Mohon tunggu...
ratih puspa
ratih puspa Mohon Tunggu... Bankir - swasta

suka jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radikalisme dan Sel Tidur Semu

15 Desember 2023   18:54 Diperbarui: 15 Desember 2023   19:04 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama satu dekade ini kita mungkin mulai jarang mendengar berita tentang penngeboman yang dilakukan menjelang Natal dan Tahun Baru. Padahal dua dekade sebelumnya atau sejak awal 200an, tiap tahun kita sering mendengar ancaman bom, menjelang atau pada saat perayaan Natal.

Yang fenomenal adalah kisah Riyanto, seorang anggota Banser NU yang sedang menjaga gereja Pantekota Eben Haezer Mojokerto. Hari-hari  menjelang Natal itu  (tahun 2000) kebetulan adalah bulan Ramadhan, tapi mereka dengan setia melakukan tugasnya. Saat menjaga, gereja itulah, seorang jemaat melihat sebuah bungkusan dekat pinyu dan melaporkannya pada banser. Segera setelah itu, Riyanto mengambilnya, memeluknya dan sembari berlari keluar. Saat berlari itulah bom meledak dan Riyanto tidak sempat melepaskannya.

Setelah itu ada beberapa bom besar di tanah air yang meledak menjelang Natal dan Tahun Baru.  Selain bom Bali yang fenomenal itu, yang meski tidak terjadi saat Natal dan Tahun Baru, namun melibatkan para turis asing dimana Amrozi dkk  menganggapnya sebagai kafir yang harus dibunuh. Saat itu tidak hanya turis mancanegara saja yang tewas tetapi juga para penduduk lokal yang bekerja di cafe itu.

Lalu kita mungkin ingat bom di Makassar yang terjadi menjelang Natal dan bom Natal di sekitar awal 2000 di Gereja Katolik di Jatinegara. Dan beberapa kisah pengeboman yang lain.

Bom-bom yang terjadi menjelang Natal ini memang terjadi pada dua dekade lalu, lalu seakan mereda pada dekade kemarin (2011-2020). Meski kita harus menghadapi bom Surabaya yang menurut saya sangat fenomenal karena melibatkan satu keluarga sebagai pelaku pengeboman tiga gereja di wilayah Surabaya.

Masa landai tahun 2011 -2020, seakan menunjukkan para radikalis atau kaum terorris tiarap padahal tidak seperti itu, atau sering diistilahkan sebagai sel tidur. Mereka sejatinya tidak tidur, karena mereka terus menerus bergerak. Hanya saja mereka menyesuaikan dengan kondisi internal dan eksternal yang terjadi disekitarnya. Seperti yang terjadi di Surabaya adalah kejadian yang sangat mengagetkan karena selama ini Surabaya dikenal sebagai kota yang egaliter. Artinya di tengah suasana kota yang menyenangkan dan menggairahkan, masih ada saja anggota masyarakat yang bertindak radikal. Ini menunjukkan bahwa sel sel itu tidak tidur. Mereka hanya tidur secara semu saja.

Karena itu penguatan kebangsaan harus kita lakukan sedini mungkin. Dengan memperkuat penguatan kebangsaan kita bisa mendeteksi dengan cepat sel-sel tidur radikalisme yang akan bangkit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun