Sejak kejadian di rumah Nayla, segalanya berubah. Nayla tak lagi duduk di bangku taman belakang sekolah yang biasa menjadi tempatnya membaca. Ia lebih sering menyendiri di perpustakaan atau bahkan memilih pulang cepat sebelum bel masuk usai. Raka memperhatikan semua perubahan itu, tapi ia tak tahu harus memulai dari mana. Seolah Nayla membangun tembok tinggi dan Raka kehilangan kunci untuk memasukinya kembali.
Di sisi lain, Tania kian aktif. Ia tahu Nayla menjauh, dan baginya itu kesempatan emas. Ia datang setiap pagi membawa dua kotak bekal, satu untuknya, satu untuk Raka. Mereka duduk berdampingan di kantin, bercanda, tertawa---setidaknya dari luar tampak seperti pasangan sempurna. Tapi Raka tahu, ada yang hampa. Ia tertawa, tapi tidak sepenuh hati.
"Raka, kamu dengerin nggak sih?" tanya Tania sambil menyodorkan sepotong nugget ke mulut cowok itu.
Raka terperanjat. "Eh... iya, iya. Kamu bilang apa tadi?"
Tania tertawa kecil, tapi matanya menelusuri arah pandang Raka yang tadi sempat menoleh ke arah jendela---tempat Nayla melintas sendirian sambil memeluk bukunya erat-erat.
Sementara itu, Nayla menulis puisi dalam diam. Tugas dari Bu Lestari, guru Bahasa Indonesia, tentang "Cinta dan Rasa" membuatnya harus menggali perasaan yang ia sembunyikan rapi. Ia tahu puisinya tak akan dibacakan, cukup dikumpulkan. Tapi tetap saja, tangan dan hatinya gemetar saat menuliskannya:
"Kau pernah singgah di dadaku, tak lama
Tapi cukup membuatku lupa caranya hampa
Kini kau hadir sebagai bayang
Yang tak bisa kupegang, hanya ku kenang."
Puisi itu ia lipat rapi. Tapi Bu Lestari, entah kenapa, memilih membaca beberapa puisi secara acak di kelas.
"Puisi dari Nayla," ucap Bu Lestari. Seketika kelas hening.
Raka menoleh.
"...Kau pernah singgah di dadaku, tak lama..." suara Bu Lestari bergema di antara dinding ruang kelas yang tiba-tiba sunyi.
Nayla menunduk dalam-dalam. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena luka yang belum sembuh dipaksa terbuka di depan orang-orang.
Raka tercekat. Ia tahu, itu untuknya. Ia tahu rasa itu masih ada. Tapi kenapa Nayla menjauh?
Usai kelas, Raka mengejar Nayla. Tapi Nayla menghindar, lagi.
"Nayla, tunggu. Aku bisa jelasin semuanya."
"Enggak perlu, Raka. Kadang penjelasan malah bikin semuanya makin sakit."
"Kenapa kamu kayak gini? Kamu pikir aku milik Tania? Aku cuma---"
Nayla menatapnya. Mata itu berkaca, tapi tak tumpah.
"Justru karena kamu bukan milik siapa-siapa... makanya kamu bisa pergi ke siapa saja."
Raka terdiam. Hatinya seperti terjepit sesuatu yang tak kasatmata.
Hari-hari setelahnya penuh jeda. Bahkan suara bel sekolah terdengar seperti gema panjang yang membosankan. Tania tetap hadir, tetap ceria, tapi bayang Nayla selalu ada dalam senyap Raka.
Suatu sore, Raka menemukan sesuatu di loker bukunya. Sebuah kertas kecil, tertempel dengan selotip bening.
"Kalau kau benar ingin tahu alasanku menjauh... temui aku di taman belakang. Besok. Jam 5 sore."
Tanda tangan: N.
Raka menggenggam kertas itu erat. Untuk pertama kalinya setelah sekian minggu, dadanya terasa penuh harap.
Tapi akankah pertemuan itu benar-benar terjadi?
Atau justru menambah jarak yang sudah menyesakkan?
To Be Continued...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI