Di kejauhan, Tania memandangi mereka dari pintu kelas. Mulutnya tersenyum, tapi matanya menyimpan tanya.
Beberapa hari berikutnya, Nayla dan Raka mulai sering terlihat bersama. Tidak mencolok, tidak seperti Tania dan Raka yang biasa tertawa keras di kantin. Hubungan Nayla dan Raka lebih seperti aliran sungai kecil --- tenang tapi terus mengalir.
Sampai suatu hari...
Saat jam istirahat, Tania menarik Nayla ke belakang kantin.
"Nay, kamu suka Raka ya?" tanyanya to the point.
Nayla terdiam. "Kamu juga suka, Tan..."
"Justru itu. Kita sahabat, kan? Tapi kamu sembunyi-sembunyi deketin dia?"
"Aku nggak pernah maksain dia, Tan. Aku cuma... nggak bisa menghindar dari rasa ini."
Tania menggigit bibir. Air matanya nyaris jatuh. "Jadi kamu mau rebut dia dari aku?"
Nayla menggeleng. "Aku nggak mau rebut siapa-siapa. Tapi kalau memang dia memilihku... aku juga nggak bisa tolak takdir."
Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana menjadi aneh. Tania mulai menjaga jarak dari Nayla. Ia juga mulai jarang muncul bersama Raka. Dan di satu sore yang mendung, Tania mengirim pesan panjang ke Raka: