Demikian pernah saya baca di status media sosial seorang penulis femes. Atau pembelaan sebagai berikut:
"Nulis ya bebas saja, jika ada anak kecil kebobolan baca novelku yang belum pantas dibaca mereka, ya bukan salah aplikasi atau salah novelnya!"
Kedengarannya 'sih betul, akan tetapi, tunggu dulu.
Orang tua kadang memang lalai membiarkan anak bermain ponsel sendirian. Kadang malah jika tidak diizinkan, anak bisa saja meminjam ponsel teman mereka. Akan tetapi bukan salah ortu saja. Beberapa oknum penulis dan platform atau penyelenggara media kadang juga kebablasan.
Mengapa?
1. Terlalu terobsesi dengan pendapatan besar hingga menghalalkan segala kata dan cara demi memperoleh pembaca, tanpa mau tahu siapa dan bagaimana akibat dari apa yang ditulis.
2. Platform atau aplikasi terlalu ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya hingga meluluskan begitu saja fiksi yang kurang mendidik dan kurang layak dibaca generasi muda Indonesia.
3. Kurangnya kontrol dan pengawasan hingga sempat banyak sekali novel online hasil plagiasi, terindikasi ATM, hingga yang sudah menjurus ke pornlit beredar luas.
Sudah tugas mulia kita sebagai penulis sebagai 'sumber mata air' untuk menjaga dan memberikan 'air botolan' yang terbaik, termurni bagi pembaca. Walau target utama pembaca dewasa, tak ada salahnya jika kita coba pilihkan kata-kata/diksi yang santun, elegan, enak dibaca namun masih penuh makna, tidak membuat jengah belaka. Pasti bisa kok, walau genre fiksi erotika sekalipun. Tidak selalu harus pakai deskripsi gamblang alat vital manusia, misalnya.
Lalu iklan di media sosial, jika bisa, seyogyanya dikurangi atau dibatasi, agar tidak semudah itu dibaca atau diakses anak di bawah umur.
Bukan salah orang tua saja. Penulis, penyelenggara platform-platform, marilah kita mulai perbaiki mutu, diri dan visi misi internal sendiri. Tulisan literasi/literatur boleh saja anonim, namun makna dan pahalanya tetap mengalir walau penulisnya kelak tiada.