Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pulang

25 Agustus 2012   07:22 Diperbarui: 23 Februari 2016   10:38 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://kanghaki.smkn1pengasih.net/files/ibu.jpg

 

PULANG

Oleh: Ramdhani Nur

[caption id="" align="alignleft" width="321" caption="Sumber: http://kanghaki.smkn1pengasih.net/files/ibu.jpg"][/caption]

Wajah tirus itu terlihat makin keriput saja disebabkan pengorbanan dan kesetiaan. Kerudung coklat yang tersampir seadanya menutup sebagian kerut yang menjadi-jadi di lehernya. Tiga puluh tahun aku mendapati metamorfosis kejamnya waktu pada tubuh yang pernah membopongku berjam-jam manjauh dari bencana banjir bandang dahulu. Beruntunglah, hingga sampai lima tahun ke belakang ini, takdir masih mengijinkan mataku kini menjemput titian kaki-kaki rapuh itu mendekat tubuhku.

“Kenapa diam begitu?”

Ah, dia tak tahu. Aku bergetar sebenarnya. Debar ini selalu membuncah, tiap kali suara itu masuk meremas dada. Dia ingin menentramkan, sebab untukku nasihat dan kecewa sudah lama dia kuburkan. Dia ingin mengikhlaskan nasib buruk sebagaimana siang yang kemudian menjadi senja. “Bergembiralah, Ini hari raya!”

Itu ucapan pengiring untuk ketupat, opor, dan sambal yang dijajarkannya terbebas dari susunan rantang. Dia membuatnya sendiri. Dia mempersiapkannya sendiri. Aku tahu. Tak ada pesta yang membuatnya bisa mengumpulkan banyak uang kecuali pada pangkal takbir ini saat berseraknya zakat mengetuk pintu rumahnya. Atau memang benarlah kabar burung itu bahwa dia kerap mengumpulkan tiap ketip dari menganyam bambu untuk ditebus dengan satu kebahagiaan saat hari raya ini. “Sudah rindu pula kau pada masakan ini?”

Demi Tuhan! Ada yang jauh aku rindukan lebih dari itu. Tentang tangannya yang kerap mengayuh tenang di kepala, tentang lirih doanya yang menusuk bilik kamar dan mencekat tarikan napas. Tentang tangisnya yang seketika hilang saat beradu kedua mata merahku.

Dari sedemikian caranya membuatku rindu, aku hanya bisa memberinya cara bagaimana dia kecewa dan terluka.

“Jangan kau bersedih begitu! Pasti ada waktunya kau yang pulang menjengukku?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun