Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pada Sebuah Pagi

1 Agustus 2013   15:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13753695301775338019

[caption id="attachment_278893" align="aligncenter" width="406" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com/James JR Suawa) "][/caption]

PADA SEBUAH PAGI

Oleh: Ramdhani Nur

Bagi Karsinah kehidupan itu hanya terjadi ketika nasi dalam periuk masih terisi. Tak ubahnya seperti nyawa. Tak boleh lenyap meski sesaat. Dia selalu meneliti ketersediaannya dari pagi hingga sore. Akibatnya, Karsinah akan sering kali terlihat melongok isi magic com. Jika dianggapnya hanya tersisa tak sampai satu piring, buru-buru dia pergi ke dapur. Mencuci beras lalu menanaknya. Bagaimana pun nasi harus selalu siap tersaji. Karena kehidupan tentu tak boleh mati.

Pada tiap terbitnya hari, Karsinah akan memastikan itu sejak pagi-pagi sekali. Paling telat lewat subuh, Karsinah sudah mulai terlihat tengah mencuci beras. Cipratan air pada beras yang didulang menjadi teman iramanya menyambut terang. Tak ada suara sebising itu selain kokok ayam yang menyusulnya kemudian, sampai bersambut pada terbangunnya penghuni rumah satu-persatu. Diawali Sukardi, suaminya. Selalu saja lelaki itu mencipta gaduh. Berteriak minta disiapkan handuk yang hanya bergantung tak jauh dari sumur. Lalu Asti anak gadisnya bangun terhuyung. Itu pun hasil gedoran Karsinah pada pintu kamarnya. Tiga kali tubuh Karsinah bolak balik antara dapur dan kamar Asti. Memastikan anaknya terbangun dan gorengannya tidak gosong.

Pukul setengah tujuh semua sudah siap. Nasi sudah mengepul dari lubang uap magic com. Tempe goreng dan telur ceplok yang menjadi pilihan teman nasi pagi ini tersaji rapi di meja makan. Minumannya hanya ada segelas kopi panas untuk sang petinggi rumah. Sukardi. Dia baru saja keluar dari kamar tamu. Rapi dengan seragam PNS sebagai sekretaris di kecamatan.


Gelas panas itu dipindahkan Sukardi ke ruang tamu, sambil sesekali dicicip pekatnya. “Masih molor saja Si Aris jam segini?” Itu anak lelaki tertua mereka. Karsinah mengerti bahwa memulai hari dengan membicarakan Aris hanya membuatnya lebih banyak mendehem. Sukardi terlanjur geram. Anak lelaki yang begitu dia jago-jagokan dua puluh tahun lalu itu, kini lebih senang membuatnya meradang. Mungkin karena tubuh yang juga berisi pikiran-pikiran bebas itu sudah pula sekuat bapaknya. Kadang Karsinah hanya mampu menyudut, memeriksa sayuran dalam kulkas saat pikiran-pikiran itu lantang bertabrakan. Kombinasi antara kol dengan tahu atau kacang panjang dengan ikan teri, lebih menarik perhatiannya untuk dipadukan nantinya dengan nasi putih hangat. Sementara pagi, hanya akan menjadi riuh setelahnya.

“Semalam dia pulang jam dua, Pak!”

“Dari mana lagi? Begadang? Kebiasaan betul!”

“Bengkel seninya.”

“Bengkel seni apanya? Kumpulan orang edan semua! Mau jadi apa anak itu. Susah-susah dimasukin kuliah malah ditinggal. Apa dia nggak mikir gimana pontang-pantingnya orang tua nyari duit buat nguliahin dia dulu? Sekarang kerjaannya apa? Serba nggak jelas.”

Kopi sudah terseruput seperempat, tapi belum juga membuat suasana paginya tenang. Sukardi seakan ingin mencari ketenangan lain dari sebatang rokok dalam saku. Dia menyusupkannya satu di antara bibirnya. Belum usai ujung tembakau itu terbakar, Sukardi masih juga menambahkan kekesalan lain. “Ingat! Dia itu laki-laki. Dia akan menjadi penanggung jawab keluarga nantinya. Lihat sekarang! Untuk bertanggung jawab sama diri sendiri saja tidak bisa.”

Kepul-kepul asap penuh mengisi ruang tamu. Karsinah masih duduk di kursi makan. Mengatur-ngatur letak tempe dalam pinggan yang sebenarnya sudah tersusun rapi. Kemudian tangannya berpindah pada piring-piring yang telah dilap. Karsinah memilih yang terbersih untuk diisi beberapa sendok nasi. “Sarapan dulu, Pak!”

“Nanti lagi.”

Karsinah menurut. Baginya ini bukan sebuah penolakan. Bukan pula pengabaian atas keringatnya menghidangkan kehidupan di pagi hari. Suaminya akan menyantapnya jika dia lagi berselera. Kali ini mungkin sedang tidak. Bisa jadi kebosanan penyebabnya. Karsinah memang seharusnya paham. Lain pagi dia tak perlu lagi menambahkan tempe dan telor ceplok pada menu sarapannya.

“Apa mau dibekalkan?” Karsinah masih juga bertanya pada jawaban yang sesungguhnya sudah dia tahu.

Nggak perlu.” Dan memang begitu.

Nasi itu lalu ditumpahkan kembali pada magic com. Dimainkan ujung sendoknya pada gundukan nasi agar kembali terlihat rata. Hening hanya sekejap jatuh di ruang tamu, saat jam pada lengan Sukardi mengingatkan pada kecemasannya. Ditatapi lekat pintu kamar samping kanan, Asti seharusnya sudah selesai berpakaian.

“Astiii …! Sudah siap belum!”

“Bentar lagi …!” begitu sahutan dari dalam kamar.

“Cepat sedikit, Nak! Nanti Bapak telat!” Karsinah menyambungkan.

“Iyaaa …!”

Sesosok tubuh gadis berseragam SMA santai keluar dari dalam kamar. Rambutnya yang basah berhenti disisirnya. Putri Karsinah ini tak pernah serupa ibunya. Padahal sewaktu kecil banyak yang meyakinkan bahwa Karsinah menurunkan senyumnya pada Asti. Pada foto-foto saat tubuh mungilnya dipangku, senyum itu memang tampak serupa. Dua belas tahun sejak terakhir kali Karsinah memangku Asti seperti dalam foto di dinding rumah, senyum milik Asti tak pernah lagi benar-benar terlihat. Seolah meniru sosoknya yang sering bersembunyi di kamar atau terlihat sekejap mencium punggung tangan Karsinah meminta ijin untuk pergi sekolah atau menemui teman-temannya. Prilakunya kini justru lebih banyak terilhami dari sikap bapaknya.

“Makan dulu, Ti!” tawar Karsinah.

Asti memang duduk di kursi makan. Tapi hanya sebagai penopang tubuhnya saja agar kakinya teraih oleh kedua tangannya untuk disusupi kaus kaki. Piring kosong yang disodorkan Karsinah dipunggungi. “Asti pulangnya telat hari ini.”

“Ada acara apa?”

“Olan ulang tahun.”

“Jangan sampe sore, Ti!”

“Kau pacaran sama si Olan?” gemuruh curiga terlontar dari bibir Sukardi. Memang tak ada sekat antara ruang tamu dan bertempatnya meja makan ini. Seperti juga tak ada jeda perbincangan di antaranya. Bercampur saja. Terutama itu berlaku bagi Sukardi.

“Apa sih Bapak!”

“Awas kau! Sekolah saja belum becus sudah berani pacaran!”

“Asti nggak pacaran! Lagian mana ada sih yang mau pacaran sama Asti. Bapak galak begitu.”

“Astiii ….” Karsinah mengingatkan. Mungkin ucapan Asti yang terakhir itu tak terdengar di kuping Sukardi. Dia tak acuh saja. Kepul-kepul asap itu santai keluar dari sela bibirnya.

“Sarapan dulu, Ti. Sedikit saja!”

“Nanti lagi, Bu. Sarapannya di sekolah saja.”

“Ini buktinya! Ngakunya nggak pacaran, tapi jajan ditraktirin, pulang dianter …,” lagi sela Sukardi.

“Iya …! Pulsa juga diisiin. Mana mau Bapak ngasih duit buat beli pulsa!”

“Pulsamu itu dipake cuma buat pacaran. Mana mau Bapak kasih kamu duit buat beli pulsa!”

“Asti nggak pacaran!”

“Heh, asal tahu ya, Bapak kenal sama bapaknya si Olan itu. Kalian itu nggak seiman! Kamu jangan asal nerima pemberiannya, nanti kamu merasa punya hutang budi.”

“Asti juga tahu bapaknya Olan suka ke kecamatan ngurusin proyeknya. Pasti Bapak dapet duit juga dari bapaknya Olan. Padahal kita nggak seiman. Bapak pasti juga merasa berhutang budi.”

“Lihat itu, Bu! Pinternya anak zaman sekarang ya seperti ini. Pinter melawan! Mau jadi seperti si Aris, kau?”

“Lebih baik jadi seperti Bang Aris daripada seperti Bapak!”

“Heh, sudah hebat berdebat kau? Kau mau juga seperti dia hidup nggak jelas, nggak punya tujuan. ”

“Tujuan Bang Aris jelas, pengen jadi dirinya sendiri ....”

“Oh, begitu dia bilang? Kalau dia sudah bisa cari makan dari otak dan keringatnya sendiri, dia bisa bebas menjadi seperti yang dia mau. Tapi selama dia masih makan dari beras yang Bapak beli, dari nasi yang Ibu masak, maka dia masih harus ngikutin tujuan dan cara hidup keluarga ini. Tidak bisa seenaknya. Dan itu juga berlaku buat kau!”

Sukardi panas. Senyap turun. Dengus napas berburu satu-satu. Di antara tubuh-tubuh yang berdiri itu, hanya tubuh Karsinah yang masih terlihat bereaksi wajar. Kecuali dua deheman yang terlanjur terlontar. Itu pun pasti tak kan terdengar. Dia masih tetap merasa damai dengan gundukan nasi putih dalam magic com yang masih mengepul-ngepulkan uapnya. Separah apapun pertengkaran ini berujung, Karsinah tetap memiliki keyakinan, kehidupan hari ini tak akan mati. Termasuk saat suara bingar tiba-tiba menyeruak dari belakang kamar. Tubuh Aris muncul memikul ransel yang dia jatuhkan dekat rak sepatu. Mencomot sepasang lars kusam tanpa lagi perlu dibersihkan. Hening ini dia pecahkan begitu saja. Seolah pagi belum cukup hancur tanpa celotehnya.

“Ya ...! Yang paling brengsek di rumah ini memang si Aris. Anak yang tak berguna, tidak tahu terima kasih, tidak bisa bertanggung jawab. Pengangguran, pecundang, dan selalu memalukan keluarga. Kau bisa tambahkan lainnya lagi sendiri, Ti! Atau tanya Bapak kalau kau mau."

"Hei! Bicara apa kau? Nggak perlu kau sindir Bapak kalau kau sudah merasa hebat. Bicara langsung ... lawan Bapakmu ini!"

"Buat apa, Pak. Tho Bapak yang selalu menang. Lagipula saya takut kualat, Pak. Takut anak saya nanti jadi kurang ajar. Berpikir dan berprasangka buruk pada bapaknya. Saya nggak mau menghasilkan generasi anak-anak brengsek."

"Anak kurang ajar! Mabuk apa kau semalem? Kemasukan setan mana kau?"

"Saya waras, Pak! Sangat waras. Seluruh isi rumah ini semua waras. Lihat saja Asti yang lebih sering mengeram di kamar. Lihat ibu yang melulu berkutat pada dapur, pada beras dan nasi yang mesti disajikan. Lihat saya yang sudah bisa seenaknya melawan Bapak, merasa hebat tanpa pernah rasa bersalah. Apa Bapak tidak melihat kita semua waras?"

Pada pagi yang berubah bara, Karsinah menyelipkan pada batinnya sebuah ketenangan yang pura-pura. Dia wujudkan itu dengan hembusan napas-napas yang tersengal. Mencoba kembali meyakinkan bila ini hanya sebuah pagi yang lain. Benar! Ini akan menjadi pagi yang lain. Potongan masa menuju siang, senja, malam, dan kembali bertemu pagi selanjutnya. Kesadaran itu begitu merasuki Karsinah. Hingga dia tak merasakan pertengkaran antara suami dan anaknya itu telah berada pada puncaknya. Karsinah tak ingat bagaimana Sukardi mengakhiri itu semua dengan caci maki. Dia tak ingat bagaimana dengan kesalnya, Asti berlalu dari rumah tanpa kata-kata. Dia pun lupa bagaimana Aris membisikkan maaf dan pamit untuk sebuah kota yang diucapkannnya, atau punggung telapaknya yang dicium teramat lama. Pagi hening ini telah kembali, merengkuh Karsinah dalam sendiri. Saat di mana Karsinah mulai bisa sumringah. Dirapikan barisan lima potong tempe dan tiga buah telur ceplok dalam pinggan. Dipastikan kembali isi magic com. Didapati setangkup nasi hangat yang tak berkurang sebutir pun. Bersyukurlah dia. Di antara segala kekacauan ini, kehidupan keluarganya tak pernah mati. Tak kan pernah bisa mati.

***** Cirebon, 1 Agustus 2013 hampir setahun tidak menulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun