Angin sore menelusup masuk lewat jendela kamar yang kini menjadi ruang pemulihan Nayla. Bukan di rumah sakit lagi---melainkan di rumah tua mereka yang sederhana. Aroma kayu tua dan karbol yang samar menyambut Nayla saat pertama kali dipulangkan.
"Selamat datang kembali di rumah, Kak," ucap adik bungsunya dengan mata berbinar.
Nayla tersenyum, meski tubuhnya masih lemah. Kepulangannya kali ini bukan karena sembuh sepenuhnya, tapi karena keluarga tak lagi mampu membayar biaya rawat inap. Meski begitu, rumah ini... tetap terasa hangat. Ada cinta yang menjemputnya pulang.
---
Hari-hari pertama di rumah diisi dengan kesunyian dan rasa lelah yang menyiksa. Namun, perlahan, Nayla mulai terbiasa dengan suara ayam berkokok di pagi hari, aroma nasi goreng buatan ibunya, serta tawa kecil adiknya yang sesekali memutar video lucu di ponsel.
Raka pun semakin sering datang. Tidak setiap hari seperti di rumah sakit, tapi cukup untuk membuat Nayla merasa tidak sendirian.
"Gimana hari ini?" tanya Raka sambil membawa jus jambu favorit Nayla.
"Masih pusing sih... tapi pusingnya udah mulai nyambung sama kenyataan," jawab Nayla setengah bercanda.
Raka tertawa. "Pusingmu makin realistis berarti?"
"Iya. Realistis kayak kamu."
"Hah?"
"Realistis, karena kamu gak pernah benar-benar pergi dari aku. Meski aku gak selalu sadar."
---
Mereka duduk di teras rumah sore itu. Raka bercerita tentang pekerjaannya sebagai freelance editor video, dan rencana membuat konten sosial untuk mengedukasi soal trauma pascakecelakaan.
"Judulnya: Luka yang Menyadarkan," katanya.
"Terinspirasi dari aku?" tanya Nayla.
"Dari kita."
---
Sementara itu, Tania mulai menarik diri. Setelah insiden emosional beberapa waktu lalu, ia butuh ruang untuk menyembuhkan hatinya sendiri. Tapi luka di hatinya terlalu dalam untuk hilang begitu saja.
Suatu malam, ia menelpon Raka.
"Ka... aku cuma mau bilang, aku nggak akan ngejar kamu lagi."
Raka diam.
"Aku sadar... mencintai kamu nggak berarti aku harus memiliki kamu. Aku lelah jadi pilihan kedua."
"Tania..." suara Raka lirih, ada sesak yang tertahan.
"Aku tahu kamu belum sepenuhnya ninggalin aku, Ka. Tapi hatimu... udah bukan buat aku lagi, kan?"
"Maaf..."
Tania menghela napas panjang. "Aku pergi bukan karena benci. Tapi karena aku butuh cinta yang juga pulang ke aku. Bukan sekadar mampir."
---
Hari-hari Nayla dan Raka pun berlalu, pelan namun pasti. Mereka membangun kembali relasi, bukan dari puing-puing cinta masa lalu, tapi dari kepingan pengertian yang baru.
Nayla belajar menulis lagi---jurnal harian, puisi pendek, bahkan cerpen. Sementara Raka mulai serius membuat konten-konten inspiratif, sebagian di antaranya diisi oleh kisah Nayla (tentu dengan izin).
Suatu sore, Raka mengajak Nayla berjalan-jalan kecil di taman belakang rumah.
"Aku masih sering mimpi buruk," ujar Nayla tiba-tiba.
"Masih soal kecelakaan itu?"
"Bukan. Tapi mimpi ditinggal. Sendiri."
Raka menggenggam tangannya. "Selama aku masih di bumi yang sama, kamu gak akan pernah sendiri."
Nayla menatapnya. Ada ketulusan yang kini tak lagi ditutupi.
"Aku percaya itu," jawabnya.
---
Di sisi lain, Tania menuliskan sebuah catatan di jurnal pribadinya:
"Cinta memang tak selalu berakhir indah. Tapi aku tahu sekarang---aku pernah mencintai dengan segenap jiwa, dan itu cukup. Kini, saatnya aku sembuh. Untuk diriku sendiri."
---
Episode ini bukan tentang akhir bahagia. Tapi tentang awal yang baru. Tentang rumah yang tak lagi utuh, namun tetap bisa dibangun kembali. Tentang dua hati yang luka, tapi saling menyembuhkan.
Dan tentang cinta yang, akhirnya, menemukan caranya sendiri untuk tetap tinggal---meski tak selalu dalam bentuk yang sama.
---
To be continued...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI