Hujan masih mengguyur ketika Raka akhirnya mengajak kedua gadis itu masuk ke ruang tamu. Ruangan itu hening. Hanya suara air yang menetes dari jas hujan Nayla dan payung merah Tania. Mereka duduk berjauhan. Raka di tengah, Tania di sebelah kanan, Nayla di sebelah kiri. Tiga hati dalam satu ruang, tiga kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.
Raka menghela napas dalam. "Aku nggak tahu harus ngomong apa, jujur aja."
Nayla menunduk, menggenggam tangannya erat. Sementara Tania menatap lurus ke arah Raka, mencoba membaca sorot matanya yang kini lebih murung daripada biasanya.
"Aku datang karena aku nggak mau kehilangan kamu, Raka," ujar Tania akhirnya. "Aku tahu kamu bingung, tapi aku butuh kepastian. Aku butuh tahu... kamu milih aku atau Nayla?"
Ucapan itu seperti palu. Berat. Tegas. Menyesakkan.
Nayla menggigit bibirnya. Matanya mulai memerah. Tapi dia tidak bisa hanya diam.
"Aku nggak pernah minta apa-apa, Ka," katanya pelan. "Aku bahkan nggak pernah nyuruh kamu buat milih. Tapi kalau kamu merasa aku cuma jadi pelengkap, aku siap mundur."
"Jangan ngomong gitu, Nay..." suara Raka terdengar goyah.
"Lalu aku harus ngomong apa?" Nayla menatapnya dengan tatapan yang lembut tapi penuh luka. "Aku tahu aku nggak secantik Tania, aku nggak ceria, nggak pandai bicara. Tapi perasaanku ke kamu... nyata, Ka. Nggak dibuat-buat."
Tania berdiri. "Jadi maksudmu perasaanku dibuat-buat?"