Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menampung Air Hujan Cara Sederhana Menghadapi Krisis Air Bersih

17 Agustus 2025   12:00 Diperbarui: 17 Agustus 2025   10:22 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hujan.(SHUTTERSTOCK/AUTSAWIN UTTISIN)

Hujan sering datang dengan perasaan bercampur aduk. Di satu sisi, ia dianggap berkah, tapi di sisi lain, ia kerap dituding sebagai penyebab banjir, jalan macet, bahkan penyakit. Padahal jika kita menoleh lebih jeli, hujan adalah sumber daya gratis yang bisa menjawab masalah besar: krisis air bersih. Ide sederhana menampung air hujan sering terabaikan karena dianggap kuno, ribet, atau kurang higienis. Namun kenyataannya, di era modern ketika air bersih makin sulit diakses, menampung air hujan justru menjadi gagasan segar dan masuk akal.

Krisis Air yang Nyata di Tengah Kemajuan

Kita hidup di zaman ketika teknologi berkembang begitu cepat, namun masalah paling mendasar seperti air bersih masih menjadi persoalan yang sulit dipecahkan. Di kota besar, seringkali kita melihat pemandangan warga berbondong-bondong mengantre air bersih dari mobil tangki. Di desa, banyak keluarga harus berjalan jauh hanya untuk mengambil air sumur yang kadang sudah mengering di musim kemarau.

Ironisnya, Indonesia dikenal sebagai negara dengan curah hujan tinggi. Artinya, kita tidak kekurangan air, melainkan tidak pandai mengelola air. Ketika hujan turun, jutaan liter air hanya mengalir ke selokan, sungai, lalu berakhir di laut. Sebagian bahkan berubah menjadi banjir yang merugikan. Sementara di musim kemarau, kita terengah-engah mencari setetes air untuk kebutuhan sehari-hari.

Krisis air bersih bukan hanya masalah kebutuhan fisik, tetapi juga berhubungan dengan kesehatan, ekonomi, dan kualitas hidup. Tanpa air bersih, keluarga rentan terserang penyakit. Tanpa air, aktivitas produktif terganggu. Bahkan, konflik sosial bisa muncul ketika air menjadi barang rebutan. Jadi, berbicara tentang krisis air sama dengan berbicara tentang masa depan masyarakat.

Melihat Hujan dengan Cara Berbeda

Selama ini, hujan sering kita kaitkan dengan hal-hal negatif. Jalanan becek, jemuran tidak kering, banjir melanda kota, listrik padam, hingga penyakit menular seperti demam berdarah yang meningkat saat musim hujan. Pandangan semacam ini membuat hujan dianggap lebih banyak membawa masalah daripada manfaat.

Namun sesungguhnya, hujan adalah anugerah yang luar biasa. Jika kita mau melihatnya dengan cara berbeda, hujan bisa diperlakukan sebagai sumber daya penting, bukan sekadar fenomena alam biasa. Air hujan adalah air bersih yang turun langsung dari atmosfer. Memang, ketika sampai ke atap rumah atau tanah, kualitasnya bisa berubah karena bercampur dengan debu atau kotoran. Tetapi itu bukan alasan untuk membiarkannya terbuang percuma. Dengan sedikit teknologi sederhana, air hujan bisa disaring, ditampung, lalu dimanfaatkan kembali.

Di beberapa negara maju, hujan sudah menjadi bagian dari strategi penyediaan air. Jepang, misalnya, mewajibkan bangunan publik tertentu untuk memiliki sistem penampungan air hujan. Di Australia, banyak rumah tangga memasang tangki khusus untuk menampung hujan sebagai cadangan. Ini menunjukkan bahwa hujan bukanlah barang sepele, melainkan bagian dari solusi krisis air yang nyata.

Menampung Air Sebagai Investasi Sosial dan Ekologis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun