dan membuat rute dagang di wilayah ini jauh lebih kompleks dan sibuk dari Mediterania.Â
Jalur perdagangan maritim utama sebelum era modern. Sumber: Google Maps dengan sedikit modifikasi dari penulis.
Titik paling strategis dan penting dari seluruh jalur perdagangan Asia Tenggara terletak di Selat Malaka. Seluruh rute dagang, baik itu dari Samudera Hindia, Cina, maupun dari Maluku dan Banda itu sendiri, semua bertemu di Selat Malaka. Faktanya, sebelum penjelajah Belanda menemukan Jalur Brouwer (akan dijelaskan di artikel mengenai pengaruh atmosfer), Selat Malaka menjadi satu-satunya pintu masuk maritim negara-negara yang lebih barat (seperti Semenanjung Arab dan sekitarnya, serta negara-negara Eropa) ke pasar Asia (Asia Tenggara, Cina, Jepang, dan lainnya).Â
Oleh karenanya, pada 1400 M, pelabuhan Malaka menjadi kota kosmopolitan dan merupakan salah satu pusat kota maritim paling besar di dunia saat itu dengan puluhan ribu orang dari berbagai belahan dunia bertemu menjajakan berbagai macam barang dagangan seperti wol dan kaca dari Venesia, opium dari Arab, rempah-rempah dari Maluku dan Banda, dan masih banyak lagi (Bernstein, 2009; Crowley, 2016).
Tentunya, lokasi strategis tersebut tidak datang tanpa resiko. Begitu penjelajah Eropa sadar akan pentingnya Selat Malaka dalam perdagangan internasional dunia, mereka lalu memutuskan untuk menjajah wilayah tersebut untuk memonopoli perdagangan terutama di Asia Tenggara, dimulai dari Portugis yang datang ke sana pada awal abad ke-16. Keuntungan besar lainnya yang didapatkan dari menjajah Selat Malaka adalah bahwa kondisi geografi selat bisa berperan sebagai chokepoint militer. Ambil contoh yang terjadi pada Perang Peloponnesian pada zaman Yunani kuno dan akan menjadi pokok pembahasan bagian selanjutnya!