Mohon tunggu...
Rangga Agnibaya
Rangga Agnibaya Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Bagi Ilmu

Membaca, menulis, menonton film, dan sepak bola: Laki-laki.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Waktu Senggang Sebagai Strategi Kebudayaan: Refleksi Atas Buku "Kebudayaan dan Waktu Senggang" Karya Fransiskus Simon

3 April 2024   09:12 Diperbarui: 3 April 2024   09:35 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara garis besar kita dapat menemukan sebuah keserupaan antara pandangan Karl Marx dan Joseph Pieper tentang aktivitas kerja. Keduanya memposisikan kerja sebagai aktivitas yang secara eksplisit maupun implisit mengisysratkan eksistensi manusia. Dengan bekerja manusia 'mengada'; mewartakan 'kediriannya' yang khas dan unik pada khalayak. Di sisi yang lain, kerja bagi Marx dan Pieper juga merupakan aktivitas 'bermakna dalam', dan bukan merupakan aktivitas khas hewani yang hanya dipandu oleh insting bertahan hidup. Maka, bekerja merupakan aktivitas sadar manusia, apa pun yang dikerjakan. Aktivitas sadar tersebut memiliki makna mendalam sekaligus membentuk identitas biografis dan eksistensial manusia.

Berangkat dari pandangannya tentang aktivitas bekerja yang lekat dengan proses dehumanisasi, jauh dari proyek eksistensial manusia, dan bermakna dangkal, maka Pieper menawarkan konsep waktu senggang sebagai wahana untuk mengembalikan eksistensi serta makna kemanusiaan ke posisi mulanya.

Waktu Senggang ala Joseph Pieper

Untuk memahami arti 'waktu senggang' dalam perspektif Joseph Pieper, sekaligus menghindarkan dari kesalahpahaman konseptual terkait dekatnya waktu senggang dengan 'kemalasan', maka perlu untuk mengetahui ciri dan konteks waktu senggang yang dimaksud. Waktu senggang Joseph Pieper lahir dalam konteks situasi sosio-kultural kehidupan Pieper saat itu.  Saat itu kehidupan manusia telah kehilangan sisi kemanusiawiannya karena telah tunduk total pada laku bekerja. Manusia tidak lagi memiliki waktu luang secara fisikal atau nyata karena terperangkap dalam jerat pekerjaan. Dengan demikian, manusia tidak lagi memiliki kesempatan untuk melakukan kontemplasi dan pengembangan daya imajinasi yang manjadi dasar bagi perkembangan sisi intelektualitas dan spiritualitasnya.

Waktu senggang bagi Pieper merupakan sebuah jeda dari kerja yang menitikberatkan pada laku-sikap kontemplatif, imajinatif, dan penggunaan daya kognitif. Jika digunakan penjelasan yang lebih sederhana, waktu senggang merupakan aktivitas memanfaatkan 'jeda' untuk kegiatan intelektual. Di sisi yang lain, ia sekaligus aktivitas menyelami spiritualitas. Pemahaman akan waktu senggang seperti ini akan terlihat lebih jelas jika dioposisi binerkan dengan 'laku bekerja-total'.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana dengan profesi-profesi yang menonjolkan aspek intelektualitasnya dalam bekerja, seperti dosen, guru, seniman, dan rohaniawan, apakah mereka juga dianggap tidak mengakrabi waktu senggang. Secara sekilas profesi-profesi tersebut memenuhi indikator laku intelektualitas yang disyaratkan oleh waktu senggang, yakni daya kontemplasi, imajinasi, dan kognitif. Pieper menjelaskan, jika dikontekskan dengan tradisi atau masyarakat yang sama sekali tidak mengenal waktu senggang (baca: kerja total), maka profesi-profesi tersebut merupakan bentuk aktivitas khas waktu senggang. Namun, meskipun ia khas waktu senggang, aktivitas kerja dalam profesi-profesi tersebut masih dalam mode of doing. Intelektualitas yang hadir dalam pekerjaan seperti dosen, misalnya, masih dapat dicurigai sebagai bentuk penunaian tanggung jawab semata karena memang sudah pekerjaannya. Waktu senggang ala Pieper menuntut aktivitas intelektual yang dilakukan oleh seorang dosen, seperti berdialektika, membaca, menulis, meneliti,  mengukur, mengevaluasi, merekonstrksi, harus merupakan mode of being. Jadi, ketika seorang dosen melakukan aktivitas menulis, meneliti, membaca, dan berdialektika, hal-hal tersebut harus merupakan bentuk pengejawantahan eksistensinya sebagai seorang intelektual, sekaligus passionnya dalam kehidupan, alih-alih sekadar penunaian tanggung jawab karena sudah dibayar, atau alasan ekonomistis dan pragmatis semata.


Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa mode of being merupakan unsur vital dalam memahami aktivitas khas waktu senggang ala Joseph Pieper (Fransiskus Simon, 87-89). Tanpa mode of being, segala aktivitas berpotensi terjebak pada kedangkalan makna dan kebanalan. Waktu senggang dan segala aktivitas di dalamnya dilakukan dengan penuh kesadaran oleh subjek sehingga, menurut Pieper, bukan subjek yang berusaha keras menyingkap realitas dengan segala misterinya, namun realitas itu sendiri yang akan menyingkapkan diri di hadapan sang subjek.

Memahami Sifat Waktu Senggang 

Pieper dalam bukunya mengembangkan sebuah analisis Filsafat yang mengaitkan waktu senggang dengan sifat 'perayaan' dan 'pembebasan'. Pertama, Pieper menganggap bahwa inti dari waktu senggang adalah perayaan. Dalam perayaan tidak ada usaha yang berlebihan. Manusia yang mengapresiasi waktu senggang akan membiarkan realitas adikodrati atau Yang Maha-ada merasuki dan menjamah dirinya (Fransiskus Simon, 70-87). Tanpa perlawanan, sang subjek justru merayakan perjumpaan dan persentuhannya dengan Yang Maha-ada tersebut. Analisis Pieper ini mungkin memaksa kita mengernyitkan dahi. Hal ini tidak mengherankan sebab ananlisis Pieper merupakan analisis filsafat yang kadang sangat abstrak.

Untuk memudahkan pemahaman, Pieper memberikan sebuah gambaran. Dahulu kala ketika zaman Yunani dan Romawi Kuno, masyarakat memiliki waktu senggang untuk berdiam diri, berkontemplasi, dan mengunyah spiritualitas, seperti kita hari ini. Laku ini diwujudkan dengan membangun kuil atau candi pemujaan. Pieper beranggapan pemujaan dan pembangunan kuil hanya dapat dilakukan jika orang memahami waktu senggang. Kerelaan untuk menyisihkan waktu untuk hal-hal semacam itu merupakan bentuk dari hubungan pemujaan dan waktu senggang. Bagi Pieper perayaan dan waktu senggang merupakan inti dari pemujaan (Fransiskus Simon, 68)). Dengan demikian, waktu senggang merupakan sebuah bentuk perayaan. Perayaan yang bernuansa sakral.

Kedua, waktu senggang bagi Pieper memiliki sifat membebaskan. Pembebasan dalam konteks waktu senggang masih terkait dengan konsep perayaan. Perayaan mengisyarakatkan sikap dan situasi bebas. Maka, dalam perayaan, subjek bebas mengekspresikan diri; subjek terbebas dari bersikap dan berpikir sesuai dengan arahan otoritas, dan; subjek bebas mengakrabi jeda di luar aktivitas kerja untuk mengasah intelektualitas serta spiritualitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun