Pagi, bahkan terlalu dini untuk membuka sebuah laptop dengan niat menulis beberapa lembar cerita yang telah begitu banyak membuat pikiran menjadi kacau. Ku akui tidur yang hanya beberapa jam di malam hari tadi menyisihkan pertanyaan-pertanyaan terhadap mimpi yang sungguh aneh. Namun urung ku ceritakan kepada semesta, biarlah mimpi itu berlalu lalang di dalam pikiran, risih sekali dibuatnya.
Beberapa hari yang lewat aku sempat membantu bantu dalam gotong royong sanak saudara yang akan mengadakan pesta, ketika mengambil waktu istirahat disediakanlah beberapa bungkus kopi, teh dan gula. Hanya tinggal mengatur takaran dan menyeduhnya saja, itu terserah selera kita masing-masing.Â
Aku dan saudara sekampung yang duduk bertiga memilih untuk membuat kopi, mereka sangat heran dengan seleraku, takaran gula yang sangat sedikit. Mereka menganggap  gila dan mengerinyitkan dahi mereka ketika melihat takaran kopi yang ku tuangkan, ya maklum, aku sendiri penyuka kopi pahit tetapi masih menaruh sedikit gula, walaupun rasa manis tidak terasa sama sekali.
Bagi saudaraku ini, kopi pahit merupakan hal aneh, pernah salah satu dari mereka tidak sengaja mencoba kopi yang telah aku seduh, melihat ekspresi wajah mereka ketika menyeruput kopi pahit meembuat aku  terpingkal-pingkal. Ada filosofi tersendiri bagi mereka tentang kopi, karena mereka seorang pekerja keras jadi mereka biasa menaruh banyak gula di dalam kopi, bagi mereka bagaimana perseteruan antara gula dan kopi dalam sebuah gelas, bagaimana kopi mengakuisisi sebuah gelas dan ingin diakui oleh gula. Begitupun sebaliknya gula ingin diakui dengan pengaruh rasa manisnya lah bahwa segelas kopi ini bisa layak untuk diminum.
Sambil mendengar penjelasan mereka tentang keseharian dalam  penyajian kopi, aku  manggut-manggut sendiri, boleh juga nih melihat kopi dari perspektif lain. Ada juga pernah ku  temukan lain hal, pagi itu setelah menumpahkan tulisan-tulisan pada lembar kerja laptop, lapar pun menghampiri. Cuci muka, menepuk-nepuk ringan pipi  dan berganti pakaian.Â
Mencari seonggok sarapan agar terpenuhi kebutuhan fisik, ketika itu aku duduk di kedai lontong Buk Mur, aku sendiri langganan di sini, bahkan yang hebatnya lagi tidak pernah absen untuk nangkring di sini ketimbang absen di kampus. Buk Mur sendiri baik, dan mengerti tentang kepribadianku yang tidak terlalu banyak bicara, ditambah lagi Buk Mur juga memiliki seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sesekali anak perempuan Buk Mur membantu membuatkan kopi dan mengantarkan kepadaku. Di momen seperti inilah aku dapat pencerahan dari sesosok gadis belia. Tetapi bukan ini momen yang ingin ku ceritakan. Hehehe.
Setiap pagi nangkring di kedai Buk Mur, ada juga setiap pagi seorang ibuk-ibuk yang selalu memesan setengan kopi coffemix. Setiap pagi, itu merupakan rutinitas wajib si Ibuk tersebut. Ibuk tersebut mengaku jikalau tak minum coffemix dalam sehari kepala jadi sakit, berdenyut-denyut bahkan lemas. Aku mengerti kecanduan seperti ini, terkadang juga aku sendiri mengalami.Â
Pernah sempat rekomendasikan kepada ibuk tersebut untuk mencoba kopi hitam, tapi ibuk mengelak, pahit teramat pekat  dan tidak enak kata si Ibuk tersebut. Coffemix manis karena tidak hanya ada campuran gula, namun juga tambahan krimer dan rasa kopi nya lembut.
Keesokan harinya disela-sela tidak ada jam kuliah aku lepaskan diri untuk nangkring di kantin, sendiri. Karena boleh dibilang aku sendiri adalah mahasiswa yang kelewat batas alias sudah dua digit semester. Separoh dari kawan-kawan sudah wisuda, sudah merantau bahkan telah memiliki anak.Â
Setelah aku  menyelesaikan makan siang, aku masih duduk sembari menunggu waktu ashar, merogoh saku untuk memainkan gawai, melihat notifikasi sosial media yang telah menjadi keseharian. Tak lama setelah itu datanglah Dian, seorang gadis yang sejurusan namun dua tahun dibawah ku. Dian sering menghampiriku kala sendiri, ketika didepan kelas maupun di dalam kelas, tapi tidak ketika di kantin, ini beda ceritanya.Â
"Ngapain bang?" tanya Dian singkat.Â
"ini baru selesai makan, duduk bentar nungguin waktu ashar," saya membalas.
"Oo... Berarti masih ada waktu agak lama ya, saya mesan kopi dulu," sahutnya.Â
Sambil menunjukkan kepalan tangan dengan jempol yang mengacung aku dengan spontan mengatakan ok. Baru kali ini juga aku dihadapkan dengan seorang gadis yang blak-blakan memesan kopi hitam di depan seorang pria. Aku memperhatikannya ketika mengaduk, menyentuh gelas dan menyeruput kopi, sesekali dia menyelimuti gelas dengan tangannya. Â Dia seperti mendalami sebuah momen, tetapi bukan itu maksudnya, bukan sok sok pencinta kopi. Setelah aku bertanya-tanya dan berbagi cerita, barulah aku pahami kopi baginya seperti pil rindu.Â
"Tidak addict, sesekali aja sih Bang, kalau memang benar-benar butuh, itupun juga kalau lagi sendiri, rasanya itu seperti mengingat hal-hal yang telah lampau, rindu barang  kali" sedikit tawa dia selipkan di ujung pernyataannya.Â
Namun urung untuk aku tanyakan lebih dalam, rindu seperti apa yang ingin ia selami.
Aku jelaskan juga kepada Dian yang sepertinya sedari tadi mengharapkan pernyataan kopi dan pengaruhnya terhadap hidupku yang semrawut ini.
"Kopi lebih seperti boosting idea, contohnya seperti orang-orang hyperaktif yang tidak bisa mengontrol dirinya, begitupun juga dengan ide, setelah kopi diseruput ide-ide akan mencuat, bahan pikiran pun akan berlari estafet di dalam kepala, opini, imajinasi, konsep desain bahkan aksara aksara, aku tumpahkan semua di dalam lembar kerja laptopku," agak sedikit berbisik aku sampaikan kepadanya.Â
Dia seperti terkagum-kagum sambil membulatkan mulutnya seolah berkata wow, dengan suara yang lirih, matanya berbinar beradu pandang dengan mataku. Seketika itu juga dia mengubah ekspresi wajahnya, dia  tertawa tak tertahankan.Â
"Abang memang kebanyakan gaya, kuliah saja tidak kelar, ide-ide segala," balasnya dengan nada yang agak berteriak.Â
Sontak membuat orang-orang dalam ruangan kantin melongo dan menatap ke arah kami. Tentu saja aku malu, garuk-garuk kepala sambil memasang ekspresi senyum palsu untuk meredakan suasana yamg puak seketika. Tak lama setelah itu kami keluar dari kantin, Dian menghampiri teman-temannya, aku menuju masjid untuk melaksanakan shalat ashar.
Di suatu pagi di kedai Buk Mur juga pernah aku temukan hal yang sangat nyeleneh dan bisa dibilang absurd. Apa pasal, seorang pemuda dengan kopi hitamnya yang bersedotan. Setelah aku coba hampiri ternyata tidak hanya itu, kopi ini dingin memakai batu es. Awalnya aku ragu apa yang diminumnya, Buk Mur kan tidak menyediakan coca-cola dan saya sangat tahu apa-apa saja menu  yang disediakan Buk Mur. Pemuda itu mencoba untuk beramah tamah dengan basa-basinya.
"Kopi bang?" agak berteriak dan sambil menunjuk minuman hitamnya tersebut.Â
Lantas saja aku mengerinyitkan dahi, menghenyakkan kepala untuk memperhatikan minuman konyol si pemuda tersebut. Aku kenal pemuda ini namun tidak terlalu akrab, seorang mahasiswa baru jurusan Psikologi, penghuni kost-kostan sebelah, namanya Yudha Rangga. Si Rangga dengan seleranya yang abstrak.
(24/01/2018)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI