Raka diam.
"Aku sadar... mencintai kamu nggak berarti aku harus memiliki kamu. Aku lelah jadi pilihan kedua."
"Tania..." suara Raka lirih, ada sesak yang tertahan.
"Aku tahu kamu belum sepenuhnya ninggalin aku, Ka. Tapi hatimu... udah bukan buat aku lagi, kan?"
"Maaf..."
Tania menghela napas panjang. "Aku pergi bukan karena benci. Tapi karena aku butuh cinta yang juga pulang ke aku. Bukan sekadar mampir."
---
Hari-hari Nayla dan Raka pun berlalu, pelan namun pasti. Mereka membangun kembali relasi, bukan dari puing-puing cinta masa lalu, tapi dari kepingan pengertian yang baru.
Nayla belajar menulis lagi---jurnal harian, puisi pendek, bahkan cerpen. Sementara Raka mulai serius membuat konten-konten inspiratif, sebagian di antaranya diisi oleh kisah Nayla (tentu dengan izin).
Suatu sore, Raka mengajak Nayla berjalan-jalan kecil di taman belakang rumah.
"Aku masih sering mimpi buruk," ujar Nayla tiba-tiba.