Saat kuliah di Jogja, kebetulan mengontrak rumah tak jauh dari masjid.  Kadangkala ada pengumuman berita lelayu dari masjid,  yaitu berita tentang warga yang baru meninggal dunia.  Pengumuman dalam bahasa Jawa itu seringkali saya simak, terutama terkait usia warga yang wafat.
Beberapa kali mendengar pengumuman tersebut, rata-rata usia warga yang meninggal di atas 80 tahun, sedikit yang wafat di usia sekitar 70 tahunan. Â Mbah pemilik kontrakan saya sendiri waktu usianya sudah di atas 80 tahun dan masih suka menyibukkan dirinya dengan ayam-ayam peliharaannya setiap pagi dan petang di halaman rumahnya.
Rupanya sesuai dengan data dari BPS, bahwa provinsi yang paling tinggi angka harapan hidupnya adalah D.I Yogyakarta, dan relatif tidak berubah dalam satu dekade terakhir berdasarkan data tahun 2010.  Bahkan dari perbandingan usia lelaki dan perempuan pun, tetap saja Jogja di peringkat paling tinggi.
Sepertinya selain faktor kesehatan, panjang umur juga disebabkan pengaruh lingkungan.  Suasana sekitar yang secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi hati dan pikiran.  Secara keseluruhan suasana di Jogja itu nyenengke, di luar masalah klithih yang tidak jelas itu, atau urusan macet di kala akhir pekan. Â
Udara di Jogja itu enak dan lega, napas masih terjaga kalau berkeliling ke seluruh sudut provinsi. Â Selama di sana saya bersepeda seharian penuh sedari pagi sampai malam nyaris tak terasa lelah. Â Letih pasti ada tapi apa ya, napas tetap nyaman. Â Berbanding terbalik saat sepedaan di Kalimantan yang cuacanya cenderung panas dan rasanya lapisan udara lebih tipis sesudah di atas jam 10 pagi. Â Lebih-lebih sekarang saat hutan sebagai penjaga iklim mikro sudah jauh menyusut usai dibabat habis-habisan saat HPH menjamur di masa orde baru.
Pola hidup juga sangat mempengaruhi, beberapa kawan akrab yang saya kenal, rata-rata hidupnya sederhana sekali, tak peduli mereka termasuk kaya atau biasa-biasa saja kalau diukur dengan jumlah harta. Â Rata-rata pula mereka memiliki emosi yang terjaga, 7 tahun tinggal di Jogja belum pernah saya melihat kawan-kawan saya marah-marah, emosi apalagi sampai murka. Â Dalam kondisi bagaimanapun kesabaran mereka dalam menghadapi masalah patut diacungi jempol.
Amati saja saat di jalan raya, tidak ada yang membunyikan klakson secara brutal di perempatan, tak ada yang berusaha nyempil dan menyalip paksa saat lampu merah, di jalanan pun semacet apapun tak ada emosi yang diumbar.  Ketenangan ada di pojok kampung sampai jalan raya, lho.  Hal tersebut yang membuat saya betah selama hidup di sana.
Paradoks yang terjadi di sana adalah betapa di daerah yang berdasarkan data tahun 2021 memiliki besaran UMR atau upah minimum regionalnya paling rendah se Indonesia, justru angka harapan hidupnya paling tinggi. Â Itu artinya harta dan penghasilan bukanlah segalanya.
Menikmati hidup sebagaimana apa adanya, tidak neko-neko, dan menjaga emosi, sepertinya adalah rahasia warga Jogja terkait panjang umur hidup mereka. Â Jadi, kalau ingin membuktikan betapa terasa lambat dan tenangnya alur hidup di Jogja, jauh dari segala ketergesa-gesaan seperti di kota besar. Â Coba saja amati kehidupan mereka, minimal seminggu hidup di tengah masyarakat, maka apa yang saya tulis ini pasti akan terbukti.
Makanya tak heran jika ada jargon bahwa Jogja berhati mantan, eh maaf maksudnya Jogja berhati nyaman.  Hati yang lapang membuat usia pun panjang.