Mohon tunggu...
Fragman Senyap
Fragman Senyap Mohon Tunggu... Penulis

Halo, Fragman Senyap, seorang penikmat kata, pengamat kehidupan, dan penulis lepas yang percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Lahir dan besar di desa kecil, saya tumbuh bersama buku-buku, dialog diam dengan diri sendiri, dan keinginan untuk terus belajar dari kehidupan sehari-hari, sambil tetap menulis sebagai bentuk ekspresi diri dan ruang berbagi pemikiran. Topik yang saya angkat di Kompasiana cukup beragam—mulai dari catatan reflektif, opini sosial, hingga cerita ringan yang menyentuh sisi personal manusia. Saya percaya bahwa menulis bukan hanya soal mengungkapkan, tapi juga soal menyembuhkan. Mari bertukar pikiran, berbagi cerita, dan merayakan makna dari hal-hal kecil bersama. Salam hangat, Fragman

Selanjutnya

Tutup

Book

Kalau Tan Malaka Hidup, Mungkin Ia Akan Tertawa Melihat Demokrasi Kita

20 Agustus 2025   08:12 Diperbarui: 20 Agustus 2025   00:27 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

buku skenario alternatif jika tan malaka presiden pertama indonesia

Kalau Tan Malaka bangkit dari kuburnya hari ini, saya yakin ia tidak akan langsung pidato. Ia mungkin hanya duduk di warung kopi, memesan segelas kopi hitam pekat, lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala melihat berita di televisi: anggota dewan ribut soal uang makan, pejabat rebutan kursi, rakyat sibuk antre beras murah. Demokrasi Indonesia, 79 tahun setelah proklamasi, lebih mirip sinetron panjang tanpa akhir---aktor utamanya elit politik, penontonnya rakyat yang selalu jadi korban iklan.

Bayangkan, seorang tokoh yang pernah menulis buku Madilog, berdebat soal marxisme, dan mendengungkan "Merdeka 100%", tiba-tiba melihat demokrasi Indonesia abad ke-21. Apa yang akan ia lihat?
Pertama, demokrasi kita bukan lagi panggung ide. Ia berubah jadi pasar malam. Suara rakyat jadi tiket masuk yang bisa dibeli, dijual, bahkan digadaikan. Di jalanan, poster wajah politisi tersenyum dengan gigi putih hasil editan Photoshop, tapi di belakang layar mereka rebutan proyek, rebutan dana aspirasi, rebutan komisi. Rakyat? Paling banter dapat sembako lima kilo dan janji manis yang hanya bertahan sampai hujan pertama.

Tan Malaka dulu percaya, kemerdekaan sejati artinya buruh pegang pabrik, petani kuasai sawah, rakyat mengatur negaranya sendiri. Tapi sekarang, buruh masih demo setiap tahun dengan spanduk lusuh yang tak pernah didengar. Petani masih kelimpungan kalah bersaing dengan beras impor. Nelayan masih dipaksa tunduk pada kapal asing yang parkir seenaknya di laut kita. Negara lebih sibuk bikin aturan untuk menyenangkan investor daripada melindungi rakyatnya. Kalau melihat itu, mungkin Tan akan tertawa getir sambil berkata: "Lha, merdeka kok rasanya masih jadi jongos?"

Lucunya, demokrasi Indonesia hari ini dipuji-puji sebagai "yang terbesar ketiga di dunia." Tapi mari kita jujur: demokrasi kita ini mirip warung bakso abal-abal. Dari luar kelihatan megah: ada pemilu lima tahun sekali, ada partai banyak, ada kampanye seru. Tapi kalau dicicipi, kuahnya hambar, baksonya penuh tepung, dagingnya entah ada atau tidak. Demokrasi kita terlalu sibuk soal prosedur, lupa soal substansi. Kita memilih pemimpin, tapi tidak pernah memilih kebijakan. Kita memilih wajah, tapi tidak pernah bisa memilih isi otaknya. Hasilnya, rakyat sudah ikut pesta, tapi tetap pulang lapar.

Lebih lucu lagi, partai politik sekarang seperti toko kelontong keluarga. Ada ketua umum yang berkuasa puluhan tahun, ada anak, menantu, cucu, semua dapat jatah. Politik kita seakan-akan cuma panggung arisan keluarga besar. Demokrasi berubah jadi dinasti. Kalau Tan Malaka melihatnya, ia mungkin akan menepuk jidat dan berkata, "Dulu kita lawan feodalisme, kok sekarang feodalisme justru lahir dari kotak suara?"

Satir paling pahit tentang demokrasi kita adalah: semakin sering rakyat bicara, semakin sedikit yang didengar. Di media sosial, rakyat ribut tiap hari, trending topic gonta-ganti. Tapi pemerintah tetap jalan dengan agenda mereka sendiri, seolah-olah rakyat cuma penonton konser gratis. Demokrasi kita tidak butuh rakyat yang kritis. Demokrasi kita hanya butuh rakyat yang sabar antre, datang ke TPS, lalu pulang dengan tinta di jari sebagai bukti sudah "berpartisipasi." Selebihnya? Silakan kembali ke kehidupan masing-masing, jangan ganggu elite sedang rapat bagi-bagi kue.

Mari bandingkan dengan apa yang dibayangkan Tan Malaka. Ia menginginkan rakyat jadi pemilik sah negeri ini. Tapi sekarang? Rakyat hanya pemilik sah KTP. Kedaulatan rakyat hanya berhenti di bilik suara. Setelah itu, semua urusan diserahkan ke partai politik yang sibuk lobi di hotel bintang lima. Demokrasi kita hari ini lebih mirip karaoke room: rakyat boleh nyanyi sebentar, tapi lagu, musik, dan harga ditentukan manajemen.

Bahkan ironinya, demokrasi kita sekarang sering dipakai sebagai tameng untuk menutup mulut rakyat. Setiap ada kritik, jawabannya simpel: "Kan kita negara demokrasi, jadi semua sah-sah saja." Demokrasi berubah jadi alibi, bukan praktik. Ia jadi jargon kosong yang dipajang di baliho, tapi hilang di ruang kebijakan. Kalau Tan Malaka masih hidup, ia mungkin akan berkata: "Demokrasi kalian ini bukan demokrasi, tapi dekorasi."

Mari kita lihat juga uang dalam demokrasi kita. Konon, politik adalah ruang ide, tempat visi dan gagasan dipertarungkan. Tapi kenyataan di Indonesia, ide hanyalah hiasan. Yang menentukan pemenang adalah isi tas dan rekening. Partai politik berubah jadi biro jasa: siapa punya modal besar, dia dapat nomor urut aman, dapat kursi aman, dapat panggung aman. Rakyat miskin dengan gagasan cemerlang? Maaf, Anda tidak memenuhi syarat administrasi. Demokrasi kita terlalu mahal untuk rakyat jelata. Kalau Tan Malaka melihatnya, mungkin ia akan tertawa sambil menulis catatan baru: Madilog edisi GoPay.

Tapi mungkin yang paling bikin Tan Malaka ngakak sekaligus menangis adalah bagaimana rakyat sendiri ikut menikmati drama demokrasi ini. Rakyat tahu mereka ditipu, tapi masih rela dijual murah. Rakyat tahu janji politik hanya debu, tapi tetap berharap tiap lima tahun sekali seperti menunggu undian arisan. Demokrasi kita jadi hiburan massal. Kampanye dianggap festival musik. Pemilu dianggap pesta rakyat. Padahal, setelah pesta usai, yang kenyang tetap para elit. Rakyat cuma dapat plastik bekas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun