Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pembangunan Kelautan Bukan Sekadar Menenggelamkan Kapal

19 Januari 2018   17:14 Diperbarui: 20 Januari 2018   09:33 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Untuk lolos dari jebakan kelas menengah (a middle-income trap) dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdulat pada 2030;  ekonomi Indonesia mulai 2015 harus tumbuh rata-rata diatas 7 persen per tahun. Selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden SBY (2005-2014), pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5,8 persen/tahun.  

Sebab itu, dalam RPJMN -- Nawacita 2015 -2019, Presiden Jokowi dan Wapres JK sudah tepat menetapkan target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun.  

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut dengan kekayaan SDA (potensi pembangunan) yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, sangat logis bila pemerintah Kabinet Kerja mengandalkan sektor-sektor kelautan (kemaritiman) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru yang signifikan.  

Presiden Jokowi dan Wapres JK bertekad untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni, sebuah Indonesia yang maju, kuat, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan dan hankam serta budaya maritim. 

PMD juga mengandung makna, bahwa Indonesia menjadi a role model (teladan) bangsa-bangsa lain di dalam mendayagunakan dan mengelola lautan untuk dunia yang lebih sejahtera, aman, damai, dan berkelanjutan.

Potensi ekonomi kelautan

Ekonomi kelautan adalah seluruh aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan aktivitas ekonomi yang terdapat di wilayah darat yang menggunakan bahan baku (raw materials) berasal dari ekosistem pesisir atau lautan (Dahuri, 2007; Kildow, 2010).  Atas dasar definisi ini, ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan di Indonesia: 

(1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) kehutanan pesisir (coastal forestry), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA kelautan non-konvensional. 

Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu sekitar 1,35 trilyun dolar AS/tahun atau 1,5 PDB Indonesia saat ini atau 7 kali APBN 2017.  Sedangkan, potensi lapangan kerja yang bisa diciptakan sekitar 45 juta orang.  Pada tahun 2014 tingkat pemanfaatan kesebelas sektor kelautan tersebut baru sekitar 25% dari total potensinya.

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai PMD, pemerintahan Kabinet Kerja mengusung empat kebijakan pembangunan kelautan: kedaulatan, keamanan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi pun mendirikan Kementerian Koordinator Maritim untuk mengakselerasi  dan mengharmoniskan orkestra pembangunan kelautan nasional.

Mengingat Indonesia masih sebagai negara berkembang dengan angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial yang tinggi; maka program-program pembangunan kelautan yang terkait dengan peningkatan  daya saing, pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat mestinya mendapat porsi yang paling besar.  

Lebih dari itu, kalau ekonomi kita tidak kuat dan rakyatnya banyak yang miskin, kita tidak mungkin bisa membangun kekuatan hankam laut berkelas dunia yang mampu mengamankan laut dan menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Kita pun akan kesulitan melestarikan lingkungan dan sumber daya kelautan.  

Sebab, kerusakan lingkungan pesisir dan lautan tidak hanya disebabkan oleh industrialisasi atau modernisasi pembangunan yang rakus. Tetapi, juga oleh para nelayan dan masyarakat pesisir yang miskin, tanpa alternatif mata pencaharian yang lebih produktif dan ramah lingkungan.  

Masyarakat pesisir yang miskin acap kali terpaksa menggunakan teknik penangkapan ikan atau pemanfaatan sumber daya kelautan lainnya yang merusak lingkungan, sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Sayangnya, sudah tiga tahun umur Kabinet Kerja, hingga kini pemerintah belum memiliki blueprint pembangunan kelautan nasional yang tepat. 

Pembangunan kelautan seolah identik dengan penenggelaman kapal ikan asing, moratorium kapal ikan berukuran besar dan berteknologi modern, larangan pukat hela dan pukat tarik (termasuk cantrang) yang selama ini digunakan oleh mayoritas nelayan, larangan kapal pegangkut ikan kerapu hidup, dan larangan menjual lobster, kepiting serta spesies lainnya di bawah ukuran tertentu. 

Ibarat sebuah mobil, pembangunan kelautan sekarang terlalu banyak 'remnya', sedikit sekali 'ngegas' dengan kendali setir yang cerdas dan bijaksana.  Akibatnya, 15 pabrik surimi di sepanjang Pantura gulung tikar; pabrik-pabrik pengolahan ikan dan seafood di seluruh kawasan industri perikanan seperti Belawan, Bungus, Muara Baru, Cilacap, Benoa, Bitung, Kendari,  Ambon, dan Sorong kekurangan bahan baku dan sudah banyak yang bangkrut.  

