Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani
Ahmad Ramdani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa yang gemar membaca jurnal

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Banjir Informasi, Minim Validasi: Krisis Literasi Digital Generasi Online

20 Juni 2025   07:34 Diperbarui: 20 Juni 2025   07:34 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam era digital yang begitu cepat, kita seolah hidup dalam gelombang informasi yang tak pernah surut. Setiap hari, ratusan bahkan ribuan berita melintas di layar dari yang faktual hingga yang sepenuhnya fiktif. Dalam banjir data ini, kemampuan untuk membedakan informasi valid dan menyesatkan menjadi sangat krusial. Saya sebagai bagian dari generasi yang tumbuh bersama dunia digital, saya melihat langsung bagaimana hoaks bisa mengubah persepsi dalam hitungan menit, sayangnya banyak dari kita terutama generasi digital native terjebak dalam arus tanpa sempat memverifikasi. Judul bombastis lebih dulu dipercaya, tautan dibagikan sebelum dibaca. Fenomena ini bukan sekadar tantangan teknologi, tapi cerminan krisis literasi digital yang tengah mengintai. Pertanyaannya, apakah kita hanya akan menjadi korban dari derasnya informasi, atau justru bisa menjadi agen perubahan dengan memilih untuk berpikir lebih kritis?

Di tengah arus informasi yang terus membanjiri media sosial, banyak dari kita mulai kehilangan kebiasaan dasar mulai dari memvalidasi. Scroll cepat, baca judul, langsung bagikan itu jadi pola konsumsi informasi yang kian umum. Ironisnya, di era di mana akses terhadap sumber informasi begitu luas, justru verifikasi menjadi langkah yang sering terlewatkan. Algoritma platform digital memperkuat bias kita, menyodorkan apa yang ingin kita lihat bukan yang perlu kita ketahui. Akibatnya, opini pribadi sering kali disamakan dengan fakta, dan narasi yang viral seolah lebih kredibel dari kebenaran yang sunyi. Generasi online, terutama yang tumbuh dalam lingkungan digital, kerap tak sempat lagi bertanya: "Siapa yang menulis ini?, Apa motifnya?, Benarkah datanya?" Hoaks pun menyebar bukan karena niat jahat, tapi karena ketergesaan dan kurangnya kebiasaan membaca secara kritis. Di sinilah kita melihat krisis validasi bukan karena tidak mampu berpikir, tapi karena terbiasa menelan tanpa mencerna. Tantangannya kini adalah membangun budaya mengecek ulang, bukan hanya menggeser layar dan saya percaya, kebiasaan mengecek sumber yang valid bukan soal keterampilan, tapi soal niat dan kebiasaan yang perlu dilatih bersama.

Pada saat ini arus informasi sangatlah deras, literasi digital bukan lagi sekadar keahlian tambahan tetapi kebutuhan dasar. Banyak orang mengira melek digital cukup dengan mampu menggunakan smartphone atau menjelajah media sosial. Padahal, literasi digital jauh lebih dalam: ini tentang kemampuan menilai, menganalisis, dan mengevaluasi informasi secara kritis. Di dunia maya, di mana opini bisa terdengar seperti fakta dan narasi sering dikemas secara memikat, kemampuan berpikir kritis jadi tameng utama. Literasi digital membantu kita bertanya, "Apa sumbernya? Siapa yang diuntungkan oleh informasi ini?" Bukan untuk menjadi paranoid, tapi agar tidak mudah dikelabui. Lebih jauh, literasi digital juga mengajarkan etika berinteraksi di dunia daring bagaimana menyampaikan pendapat tanpa menyebar kebencian, dan bagaimana berbagi informasi tanpa memperparah misinformasi. Dalam konteks generasi online, membangun literasi digital berarti membentuk kesadaran kolektif untuk tidak sekadar jadi konsumen informasi, tapi juga penjaga integritas digital, di sinilah letak harapannya karena dengan pemahaman yang tepat, dunia maya bisa menjadi ruang dialog yang sehat, bukan ladang jebakan hoaks.

Generasi muda yang tumbuh di era digital sering kali digambarkan sebagai korban utama dari tsunami informasi mudah terpapar, cepat percaya, dan rentan terjebak dalam narasi palsu. Namun, gambaran ini tidak sepenuhnya adil. Mereka juga adalah generasi paling adaptif, paling terhubung, dan memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan, di balik ketergesaan membagikan tautan tanpa membaca isinya, tersimpan pula keinginan untuk terlibat, berbagi, dan peduli. Banyak dari mereka yang mulai bergerak mendirikan akun edukatif di media sosial, membuat konten klarifikasi hoaks, hingga mengajak diskusi kritis lewat video pendek yang relevan dan mudah dipahami. Generasi online bukan semata objek dari disinformasi, tapi bisa menjadi subjek aktif dalam membentuk budaya literasi digital yang sehat. Kuncinya adalah pemberdayaan, bukan penghakiman. Ketimbang menyalahkan kebiasaan mereka, lebih bijak jika kita memberi ruang, dukungan, dan alat untuk berpikir lebih tajam. Sebab di tangan generasi ini, masa depan dunia maya dan dunia nyata dapat diarahkan menuju ruang yang lebih jujur, cerdas, dan berempati.

Dalam pusaran informasi yang begitu deras, menjadi skeptis bukan berarti sinis justru itulah bentuk cinta pada kebenaran. Krisis literasi digital bukan sekadar soal kurangnya kemampuan teknis, tapi soal kebiasaan, kesadaran, dan keberanian untuk berpikir kritis. Kini saatnya kita berhenti menjadi sekadar penerima pesan dan mulai menjadi penjaga makna. Mari kita budayakan verifikasi dan mulai percakapan yang sehat di dunia maya. Karena setiap klik, setiap bagikan, adalah cerminan nilai kita sebagai warga digital. Mulailah untuk lebih bijak bukan hanya untuk diri sendiri, tapi demi informasi yang lebih sehat di dunia maya dan saya sendiri mulai membiasakan untuk membaca lebih cermat sebelum membagikan karena satu klik bisa berdampak besar di kemudian hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun