Beberapa waktu yang lalu saya menamatkan salah satu serial dari negeri Skandinavia yang berjudul "The Secret We Keep". Kisah ini sepintas seperti sebuah series pengungkapan kasus pembunuhan yang sering ditayangkan di Netflix. Namun perlahan, episode demi episode mulai membuka layer-layer kelam para pemeran di dalamnya. Kasus pembunuhan yang terjadi pada salah satu ART rumah tangga di kediaman pemilik rumah seorang pejabat penting di kota tersebut yang akhirnya mengarah pada rangkaian diskriminasi etnis di dalam ruang privat.
Awalnya Au Pair ini saya pikir memiliki fungsi dan peran seperti ART di Indonesia. Namun dialog demi dialog salah satu au pair dengan "majikan" membuat saya mencari lebih jauh apa itu Au Pair. Pada laman Program Au-pair di Jerman saya akhirnya mengetahui bahwa ART dan Au Pair itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda sangat jauh. Artikel tersebut menjelaskan bahwa Au Pair merupakan sebuah program yang ditujukan untuk anak muda untuk mengenal bahasa dan budaya dari negara asing. Durasi pertukaran budaya ini antara enam hingga dua belas bulan. Manfaatnya sangat jelas, ketika program ini berakhir maka peserta program dapat melanjutkan karirnya di negara tersebut. Konsep ini tidak hanya menarik tetapi juga terlihat sangat menjunjung tinggi kesetaraan hak dan kewajiban antara peserta asuh dan keluarga asuh.
Lalu mengapa saya terkecoh dengan aktivitas au pair di series ini yang tadinya saya mengira para au pair dari Filipina ini adalah ART?
1. Antara Au Pair dan ART: Konsep yang Dibelokkan
Pada drama ini awalnya saya menyaksikan sebuah adegan antara majikan dan ART yang sangat bermartabat. Misal, si majikan memasak dan makan bersama tanpa ada sekat dengan ARTnya yang ternyata seorang Au Pair. Kemudian, anak si majikan yang sangat dekat dengan ART. Serta kebebasan lain yang menunjukkan ART ini tidak hanya mengerjakan tugas domestik melainkan juga bagian dari rumah tersebut. Namun seiring perkembangan kasus yang menyebabkan meninggalnya seorang Au Pair menyebabkan layer-layer sikap bermartabat tersebut berubah menjadi aktivitas rasis yang cukup intens dalam percakapan antara pengasuh aur pair. Salah satu dialog yang cukup membuat saya terhenyak adalah ungkapan rasisme dari rekan pengasuh yang saling melempar tudingan dalam balutan komedi. Tudingan tersebut seolah ingin menyudutakan rekannya yang selama ini terkesan paling superior, dengan menudingnya meniduri au pairnya sendiri. Tudingan tersebut lantas dibalas dengan ungkapan rasis bahwasanya dia tidak berminat dengan vagina sipit. Saya terkejut dengan dialog tersebut, dan mencoba mencerna apakah ini memang sebuah kritikan atas realita penyalahgunaan peran dan gungsi au pair di negara-negara maju Eropa salah satunya Denmark (lokus di seris tersebut).
Adengan lainnya adalah keleluasaan anak pengasuh yang sudah berusia beranjak remaja untuk tidur di kamar Au Pairnya, bahkan di salah satu rumah pengasuh, si anak remaja memasang kamera pada boneka di atas lemari Au Pairnya. Video tersebut kemudian dibagikan di aplikasi chat dan video pornografi sekelompok remaja tersebut. Terlihat jelas bahwa aktivitas kesetaraan antara pengasuh dan aur pair ini menyebabkan adanya celah perbuatan semena-mena salah satu anggota keluarga untuk memasuki ruang privat au pair. Kemudian saya menduga, pengasuh ini sebenarnya dari awal tidak benar-benar melakukan program pertukaran budaya melainkan mendapatkan au pair dengan jalur ilegal. Alasannya karena ketidakpahaman salah satu anggota keluarga tentang peran au pair yang sebenarnya, sehingga terjadi peluang untuk melakukan perbuatan asusila oleh seorang remaja tanggung pada au pair yang usianya lebih tua dari si remaja.
Ruang Privat atau Ruang Kekuasaan?
Saya mencoba mencari justifikasi yang tepat dan mungkin punya landasan teori sosial bahwa kamar Au Pair ini tidak pernah benar-benar berada di ruangan yang setara dengan pengasuhnya. PRT beberapa negara sering diperlakukan sebagai “penghuni kelas dua” di rumah majikan: tidur di ruang sempit (loteng/basement/gudang), tidak bebas berkomunikasi dengan keluarga, jam kerja panjang tanpa batas. Ruang privat majikan jadi arena kontrol total. Sementara Au Pair di series ini digambarkan berada di basement dengan beberapa anak tangga dan cenderung seperti ruang penjara, bukan kamar, meskipun dilengkapi dengan perabotan. Posisi kamar ini juga menunjukkan ke sang anak (pelaku asusila) bahwa peran Au Pair disini memang hanya sebatas mengurus urusan domestik dan tidak punya nilai kesetaraan yang sama dengan anggota keluarga mereka. Meskipun gaya komunikasi antara pengasuh dan au pairnya cenderung informal dan tanpa gerakan/bahasa tubuh yang menunjukkan sebuah penghormatan berlebihan dengan membungkukkan badan misalnya.
Makna lainnya adalah, ruang privat yang berada di basement tersebut akhirnya berubah menjadi ruang bebas bagi si remaja melakukan perbuatan asusila tanpa diketahui oleh orang tuanya. Dia bebas menyaksikan aktivitas privat seorang wanita dan dibagikan ke dalam ruang obrolan yang ditonton banyak remaja. Hingga akhirnya berawal dari kebebasan mengakses aktivitas privat melalui kamera tersembunyi hingga berujung pada tindakan pemerkosaan dan pembunuhan pada seorang au pair.
Remaja dan Kekerasan Seksual Digital dalam Ruang Sunyi