Nilai ekspor turun drastis, sebaliknya impor ikan melonjak; pajak dan kontribusi sektor perikanan terhadap ekonomi nasional (PDB) semakin menurun; ratusan ribu nelayan, pembudidaya perikanan, karyawan pabrik pengolahan ikan, dan para pedagang ikan menganggur; dan kehidupan nelayan serta masyarakat perikanan lainnya semakin sengsara.

Gelombang demonstrasi nelayan, pembudidaya, dan karyawan pabrik pengolahan ikan tak pelak merebak dimana-mana menuntut KKP memperbaiki kebijakannya. 

Presiden pun meresponse aspirasi masyarakat perikanan dengan menerbitkan Inpres No.7/2016 dan Keppres No.3/2017 tentang Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional, yang pada intinya menginstruksikan KKP dan Kementerian terkait untuk merevisi seluruh kebijakannya yang menghambat investasi dan usaha di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan serta perdagangan hasil perikanan.  

Sayangnya,  KKP tetap mempersulit izin kapal penangkap dan pengangkut ikan, pembagian bantuan kapal ikan dan alat tangkap pengganti cantrang sampai sekarang baru 30 persen dari target, kucuran kredit perbankan untuk nelayan tak kunjung tiba, industri pengolahan hasil perikanan tetap mati suri lantaran ketiadaan bahan baku, dan perikanan budidaya serta industri bioteknologi kelautan tidak mendapat perhatian memadai.

Minggu pertama Januari tahun ini gelombang demonstrasi nelayan, pembudidaya, dan karyawan pabrik pengolahan di sepanjang Pantura, Lampung, Sumatera Barat, dan wilayah lainnya pun meledak kembali menuntut Menteri KKP untuk mencabut larangan penggunaan alat tangkap cantrang, pemenuhan bahan baku utuk industri pengolahan perikanan, dan relaksasi peraturan budidaya dan perdagangan perikanan.

Akhirnya minggu lalu Menko Maritim, Wapres, dan Presiden angkat bicara dan menginstruksikan supaya Menteri KP lebih fokus untuk meningkatkan produksi, ekspor perikanan, dan kesejahteraan nelayan.  Jangan hanya bisa menenggelamkan kapal dan melarang cantrang. 

Beruntung, program pembangunan kelautan di bidang pariwisata bahari dan perhubungan laut cukup baik dan on the right rack.  

Dengan program Tol Lautnya, pemerintah telah berhasil merevitalisasi sejumlah pelabuhan, membangun pelabuhan baru seperti Kuala Tanjung dan Sorong, menambah dan memperbaiki rute pelayaran, menurunkan dwelling time secara signifikan di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan pelabuhan lainnya. 

Sehingga, pengangkutan barang dan penumpang antar pulau dalam wilayah NKRI, dan ekspor -- impor semakin lancar, cepat, dan murah. Disparitas harga sejumlah komoditas penting (seperti beras, minyak goreng, bahan bakar, dan semen) antar wilayah menurun drastis.  Artinya, kebijakan satu harga untuk komoditas utama di seluruh wilayah NKRI tidak lama lagi bakal terwujud.  

Dan, biaya logistik pun semakin murah, dari 27% PDB pada 2014 kini menjadi 22% PDB.  Hal ini tentu sangat membantu terhadap upaya peningkatan daya saing ekonomi nasional. 

Pembangunan pariwisata bahari juga on the track, dengan merevitalisasi sejumlah destinasi wisata bahari seperti Kepulauan Mentawai; Kepulauan Seribu, Tanjung Lesung, Pantai Kuta dan Sanur, Gili Meno-Air-Trawangan, Bunaken, Wakatobi, dan Raja Ampat.  Mengembangkan destinasi wisata bahari baru antara lain di Pulau Weh (Rubiah), Kepulauan Anambas, Togean, Bolaemo,  dan Taka Bone Rate.  

Meningkatkan promosi dan pemasaran di dalam negeri dan manca negara melalui CNN dan TV global lainnya dengan tagline "Wonderful Indonesia", pameran, dan upaya kreatif lainnya.  

Hasilnya, luar biasa.  Jumlah turis manca negara yang datang ke Indonesia untuk menikmati pariwisata bahari melonjak signifikan, dari hanya 2,5 juta orang pada 2014 menjadi 4 juta orang pada 2017.

Roadmap Pembangunan Kelautan dan Perikanan

Oleh karena itu,  pembangunan kelautan nasional mulai sekarang harus diluruskan, dari hanya sekedar proteksi lingkungan yang membabi-buta ke pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable maritime development).  

Suatu paradigma pembangunan kelautan untuk menghasilkan produk dan jasa (goods and services) bagi kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, lapangan kerja, dan daya saing sesuai dengan batas-batas kelestarian serta daya dukung lingkungan wilayah pesisir dan lautan. 

Pada tataran praksis, pembangunan kelautan berkelanjutan itu bisa diwujudkan dengan melakukan tiga program utama: (1) revitalisasi seluruh sektor dan unit bisnis kelautan yang ada, (2) mengembangkan sektor dan bisnis kelautan di wilayah baru (extensifikasi), dan (3) mengembangkan sektor dan bisnis kelautan yang baru. 

Ketiga program pembangunan ini harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) dari setiap sektor dan unit bisnis (usaha) kelautan.  Untuk itu, setiap unit bisnis kelautan harus memenuhi skala ekonomi, menggunakan teknologi mutakhir, menerapkan manajemen rantai suplai dari produksi sampai pemasaran secara terpadu, dan ramah lingkungan. 

Berdasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan dan bisnis tersebut, di sektor perikanan tangkap, larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik (cantrang dan lainnya) harus diubah menjadi pengendalian jumlah kapal dan cara pengoperasiannya di setiap wilayah perairan.  

Kapal-kapal ikan buatan luar negeri (ex - asing) yang terbukti sudah dimiliki oleh pengusaha nasional dan tidak bersalah harus segera diizinkan kembali beroperasi. Alih muatan ikan di tengah laut (transhipment) sepanjang ikannya didaratkan dan diproses di Indonesia harus segera dihidupkan kembali.  

Kapal-kapal ikan berukuran 200-400 GT segera diizinkan kembali beroperasi untuk menangkap ikan di perairan laut lepas, laut dalam, wilayah laut perbatasan, dan ZEEI yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal-kapal ikan asing.  Di wilayah-wilayah perairan laut yang sudah overfishing (kelebihan tangkap), seperti Selat Malaka, Utara Jawa,  dan Selatan Sulawesi, jumlah kapal ikan (fishing effort) nya harus dikurangi sampai potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) nya.  

Sebaliknya, perlu penambahan kapal ikan di wilayah-wilayah perairan yang masih underfishing, seperti Barat Sumatera, Selatan Jawa, Laut Natuna, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan ZEEI.  Secara nasional, pada 2016 produksi perikanan tangkap dari laut sebesar 6,6 juta ton atau sekitar 53% dari MSY (12,5 juta ton/tahun). Supaya usaha perikanan tangkap bisa menguntungkan secara berkelanjutan, laju penangkapan harus tidak melebihi 80% MSY. 

Peningkatan volume produksi lebih leluasa di sektor perikanan budidaya, khususnya budidaya di perairan laut (mariculture) dan perairan payau (tambak).  Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur (perikanan budidaya) terbesar di dunia, 100 juta ton/tahun dengan nilai ekonomi sekitar 200 milyar dolar AS/tahun.  Tahun lalu total produksi akuakultur 15,7 juta ton atau sekitar 16% total potensi produksi.  Itupun 10 juta ton berupa rumput laut basah.  

Sebagai ilustrasi betapa raksasanya potensi ekonomi akuakultur adalah usaha budidaya udang Vannamei (udang putih-manis).  Jika kita mampu mengusahakan 500.000 ha budidaya tambak udang Vannamei intensif (17% total potensi luas tambak) dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun, maka bisa diproduksi 20 juta ton/tahun.  

Dengan harga on-farm sekarang rata-rata 5 dolar AS/kg untuk ukuran udang 50 ekor/kg, maka dihasilkan 100 milyar dolar AS/tahun. Bila diekspor setengahnya saja, kita akan meraih devisa 50 milyar dolar AS/tahun.  Bandingkan dengan nilai ekspor seluruh komoditas dan produk Indonesia tahun lalu hanya sebesar 3,7 milyar dolar AS.  

Lapangan kerja yang bisa dibangkitkan dari 100.000 ha tambak udang intensif itu sekitar 400.000 orang.  Belum lagi tenaga kerja yang dibutuhkan di industri hulu (infrastruktur dan sarana produksi) dan industri hilir (processing and packaging) nya.  Padahal, masih banyak komoditas akuakultur dengan harga jual tinggi lainnya yang cocok dibudidayakan di perairan payau (tambak), seperti udang windu, ikan bandeng, kerapu lumpur, nila salin, kepiting, dan rumput laut jenis Gracillaria spp.  

Ada sekitar 24 juta perairan laut dangkal yang potensial untuk usaha budidaya komoditas bernilai ekonomi tinggi termasuk kerapu bebek, kerapu macan, kakap putih, bawal bintang, baronang, lobster, abalone, kerang mutiara, dan berbagai jenis rumput laut penghasil karagenan serta senyawa alamiah (natural products) lainnya.  

Sampai sekarang kita baru mengusahakan sekitar 200.000 ha perairan laut dangkal alias sekitar 8% dari potensinya.  Belum lagi usaha budidaya perikanan di laut lepas (offshore aquaculture), dan di ekosistem perairan tawar seperti danau, bendungan, sungai, kolam, sawah (minapadi), akuarium, dan media lainnya.

Industri pengolahan hasil perikanan harus terus diperkuat dan dikembangkan melalui peningkatan kualitas produk, pengembangan produk olahan baru (product development), dan sertifikasi produk sesuai dengan persyaratan pasar domestik maupun global.  

Sesuai dengan kapasitas pengolahannya, setiap pabrik harus bermitra dengan produsen komoditas perikanan, baik nelayan maupun pembudidaya secara saling menguntungkan.  Ini sangat penting untuk menjamin pasar ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya.  

Pada saat yang sama, kontinuitas bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan hasil perikanan juga terjamin. Pasar domestik maupun ekspor untuk komoditas dan produk perikanan harus terus dikembangkan. Demikian juga halnya dengan sistem transportasi dan logistik perikanan nasional.

Industri bioteknologi kelautan juga bisa kita kembangkan sebagai sumber pertumbuhan baru.  Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Korea (2002), potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi dari industri teknologi informasi.  

Industri biotekonologi kelautan meliputi 3 cabang industri: (1) ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive substances) dari biota laut sebagai bahan dasar untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya; (2) rekayasa genetik (genetic engineering) untuk menghasilkan bibit dan benih unggul yang tahan terhadap serangan penyakit dan hama, cepat tumbuh, dan sifat-sifat unggul lainnya; dan (3) bioremediasi dengan cara menghasilkan organisme mikro untuk melumat dan menetralisir lingkungan yang terkena pencemaran.  

Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi industri bioteknologi kelautan terbesar di dunia.  Sayang, sampai sekarang hampir semua produk farmasi dan kosmetik yang berasal dari biota laut, seperti squalence, minyak ikan, omega-3, dan viagra itu kita impor.

Untuk menjalankan agenda pembangunan kelautan dan perikanan diatas, dalam jangka pendek kita tingkatkan kualitas dan kapasitas SDM kelautan yang ada melalui pelatihan dan magang di berbagai SMK dan Politeknik kelautan, BLK (Balai Latihan Kerja), dan sejumlah perusahaan industri kelautan (nasional dan multinasional) yang tersebar di seluruh wilayah NKRI.   

Dalam jangka panjang, kita perkuat dan kembangkan sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, dan R & D (litbang) untuk menyiapkan SDM kelautan berkualitas dan menghasilkan inovasi teknologi yang terkait dengan  sektor kelautan dan perikanan.

Roadmap pembangunan kelautan dan perikanan  ini hanya dapat terlaksana, bila didukung oleh kredit perbankan dengan suku bunga dan persyaratan pinjam yang relatif rendah dan lunak sebagaimana di negara-negara kelautan lainnya.  

Kini saatnya, pemerintah mengeluarkan skim kredit perbankan khusus untuk sektor-sektor ekonomi kelautan, seperti yang dilakukan kepada perkebunan dan industri sawit sejak Orba sampai sekarang yang terbukti sukses.  Selain itu, iklim investasi, kemudahan berbisnis, kebijakan fiskal dan moneter, dan kebijakan politik-ekonomi pun harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan di seluruh wilayah Nusantara.

Dengan mengimplementasikan Roadmap Pembangunan Kelautan dan Perikanan diatas secara konsisten dan berkesinambungan, niscaya pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan akan mencapai 7 persen, dan pada 2030 Indonesia bakal menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat sebagai Poros Maritim Dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun