Mohon tunggu...
Ramli Ondang Djau
Ramli Ondang Djau Mohon Tunggu... Man In Black

Ayah dari 3 putri, penikmat kopi dan menulis tinggal di Gorontao

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

DI ANTARA DUA HATI. Episode 1 : Senyuman di Ujung Lorong

22 Juli 2025   15:18 Diperbarui: 22 Juli 2025   15:18 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DADH episode 1. Created by. R.O.D.

Jam pulang sekolah baru saja berbunyi. Suara bel menggema memecah keheningan kelas XII IPA 2 di SMA Nusantara. Para siswa bersorak, seolah terbebas dari cengkraman angka dan rumus-rumus kimia. Tapi tidak dengan Nayla. Gadis manis berambut panjang itu hanya diam, duduk di bangku pojok dekat jendela, menatap kosong halaman sekolah. Sementara itu, teman sekelasnya, Tania, dengan langkah cepat menghampiri satu sosok yang baru saja memasukkan buku ke dalam tas --- Raka.

"Ra! Kamu jadi nggak ke warung bakso depan?" tanya Tania sambil memamerkan senyum manis yang selalu membuat para cowok terpikat.

Raka menoleh dan tertawa kecil. "Jadi dong, apalagi kalau kamu yang ngajak."

Tania langsung tertawa renyah. "Ya udah, tungguin aku ganti sepatu dulu ya."

Dari jauh, Nayla mendengar percakapan itu. Hatinya mencelos, lagi. Bukan karena bencinya pada Tania, bukan. Tapi karena perasaannya pada Raka sudah terlalu dalam untuk terus disembunyikan. Masalahnya, ia tidak seperti Tania yang berani, ceria, dan ekspresif. Nayla terlalu terbiasa menyimpan semuanya sendiri --- termasuk cinta.

Raka bukan cowok biasa. Ia bukan yang paling tampan atau paling populer, tapi senyum hangatnya dan caranya menghargai setiap orang membuatnya begitu mudah disukai. Di kelas, ia sering membantu teman, bahkan tak segan mengerjakan tugas kelompok sendirian saat yang lain ogah-ogahan.

Nayla pertama kali jatuh hati saat Raka diam-diam menyalakan kipaketikas kelas ketika melihatnya kepanasan. Sepele, tapi bagi Nayla yang sensitif, itu cukup membuat jantungnya berdentam tak karuan.

Sore itu, seperti biasa, Nayla berjalan kaki pulang menyusuri gang perumahan kecil yang berjejer dengan rumah-rumah berwarna pastel. Satu tangan memegang tali tas, satu lagi menggenggam earphone yang menggantung --- tapi tak pernah benar-benar ia pasang. Setiap langkahnya terasa berat, seberat perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.

Sampai di depan rumah, ia melihat sepatu Raka di teras rumah Tania. Lagi-lagi.

Tania dan Raka memang bertetangga. Rumah mereka hanya berselang satu pagar. Sementara rumah Nayla berada dua blok lebih jauh. Sudah jadi kebiasaan, Raka sering mampir ke rumah Tania untuk belajar bareng atau sekadar ngobrol. Setidaknya itu yang Nayla dengar dari bisik-bisik teman.

Di dalam rumah, Nayla disambut ibunya yang tengah memasak di dapur.

"Kamu kenapa, Nay? Capek ya sekolahnya?" tanya sang ibu, sambil tersenyum.

Nayla menggeleng. "Nggak kok, Bu. Cuma pusing dikit."

"Kepalanya berat atau hatinya?"

Pertanyaan itu membuat Nayla menoleh cepat. Ibunya terkekeh. "Ibu dulu juga pernah muda, Nay. Jatuh cinta itu indah... asal tahu waktu dan tempatnya."

Nayla hanya tersenyum hambar. Ah, seandainya Ibu tahu...

Malam harinya, Raka membuka laptop untuk menyelesaikan tugas kelompok yang belum rampung. Ia membuka grup chat yang dibuat oleh guru untuk koordinasi tugas.

Tania:

"Ra, aku bingung bagian 2 ini harus dijelasin kayak gimana. Nanti kamu ajarin ya?"

Nayla:

"Maaf Kak, bagian 3 aku udah selesain. Kalau perlu aku revisi, boleh kasih tahu ya."

Raka membaca keduanya. Ia tahu betul --- dua gadis ini memendam perasaan padanya. Tapi ia juga tahu, pilihannya tak bisa setengah-setengah. Ia harus jujur pada hatinya, tapi... siapa?

Tania memang menyenangkan. Ia penuh semangat, selalu ada dalam segala situasi. Tapi Nayla... Nayla punya sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Keheningan yang menenangkan, tatapan lembut yang menguatkan, dan cara dia tersenyum meski dunia tidak berpihak.

Keesokan harinya, suasana sekolah seperti biasa. Tapi ada yang berbeda. Raka memberanikan diri duduk di bangku dekat jendela --- di sebelah Nayla.

"Pagi," sapanya.

Nayla sedikit terkejut. "Pagi."

"Aku lihat kamu sering nulis di buku catatan. Bikin puisi ya?"

Nayla menunduk malu. "Iya... iseng aja."

"Boleh aku baca?"

"Ng... jangan. Belum selesai."

"Kalau gitu, boleh aku tunggu sampai selesai?"

Nayla menoleh. Untuk pertama kalinya, ia melihat mata Raka dalam jarak yang begitu dekat. Hangat. Tanpa sadar ia mengangguk.

Di kejauhan, Tania memandangi mereka dari pintu kelas. Mulutnya tersenyum, tapi matanya menyimpan tanya.

Beberapa hari berikutnya, Nayla dan Raka mulai sering terlihat bersama. Tidak mencolok, tidak seperti Tania dan Raka yang biasa tertawa keras di kantin. Hubungan Nayla dan Raka lebih seperti aliran sungai kecil --- tenang tapi terus mengalir.

Sampai suatu hari...

Saat jam istirahat, Tania menarik Nayla ke belakang kantin.

"Nay, kamu suka Raka ya?" tanyanya to the point.

Nayla terdiam. "Kamu juga suka, Tan..."

"Justru itu. Kita sahabat, kan? Tapi kamu sembunyi-sembunyi deketin dia?"

"Aku nggak pernah maksain dia, Tan. Aku cuma... nggak bisa menghindar dari rasa ini."

Tania menggigit bibir. Air matanya nyaris jatuh. "Jadi kamu mau rebut dia dari aku?"

Nayla menggeleng. "Aku nggak mau rebut siapa-siapa. Tapi kalau memang dia memilihku... aku juga nggak bisa tolak takdir."

Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana menjadi aneh. Tania mulai menjaga jarak dari Nayla. Ia juga mulai jarang muncul bersama Raka. Dan di satu sore yang mendung, Tania mengirim pesan panjang ke Raka:

"Aku tahu kamu mulai punya rasa ke Nayla. Aku nggak marah. Aku cuma sakit. Tapi aku belajar, cinta nggak bisa dipaksain. Terima kasih karena pernah buat aku bahagia, walau sebentar."

Raka membaca pesan itu berkali-kali. Lama. Lama sekali. Hingga hujan turun di luar jendela kamarnya.

Di sekolah, Tania semakin sering menyendiri. Bahkan guru sempat memanggilnya karena nilai-nilainya turun drastis. Sementara Nayla pun merasa hampa. Ia kehilangan Tania sebagai teman, dan Raka pun belum juga berbicara padanya sejak hari itu.

Sampai akhirnya, Raka berdiri di depan kelas. Ia membawa gitar. Hari itu adalah acara "Hari Apresiasi Teman Sekelas", yang diminta oleh guru BK untuk mempererat hubungan antar siswa.

"Aku mau nyanyi satu lagu, buat dua orang yang paling penting dalam hidup SMA-ku," ujar Raka. "Yang satu ngajarin aku ketulusan, yang satu ngajarin aku keberanian."

Semua mata tertuju padanya.

Lagu dimulai. Perlahan.

Dan saat Raka menyebutkan dua nama itu --- Tania dan Nayla --- dua hati pun pecah dalam diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun