Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pembangunan Kelautan Bukan Sekadar Menenggelamkan Kapal

19 Januari 2018   17:14 Diperbarui: 20 Januari 2018   09:33 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Pada tataran praksis, pembangunan kelautan berkelanjutan itu bisa diwujudkan dengan melakukan tiga program utama: (1) revitalisasi seluruh sektor dan unit bisnis kelautan yang ada, (2) mengembangkan sektor dan bisnis kelautan di wilayah baru (extensifikasi), dan (3) mengembangkan sektor dan bisnis kelautan yang baru. 

Ketiga program pembangunan ini harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) dari setiap sektor dan unit bisnis (usaha) kelautan.  Untuk itu, setiap unit bisnis kelautan harus memenuhi skala ekonomi, menggunakan teknologi mutakhir, menerapkan manajemen rantai suplai dari produksi sampai pemasaran secara terpadu, dan ramah lingkungan. 

Berdasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan dan bisnis tersebut, di sektor perikanan tangkap, larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik (cantrang dan lainnya) harus diubah menjadi pengendalian jumlah kapal dan cara pengoperasiannya di setiap wilayah perairan.  

Kapal-kapal ikan buatan luar negeri (ex - asing) yang terbukti sudah dimiliki oleh pengusaha nasional dan tidak bersalah harus segera diizinkan kembali beroperasi. Alih muatan ikan di tengah laut (transhipment) sepanjang ikannya didaratkan dan diproses di Indonesia harus segera dihidupkan kembali.  

Kapal-kapal ikan berukuran 200-400 GT segera diizinkan kembali beroperasi untuk menangkap ikan di perairan laut lepas, laut dalam, wilayah laut perbatasan, dan ZEEI yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal-kapal ikan asing.  Di wilayah-wilayah perairan laut yang sudah overfishing (kelebihan tangkap), seperti Selat Malaka, Utara Jawa,  dan Selatan Sulawesi, jumlah kapal ikan (fishing effort) nya harus dikurangi sampai potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) nya.  

Sebaliknya, perlu penambahan kapal ikan di wilayah-wilayah perairan yang masih underfishing, seperti Barat Sumatera, Selatan Jawa, Laut Natuna, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan ZEEI.  Secara nasional, pada 2016 produksi perikanan tangkap dari laut sebesar 6,6 juta ton atau sekitar 53% dari MSY (12,5 juta ton/tahun). Supaya usaha perikanan tangkap bisa menguntungkan secara berkelanjutan, laju penangkapan harus tidak melebihi 80% MSY. 

Peningkatan volume produksi lebih leluasa di sektor perikanan budidaya, khususnya budidaya di perairan laut (mariculture) dan perairan payau (tambak).  Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur (perikanan budidaya) terbesar di dunia, 100 juta ton/tahun dengan nilai ekonomi sekitar 200 milyar dolar AS/tahun.  Tahun lalu total produksi akuakultur 15,7 juta ton atau sekitar 16% total potensi produksi.  Itupun 10 juta ton berupa rumput laut basah.  

Sebagai ilustrasi betapa raksasanya potensi ekonomi akuakultur adalah usaha budidaya udang Vannamei (udang putih-manis).  Jika kita mampu mengusahakan 500.000 ha budidaya tambak udang Vannamei intensif (17% total potensi luas tambak) dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun, maka bisa diproduksi 20 juta ton/tahun.  

Dengan harga on-farm sekarang rata-rata 5 dolar AS/kg untuk ukuran udang 50 ekor/kg, maka dihasilkan 100 milyar dolar AS/tahun. Bila diekspor setengahnya saja, kita akan meraih devisa 50 milyar dolar AS/tahun.  Bandingkan dengan nilai ekspor seluruh komoditas dan produk Indonesia tahun lalu hanya sebesar 3,7 milyar dolar AS.  

Lapangan kerja yang bisa dibangkitkan dari 100.000 ha tambak udang intensif itu sekitar 400.000 orang.  Belum lagi tenaga kerja yang dibutuhkan di industri hulu (infrastruktur dan sarana produksi) dan industri hilir (processing and packaging) nya.  Padahal, masih banyak komoditas akuakultur dengan harga jual tinggi lainnya yang cocok dibudidayakan di perairan payau (tambak), seperti udang windu, ikan bandeng, kerapu lumpur, nila salin, kepiting, dan rumput laut jenis Gracillaria spp.  

Ada sekitar 24 juta perairan laut dangkal yang potensial untuk usaha budidaya komoditas bernilai ekonomi tinggi termasuk kerapu bebek, kerapu macan, kakap putih, bawal bintang, baronang, lobster, abalone, kerang mutiara, dan berbagai jenis rumput laut penghasil karagenan serta senyawa alamiah (natural products) lainnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun