Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money

Peta Jalan Pengembangan Industri Sidat Indonesia

28 Agustus 2020   14:11 Diperbarui: 28 Agustus 2020   14:08 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 75 persen dari total wilayahnya (termasuk ZEE Indonesia) tertutup oleh lautan dan samudera, dan 28 persen dari total luas daratannya ditutupi oleh ekosistem air tawar (sungai, danau, waduk, dan daerah rawa), Indonesia memiliki potensi produksi perikanan berkelanjutan terbesar di dunia. Salah satu komoditas unggulan perikanan Indonesia adalah Anguillid (Anguilla spp) atau Sidat.

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang juga Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof. Rokhmin Dahuri saat menjadi pembicara kunci di "International Seminar On Fisheries" yang diselenggarakan oleh Universitas Tadulako (Untad) Palu secara virtual pada Kamis, 27 Agustus 2020.

"Sidat menjadi komoditas unggulan perikanan Indonesia karena harganya yang tinggi dan permintaan yang semakin besar baik di pasar domestik maupun global, mengandung protein tinggi, DHA, EPA, vitamin, dan mineral yang sangat baik untuk kesehatan, kekuatan, dan kecerdasan manusia," ujarnya.

Menurut Rokhmin, secara alami Indonesia memiliki salah satu sumber daya sidat terbesar dimana saat ini stok sidat alami di bagian lain dunia telah dieksploitasi secara berlebihan hingga menjadi terancam. "Situasi ini membuat sumber daya Anguillid Indonesia semakin kompetitif," terangnya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menegaskan jika dikelola dengan baik, industri sidat (dari hulu ke hilir) adalah entitas bisnis yang sangat menguntungkan dan berkelanjutan yang menyerap lapangan kerja besar dan menciptakan multiplier effect yang beragam.

"Saat ini sebagian besar produksi sidat dunia dihasilkan dari kegiatan budidaya (pemeliharaan) (97 persen dari total produksi sidat dunia)," ungkapnya.

Pada tahun 2010-2018, beber Rokhmin produksi sidat Indonesia bergerak dinamis, sebagian besar dari kegiatan perikanan tangkap (rata-rata 1.457 ton per tahun). "Pada tahun 2018 produksi penangkapan ikan sidat terbanyak berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan (40,5 persen), diikuti oleh Bengkulu (16,1 persen) dan Yogyakarta (10 persen)," katanya.

Lebih dari 200.000 ton / tahun sidat diproduksi di seluruh dunia dimana produsen utamanya adalah Cina, Jepang, dan Korea. Lebih dari 70 persen produk ini diproduksi untuk pasar 'Kabayaki' Jepang. "Kabayaki adalah gaya penyajian sidat, di mana sidat yang berukuran sekitar 150-200gram diberi mentega, diletakkan di atas tusuk sate, diolesi dengan kecap kental, dan dikukus atau dipanggang. Lebih dari 90 persen sidat yang dikonsumsi di Jepang disajikan dengan cara ini," urainya.

Pada tahun 2010 lanjut Rokhmin, Greenpeace International telah menambahkan sidat Eropa (Anguilla anguilla), sidat Jepang (Anguilla Japponica), dan sidat Amerika (Anguilla rostrata) ke dalam daftar merah makanan laut.

"Populasinya mengalami penurunan drastis akibat konsumsi yang berlebihan. Sehingga pasar dunia saat ini beralih ke spesies sidat tropis di Indonesia. Dari 6 spesies sidat yang ada di Indonesia, spesies yang paling banyak diminati adalah Anguilla bicolor dan Anguilla marmorata,"

Ekspor Sidat

Tahun 2010-2019 ekspor sidat hidup menurun (rata-rata 11 persen per tahun), sedangkan ekspor sidat beku meningkat (rata-rata 37 persen per tahun). Karena siklus hidupnya yang sangat kompleks, Rokhmin mengatakan sidat belum pernah dikembangbiakkan di tempat penetasan. Akibatnya, industri budidaya sidat di seluruh dunia selama ini harus bergantung pada pemanenan glass eels dari alam liar untuk penebaran di kolam budidaya.

"Di luar negeri, produksi tahunan sidat dari budidaya mulai menurun karena beberapa hal. Salah satu faktor utama adalah penurunan pasokan glass eels. Hal ini sebagian disebabkan oleh pemanenan glass eels yang berlebihan yang menyebabkan perekrutan atau reproduksi jatuh," katanya.

Budidaya Sidat

Rokhmin mengatakan sidat dapat dibudidayakan di kolam dan sistem tangki resirkulasi. Tingkat penebaran dalam sistem tangki dan sistem kolam intensif bervariasi, tergantung pada kapasitas sistem dan intensitas operasi. "Dalam sistem tangki yang dikembangkan dengan baik, tingkat penebaran dapat mencapai hingga 80 kg/m3, sedangkan dalam sistem kolam super intensif, tingkat penebaran dapat melebihi 20 ton/ha". Kisaran suhu yang ideal agar sidat tetap sehat dan secara efisien mengubah pakan menjadi pertumbuhannya adalah 23-28 C. Suhu di atas optimal akan menurunkan tingkat makan dan pertumbuhan, stres dan terkadang kematian.

"Di bawah lingkungan yang terkendali iklim, sidat diharapkan dapat dibesarkan ke ukuran pasar (200-300gram) setelah 18-24 bulan," tambahnya.

Pengembangan Industri

Untuk mendukung pengembangan industri sidat alami di Indonesia, pakar kemaritiman itu memberikan beberapa rekomendasi yang harus dilakukan antara lain : Melindungi tempat bertelur dan tempat pembibitan sidat Anguillid di seluruh ekosistem perairan tawar dan laut Indonesia dalam bentuk kawasan lindung ('zona larang tangkap').

"Lindungi jalur migrasi sidat di sepanjang daerah aliran sungai. Pemanenan glass eels untuk budidaya dan sidat ukuran pasar untuk konsumsii langsung harus diatur secara ketat agar tingkat panen tidak melebihi Total Tangkapan yang Diizinkan (80 persen MSY)," tandasnya.

Rokhmin juga menekankan praktek penangkapan ikan yang merusak harus dilarang (dihentikan). "Ukuran sidat yang dapat diekspor harus lebih besar dari 150 gram / ekor sidat," katanya.

Selanjutnya memperkuat dan meningkatkan pengembangan program pembenihan sidat untuk menghasilkan larva dan glass eels untuk budidaya berkelanjutan. "Memperkuat dan meningkatkan budidaya sidat berkelanjutan dengan menerapkan Praktik Budidaya Terbaik meliputi SPF dan SPR glass eels, pengelolaan pakan yang tepat, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan kualitas air, desain dan rekayasa kolam (wadah media), dan biosekuriti," tegasnya.

"Kita juga memperkuat dan meningkatkan industri pengolahan dan pemasaran, terutama untuk pasar global. Mengembangkan infrastruktur, logistik terintegrasi dan sistem manajemen rantai pasokan. Memperkuat penelitian dan pengembangan (R&D) dan inovasi untuk industri sidat yang lebih kompetitif, menguntungkan, dan berkelanjutan," tambahnya.

Kapasitas dan etos kerja petani dan pemangku kepentingan lainnya yang bergerak dalam sektor perikanan khususnya sidat di Indonesia harus terus ditingkatkan. "Dan tidak kalah penting lagi adalah kebijakan politik-ekonomi (misalnya moneter, fiskal, iklim investasi, dan kemudahan berusaha) harus kondusif," pungkas Rokhmin Dahuri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun