Pagerwesi adalah saat yang tepat untuk mendekatkan Atman kepada Brahman, yakni jiwa individu dengan Tuhan sebagai Guru Sejati. Pengetahuan sejati itulah yang menjadi "pagar besi" melindungi kehidupan manusia di dunia.
Momen ini mengajarkan umat Hindu untuk memuja Tuhan dengan sepenuh hati. Memuja bukan hanya sekadar melakukan persembahan, melainkan juga menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji, dan memusatkan kesadaran pada-Nya. Dengan menyerahkan segala kebodohan batin, manusia berharap Tuhan berkenan mengisinya dengan cahaya pengetahuan dan kesucian.
Seperti dijelaskan oleh Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, makna filosofis Pagerwesi adalah membangun benteng spiritual yang kuat agar manusia terlindungi dari godaan duniawi. Di tengah gempuran modernisasi, materialisme, dan godaan digital, pesan ini terasa sangat relevan. Pagerwesi mengingatkan bahwa benteng yang paling kokoh bukanlah fisik, melainkan iman, pengetahuan, dan kebijaksanaan.
Keunikan Perayaan Pagerwesi di Buleleng
Di berbagai daerah di Bali, Pagerwesi memang dirayakan, namun Kabupaten Buleleng di Bali Utara memiliki kekhasan yang membuatnya berbeda. Di Singaraja, perayaan Pagerwesi begitu meriah, bahkan kerap disebut sebagai "Galungannya orang Buleleng". Sebutan ini tidak berlebihan, sebab kemeriahan, kebersamaan, dan nuansa spiritual Pagerwesi di Buleleng sering kali disejajarkan dengan Galungan dan Kuningan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan terus dipelihara sebagai bagian dari identitas kultural masyarakat setempat.
Buleleng memiliki tradisi unik yang membuat Pagerwesi terasa lebih hidup dibanding daerah lain. Perayaan biasanya dimulai dengan sembahyang di sanggah (tempat suci keluarga), kemudian berlanjut ke pura desa, hingga puncaknya di Pura Jagatnatha Singaraja.
Masyarakat hadir berbondong-bondong, membawa sesajen, menghaturkan canang sari, serta memanjatkan doa dalam suasana penuh kekhidmatan. Di sisi lain, kemeriahan juga tampak dari jalanan yang dipenuhi aktivitas persembahan, bau dupa yang semerbak, serta dentingan genta pemangku yang terus mengiringi prosesi.
Karena kemeriahan inilah, Pagerwesi di Buleleng dikenal luas sebagai "Galungannya orang Buleleng". Hal ini membuktikan bagaimana masyarakat setempat menempatkan Pagerwesi sebagai salah satu puncak kegiatan spiritual mereka, sejajar dengan Galungan dan Kuningan.
Sejarah dan Latar Belakang Kultural
Secara historis, Pagerwesi memiliki akar kuat sejak masa kerajaan Hindu di Nusantara. Ajaran Siwa Siddhanta yang berkembang kala itu menempatkan Siwa Guru sebagai sumber kebijaksanaan tertinggi. Perayaan Pagerwesi menjadi sarana untuk memuliakan beliau dalam wujud Sang Hyang Pramesti Guru.
Di Buleleng, sejarah panjang sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Bali Utara turut memperkaya tradisi ini. Pagerwesi menjadi bagian dari identitas masyarakat yang diwariskan lintas generasi. Tidak hanya dimaknai secara spiritual, Pagerwesi juga mengandung nilai kultural: membangun solidaritas, meneguhkan jati diri, dan memperkuat ikatan sosial antarwarga.